Seluruh disiplin ilmu memiliki metodologinya masing-masing agar kita bisa memperoleh pemahaman yang mendalam, tidak terkecuali agama. Kebanyakan orang mengartikan agama hanya sebagai sekumpulan perintah dan larangan. Hal ini mempersempit makna agama sebagai ilmu fikih. Selain itu, ada pula yang memaknai agama dengan penggunaan akal atau rasional yang disebut dengan filsafat agama. Ada juga yang memahami agama dengan metode ‘irfān atau tasawuf.
Selain ketiga metode tersebut, ada metode baru yang dikembangkan, yakni pendekatan science. Ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah seharusnya sejalan dengan agama yang sebenarnya juga rasional. Namun keseluruhan metode tersebut tetap tidak mampu untuk menyingkap hakikat yang sesungguhnya. Sehingga, seorang fakih (ahli fikih) misalnya, tidak bisa mengatakan bahwa agama adalah fikih dan fikih adalah agama. Begitu juga dengan para ahli ‘irfān yang selalu menghubungkan agama dengan akhirat.
Menurut Yaser Khomeini, Ayatullah Khomeini—dengan latar belakang ilmu pengetahuan yang dimilikinya—mempunyai pandangan yang lebih komprehensif. Beliau memaknai agama sebagai aturan keseharian yang mendidik dan menjadikan manusia sebagai “manusia Ilahi” di semua bidang.
Kita perlu mengembalikan posisi agama pada tempat yang seharusnya, yaitu menciptakan manusia Ilahi yang akan menciptakan masyarakat Ilahi.
Yaser Khomeini
Ada empat poin penting yang perlu dicermati mengenai pemikiran Imam Khomeini tersebut. Pertama, beliau sangat anti terhadap kezaliman, bahkan menolak hal-hal yang mengarah pada kezaliman. Dengan penilaiannya ini beliau menyerukan slogan lā syarqiyah lā gharbiyah, jumhuriyah islāmiyah (tidak timur dan tidak barat, hanya republik Islam). Kedua, Imam Khomeini sangat berorientasi kepada kerakyatan. Imam tidak hanya menerima aspirasi rakyat, tapi langsung melakukan referendum. Hasilnya, lebih dari 95% rakyat Iran setuju dengan negara Islam.
Ketiga, beliau sangat memperhatikan kedudukan wanita. Ketika sebagian ulama mengatakan bahwa suara wanita adalah aurat, beliau justru memerintahkan rakyat Iran, termasuk wanita, untuk turun ke jalan menjatuhkan rezim syah. Ketika dulu wanita tidak memiliki suara dalam pemilu, Imam Khomeini “mengembalikan” hak tersebut bahkan wanita duduk di parlemen. Keempat, Imam selalu menyuarakan persatuan kaum muslimin. Banyak musuh Islam mengatakan bahwa ini merupakan pandangan strategis atau taktis, namun ini murni pandangan Imam Khomeini sesuai ajaran Islam.
Sebagian para ahli—Barat khususnya—mengatakan bahwa agama menghambat kemajuan kehidupan manusia. Ini merupakan pandangan para sekularis. Namun Dr. Amien Rais justru melihat bahwa di dalam Al-Qur’an, agama mendorong kepada peradaban manusia yang lebih adil. Ada tiga kewajiban bahkan hak manusia untuk bisa mewujudkan dan membuktikan hal tersebut.
Pertama, hak manusia untuk beribadah. Kedua, hak manusia untuk mengelola kehidupan sosialnya. Ketiga, hak manusia untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar. Untuk menjalani dua hal pertama, dibutuhkan kekuatan politik yang dapat menghadirkan Islamic State/khilafah, atau paling tidak negara dapat melakukan sharing of power terhadap agama. Hal itu perlu untuk menjamin ibadah dan mengelola kehidupan sosial.
Kita semua ini termasuk para pengikut para rasul. Ada dua tipe rasul yang bisa kita cermati. Pertama, rasul yang hanya cukup menyampaikan apa yang diperintahkan Allah dan reward-nya pun dari Allah. Di surah Asy-Syu’arā’, ada beberapa nabi seperti Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Syuaib yang berkata bahwa imbalan atas tugasnya sebagai rasul hanya dari Allah. Sedangkan tipe rasul yang kedua tidak hanya cukup menyampaikan tapi juga melawan para pemimpin di zamannya. Kita bisa melihat Nabi Ibrahim melawan Namrud, Nabi Musa melawan emperium Firaun, dan Nabi Muhammad yang melawan kekuataan kafir Quraisy.
Agama dengan contoh kedua itulah yang seharusnya ada pada zaman sekarang ini, yakni agama yang “menghidupkan” manusia. Amien Rais tidak serta merta setuju jika jihad masuk menjadi rukun Islam, tapi dia sangat menghargai pendapat itu. Imam Khomeini telah melakukannya di Revolusi Islam Iran, dan bahkan melebihi Revolusi Perancis.
Sedangkan kita di Indonesia, seperti mendapat kutukan sumber daya alam; negara yang melimpah alamnya namun justru jatuh miskin dengan utang yang banyak. Di sini, agama belum mampu memerdekakan manusia untuk beribadah kepada Allah.
Artikel ini merupakan ringkasan pribadi dari materi Seminar Internasional “Religion in Contemporary World” yang berlangsung pada tanggal 5 Februari 2009 di Auditorium Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagian pertama tulisan merupakan ringkasan materi Yaser Khomeini (cucu Ayatullah Khomeini) dan bagian kedua merupakan ringkasan materi Dr. Amien Rais.
hmmmmmmmmmmmmmmmm ……………
ada pengharapan ga?
haii…gimana kabarnya
hem…..menarik sekali tuh seminar, tp sayang akyu datangnya teeeeelaaaat…hiks..hiks…jd sedih
haii…gimana kabarnya