Umbul-Umbul dan Vonis, Sebuah Panggung Agama

Oleh: Geisz Chalifah

Prof. Dr. M. Quraish Shihab adalah seorang ulama dengan pengetahuan yang amat luas. Beliau aktif berceramah dan produktif menulis berdasarkan literatur islam klasik dan mendudukan persoalan dengan penuh kearifan dan proporsional. Baru baru ini lahir buah karyanya berjudul Sunni – Syiah: Mungkinkah Bergandengan Tangan? Luar biasa menarik. Bahasannya sangat dalam mengambil berbagai literatur dari ulama Syiah dan suni. Tokoh ini menjadi simbol intelektual jemaah yang kini mengalami stagnasi, baik dari kalangan habaib maupun dari kalangan syekh.

Kepiawaian Quraish dalam menafsirkan ayat Quran bukan hanya kata perkata namun juga menjelaskan mengapa satu huruf terdapat di satu kata tertentu dan mengapa di kata lainnya tidak. Bahkan seringkali Quraish mengawalinya dari akar katanya lebih dulu, memberikan kita sebuah pemahaman keluasan dalam memahami sebuah ayat Alquran.

Akan tetapi secara umum Quraish Shihab tidak mendapat apresiasi yang proporsional baik dari sebagian kalangan habaib maupun dari sebagian kalangan syaikh. Ada dua hal kegandrungan keagamaan saat ini yang tidak dimiliki Quraish dan memang dijauhkan olehnya. Dan itu menjadikannya kurang mendapat tempat di sebagian anggota dua komunitas ini.

Hal pertama adalah Quraish tidak memakai surban, tidak memakai umbul-umbul disekitar majelisnya untuk melaksanakan maulid. Akhir-akhir ini, di beberapa ruas jalan raya di Jakarta, memang sering muncul ratusan umbul-umbul lengkap dengan baliho yang super besar sang habaib dengan surban menutupi kepalanya. Quraish tidak memakai pola yang demikian dan karena itu Quraish dianggap tidak mewakili tradisi habaib.

Di sisi lain, di sebagian kalangan syekh, Quraish Shihab dianggap tidak memiliki sikap yang jelas. Ia tidak mau memberikan kata putus menyangkut berbagai masalah keagamaan, misalnya dengan kata: sesat, bidah, kufur, khawarij, yang sekarang sedang tren di sebagian kalangan komunitas syekh. Ini pun sulit saya pahami bagaimana mencari surga namun melupakan kearifan sosial, melupakan kesalehan sosial dan mengajarkan membenci umat yang lain. Saya tidak faham bagaimana persoalan furu’iah menjadi dominan dalam memahami agama sementara itu pula melupakan substansi akhlak.

Surban dan celana cingkrang, memainkan peran penting dalam memahami agama seseorang. Semakin tinggi celananya, semakin panjang surbannya maka semakin Islamlah orang tersebut. Benarkah?

Islam simbolik menjadi tren formalisasi agama. Agama tidak lagi berhadapan dengan masalah sosial namun agama menjadi pemilikan atas satu tafsir kebenaran. Meminjam istilah Yudi Lathif, Tuhan dihadirkan di dalam ruang publik sebagai simbol dan formalisasi bukan sebagai rahmatan lil alamin. Tuhan di klaim seolah berada pada kelompoknya. Entah bagaimana Tuhan dianggap menjadi partisan padahal Tuhan tidak pernah memihak “ke kiri” dan “ke kanan”.

Agama menjadi euforia, berbagai majelis melakukan penyeragaman bukan hanya kain sarung, baju koko dan peci putih namun kita-kitab yang dibaca pun diseragamkan. Sebagian kalangan habaib mendahulukan simbolisasi penampilan dan menyeragamkan tradisi berpakainan menjadi bagian dari Islam.

Hal yang sama juga muncul di sebagian komunitas syaikh. Mereka menyeragamkan celana cingkrang. Seorang guru di sebuah pesantren mereka di Jawa Timur sampai menggunting bagian bawah celana muridnya karena melewati mata kaki.

Kedua kelompok juga menolak kitab dan bacaan di luar kelompoknya. Sebagian ustaz rajian membuat daftar buku-buku yang wajib di baca dan buku-buku Islam yang haram di baca. Yang terakhir ini bukan karena isinya rusak, tapi semata karena tidak sealiran dengannya, dan yang tidak sealiran dianggap sebagai sesat.

Ke manakah dua aliran ini mengarah? Wallahualam.

Satu respons untuk “Umbul-Umbul dan Vonis, Sebuah Panggung Agama

  1. Sangat menarik tulisan ini jadi ingin komentar…
    Kebetulan saya salah seorang muhibbin yang “bingung” apa memang perjuangan Syiar Islam 2009 seperti ini… saya sering keliling malah membantu perjuangan da’wahnya, tapi rasanya seperti berjalan disiang hari yang terik, kering dan gersang jarang pepohonan untuk berteduh …Smoga Allah SWT menunjuki kita jalan kebenaran yang hakiki…

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.