Alkisah, seseorang membeli budak. Penjual berkata bahwa budak itu bagus dalam segala hal, kecuali satu: ia suka melakukan namîmah. “Tak apa,” kata pembeli. Setelah beberapa hari tinggal di rumah, budak itu berkata kepada istri tuannya, “Suamimu itu sudah tidak mencintaimu lagi. Ia bermaksud mengambil the other woman. Supaya ia mencintaimu lagi, ambillah beberapa helai rambutnya dengan pisau cukur, ketika ia tidur.” Kepada suaminya, budak itu berkata, “Istrimu sudah punya the other man. Ia bermaksud membunuhmu. Jika ingin membuktikan omonganku ini, pura-puralah tidur.” Maka, malam itu, sang suami pura-pura tidur. Ia melihat istrinya datang dengan pisau cukur. Ia yakin istrinya mau membunuhnya, maka ia segera bangun dan membunuh istrinya lebih dahulu. Keluarga istrinya tentu saja marah. Terjadilah peperangan antara keluarga kedua belah pihak.
Dengan cerita itu, Al-Ghazali mengakhiri bab tentang namîmah dalam Ihyâ ‘Ulûm Ad-Dîn. Suatu akhlak tercela, namîmah, cukup untuk mendatangkan bencana, walaupun seseorang mempunyai kelebihan dalam akhlak yang lain. Inilah nila setitik yang merusak susu sebelanga. Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling dibenci Tuhan ialah orang yang berjalan ke sana kemari menyebarkan namîmah, yang memecah di antara orang-orang yang bersaudara (saling mencintai), yang mencari-cari kesalahan dari orang yang tak bersalah.” (Ath-Thabrani, Ahmad). Ia juga bersabda, “Tak akan pernah masuk surga pelaku namîmah.”
Apa yang dimaksud namîmah itu? Banyak orang mengartikannya “adu domba” atau “memfitnah”. Tak ada kata Indonesia yang tepat untuk itu. Namîmah bisa saja mengandung unsur adu domba, tetapi boleh jadi yang disampaikan adalah berita benar. Pada awalnya, namîmah ialah menyampaikan omongan seseorang tentang orang lain kepada orang lain itu. Jadi, ada tiga rukun namîmah: yang diberitakan, yang menerima berita, yang menyampaikan berita. Misalnya, fulan berkata, “Fulanah itu orang jelek.” Pendengar menyampaikan kembali ucapan fulan kepada fulanah. Bisa persis seperti yang diucapkannya, bisa juga dibumbui. Berita itu benar, tetapi orang lain itu tidak suka mendengarnya. Ia akan membenci fulan. Timbullah permusuhan di antara keduanya.
Karena itu, kata Al-Ghazali, hakikat namîmah ialah membukakan rahasia, yang seharusnya kita tutupi. Orang tidak suka rahasia itu dibuka. Jika orang mendengar pembicaraan, yang ia ketahui akan menyebabkan orang lain tidak senang kepada pembicara, sepatutnya ia berdiam diri. Ia hanya boleh memberitakan hal itu bila ada manfaatnya bagi Islam dan kaum Muslimin. Namîmah dapat berupa berita yang benar dan bukan berkenaan dengan cacat orang. Terkadang namîmah itu berkenaan dengan cacat orang lain. Di sini namîmah sudah bergabung dengan ghîbah, menggunjingkan orang. Bila cacat itu tidak ada pada orang yang diberitakan, namîmah itu sudah melonjak menjadi kombinasi yang mengerikan antara namîmah, ghîbah, dan fitnah. Al-Quran memperingatkan kita: Janganlah kamu ikuti pendusta yang suka bersumpah, yang berpandangan picik, yang suka mencela, yang berjalan menyebarkan namîmah (QS. 68: 10-11).
Dahulu namîmah disebarkan secara lisan, dari mulut ke mulut. Dalam zaman modern, namîmah berdampak lebih luas karena pelakunya menggunakan teknologi modern. Wartawan menggunakan media massa—baik elektronik maupun cetak. Yang bukan wartawan menggunakan kaset—baik audio maupun video. Belakangan siapa saja dapat memanfaatkan internet untuk itu. Kapan suatu berita menjadi namîmah?
Pertama, bila itu berkenaan dengan perilaku yang tidak disukai oleh pelakunya bila diungkapkan kepada orang lain. Pernyataan yang disebutkan oleh sumbernya sebagai “off the record” menjadi namîmah bila wartawan menyiarkannya. “Privacy” atau urusan pribadi seseorang yang dirahasiakan menjadi namîmah bila disebarluaskan. Dengan ukuran ini, banyak sekali media massa di Indonesia—dan menyedihkan sekali, termasuk media massa Islam—berubah menjadi nammâm, pelaku namîmah.
Kedua, berita itu dapat menimbulkan permusuhan di antara beberapa pihak. Dakwah dapat berubah menjadi namîmah ketika mubaligh bercerita tentang “kesesatan” mazhab yang tidak disepakatinya. Dengan begitu, ia menaburkan kebencian kepada khalayak, sehingga akhirnya mereka memusuhi pengikut mazhab itu. Bila “kesesatan” yang disampaikan itu ternyata hanya isapan jempol, mubaligh berubah menjadi manusia yang paling dibenci Tuhan. Sebab—dengan mengutip lagi sabda Nabi—ia telah “memecah belah orang-orang yang bersaudara (saling mencintai), yang mencari-cari kesalahan dari orang yang tidak bersalah.”
Apa yang harus dilakukan jika kita mendengar namîmah? Pertama, jangan menerima berita itu a priori. Ketahuilah, “man namma ilaika namma ‘anka—siapa yang melaporkan namîmah kepadamu, suatu saat ia akan me-namîmah-kan kamu.” Kedua, jauhilah nammâm, karena kehadiran mereka menyebarkan laknat. Nammâm adalah pemutus persaudaraan. Kehadirannya menyebabkan Allah tidak menurunkan rahmat kepada seluruh kaum tempat ia berada. Yang paling berbahaya ialah hidup dalam satu kelompok masyarakat yang modus perilakunya namîmah. Konon, dikalangan kelompok politisi tertentu, orang tidak akan berhasil memperoleh posisi yang baik, kecuali dengan melakukan namîmah. Terakhir, berhati-hatilah supaya kita tidak terjerumus menjadi nammâm. Seperti budak belian dalam kisah Al-Ghazali, jika Anda melihat seorang suami berduaan dengan perempuan lain, janganlah melaporkan kejadian itu kepada istrinya. Jagalah mulut Anda, betapa pun “gatal” untuk membicarakannya. Apalagi jika Anda tidak melihatnya, dan hanya mendengar kabar burung, yang tidak jelas asal-usulnya. Mulutmu adalah harimaumu.
Sumber:
Jalaluddin Rakhmat
Reformasi Sufistik
it is very good for us to add our knowledge and good manners.