Hijaab Waali yang saya beli tahun 2005 adalah judul asli dari novel yang berkisah tentang cinta beda mazhab. Penerbit di Indonesia menerjemahkannya dengan judul yang terkesan sedikit tidak pas, Cinta yang Terlambat. Novel yang ditulis oleh Dr. Ikram Abidi ini konon menjadi “Novel Pakistan Paling Greget” (begitu tertulis disampul). Andai novel ini diangkat menjadi film, mungkin akan mengalahkan mengalahkan Ayat-Ayat Cinta.
Meski banyak pelajaran yang bisa diambil dari novel ini, tapi yang ingin saya ceritakan di sini adalah kisah cinta beda mazhab. Awal kisah adalah, Aariz Ali, pemuda tampan dan kaya yang jatuh cinta kepada wanita Pakistan yang hidup di London bernama Komal. Meski keduanya berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan namun tidak berasal dari keluarga yang sangat religius, keduanya berasal dari mazhab yang berbeda. Ini menyebabkan keluarga Aariz dan Komal saling menolak.
Banyak kalimat romantis yang tertulis di novel ini. Misalkan, kalimat rayuan Aariz saat makan malam dengan Komal, “Andai aku dapat menggapai ke atas dan mengambil sebuah bintang untuk setiap kali kau buat aku tersenyum, seluruh langit yang gelap akan berada dalam telapak tanganku.” Atau kalimat yang diucapkan Aariz ketika tahu bahwa Komal dijodohkan oleh ayahnya: “Apa yang telah disatukan Tuhan, jangan biarkan manusia memisahkannya.”
Lalu berkonsultasilah Aariz dengan temannya dan orang yang pernah melakukan nikah beda mazhab. Temannya mengatakan bahwa perkawinan semacam itu akan melahirkan anak-anak yang bingung dan frustasi. Sedangkan pengalaman orang yang pernah melakukan adalah terjadinya konflik sosial-agama. Mulai perbedaan waktu berbuka puasa sekitar sepuluh menit sampai masalah politik Islam. Begitu juga dengan bulan Muharam di saat keluarga suni mengenakan pakaian warna-warni dan bergembira, pihak keluarga Syiah mengenakan pakaian hitam dan bersedih.
Namun Aariz tetap bersikeras dan keributan di dalam keluarga pun terjadi. Tidak hanya Aariz yang dimarahi, tapi juga Komal. Keduanya mengalami tekanan jiwa dan berniat menikah tanpa restu orang tua. Namun semuanya terlambat ketika Aariz akan dinikahkan oleh keluarganya dengan Zeest Zahra, wanita sederhana yang taat beragama; terlihat dari pakaiannya yang tertutup dan itu membuat Aariz… muak!
Jauh setelah itu, ayah Aariz yang merupakan pengusaha terpandang bermazhab Syiah, menjadi incaran para kelompok sektarian yang ingin membunuhnya atas dasar “agama”. Kelompok ini hendak membunuh kaum minoritas “kafir” tersebut karena darah mereka halal ditumpahkan. Akhirnya ayah Aariz terkena lima peluru yang membuatnya tewas, sedangkan ibu Aariz terluka.
Tanpa diduga Komal berbalik membenci Aariz karena cemburu atas sikap ketertarikan Aariz kepada Zeest. Komal pun pergi meninggalkan Aariz. Setelah kematian ayahnya, frustasi Aariz meningkat setelah ditinggalkan Komal. Rasa frustasinya diluapkan dengan cara meletakkan senjata di kepalanya. Zeest yang melihat segera menyelamatkan dan peluru justru mengenai tubuh pelayan Aariz. Aariz pun dipenjara dan masuk rumah sakit jiwa. Tertekan karena menyesal mengusir Zeest namun sekarang ia ingin sekali bertemu dengannya.
Kisah sembuhnya Aariz dari rumah sakit jiwa disampaikan dalam bentuk puisi yang, menurut saya, “mengkritik” umat Islam dalam memposisikan Alquran. Dokter dari rumah sakit heran bagaimana bisa Aariz sembuh dan kembali normal dalam waktu yang demikian singkat. Aariz menjawab bahwa sesuatu itu mampu mengobati luka, menghilangkan memar meskipun itu ada di hati.
Aku adalah sebuah buku yang tercetak indah.
Untuk mengetahui namaku, inilah petunjuknya.
Beraneka dalam sampulnya dan terjilid rapi.Di hati Muslim, aku jarang ditemukan.
Tinggi di rak, tersimpan daku.
Terlupakan di sana, terbengkalai daku.Dengan takzim,
aku memang mendapat banyak ‘ciuman’.
Unsur utamaku, mereka ‘luput’ dapatkan.Dengan suara merdu, mereka membacaku,
Mengabaikan pesan dalam diriku.Terkadang, aku dipakai untuk sumpah palsu.
Manfaatku yang sebenarnya sangat,
Sangat langkaSebuah mukjizat, itulah aku,
yang dapat mengubah dunia,
yang orang harus lakukan,
adalah memahami pesanku.Alquran Suci adalah namaku.
Zeest Zahra telah menjadi seorang guru di sebuah Sekolah Islam Ahlulbait, yang melahirkan murid-murid yang berani untuk mengenakan hijab. Ada adegan di mana Hijab Zehra—nama barunya—tampil sebagai pembicara dalam debat dengan tema “Hijab: Sebagai Penindasan atau Pembebasan”.
Ada potongan dialog ketika seorang lelaki menceritakan mengenai istrinya yang mengenakan hijab. “Ketika istri saya yang tertutup rapat di depan orang lain, membuka rambut dan badannya hanya di depan saya, ada rasa unik kepada saya, satu rasa kepuasaan, kepemilikan. Ya, ia hanya milik saya, ia begitu menarik tetapi daya tariknya hanya untuk saya. Setiap kali saya melihatnya ia dalam kondisi baru…”
Sebagaimana yang saya katakan, novel ini tidak hanya sedang menceritakan “kisah cinta beda mazhab”, juga tidak mengajarkan bahwa kita harus menikah dengan satu mazhab. Tapi lebih dari itu, menggambarkan kesetiaan, kesabaran, kekuatan cinta dan pentingnya mencintai dengan bimbingan agama, bukan nafsu semata. Juga tentang kesabaran yang tinggi, dan pentingnya mempelajari Alquran dan mengenakan hijab.
Kisah seperti ini, yakni keluarga yang tidak setuju pernikahan beda mazhab, memang tidak saja terjadi di Pakistan. Di Indonesia, shiaphobia atau ketakutan atau kebencian akan Syiah juga terjadi sebelum dan setelah pernikahan. Semuanya hanya berasal dari ketidaktahuan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Manusia memusuhi apa yang tidak diketahuinya.”
Catatan: Artikel ini pertama kali dipublikasi pada bulan Oktober 2008. Anda bisa mengunduh kisah lengkap Hijaab Waali dari Ikram Abidi’s online literary works di sini. Kunjungi situs resminya di www.abidis.org
Pinjeeem yaaa ja 😀
ja, gw pernah bikin referensinya di multiply,
gila ne buku adem bener bacanya…
nangis nangis gw
saya kira stelah baca crita ttg kisah cinta seseorang yang berbeada madzhab,, bnyak pesan baru yg aku dptkan.. tpi terlepas itu semua, pada dasarnya semua madzhab itu mempunyai tujuan yang sama dalam mengembangkan ajaran islam, hanya caranya saja yg berbeda.. untuk itu kta boleh saja bertaqlid k salah satu mazhab yang kita anggap itu sesuai dengan hati kita, tpi kta juga harus membuka diri terhadap ajaran2 yang berbeda dari madzhab kita. ini bukan lagi zaman kaum mutakhirin, yg dmna menganggap bahwasanya madzhab nya lah yg paling benar,, mudah2an dengan adanya buku ini, kaum muslimin tidak menutup diri dengan perbedaan-perbedaan yg ada pada lingkungannya, selama itu tidak menyimpang dari sumber hukum islam yaitu Alquran dan Hadist.. trims….
luar biasa ceritanya…
Subhanallah. Sinopsisnya aja sungguh indah. Membacanya membuat qalbu bergetar. Mudah2an masih ada di gramedia. Ada yang bisa kasih informasi novel ini? Saya tinggal dimedan. Makasih