Di forum diskusi Ba Alwi, tema pernikahan syarifah dengan non-sayid masih dan akan tetap selalu hangat. Terutama pihak yang menentang, akan mati-matian membela keyakinannya itu. Di sini, saya bukan ingin memanaskan tema yang sudah hangat, tapi ada peristiwa yang membuat saya ingin mengangkat tema kafaah tersebut.
Dulu teman saya, seorang akhwal (sebutan bagi orang Indonesia di kalangan jammaah; jamaknya khâl yang berarti “paman dari ibu”) tanpa basa-basi bilang ke saya kalau dia ingin (nantinya) menikah dengan syarifah. Saya tidak bisa komentar apa-apa selain dengan jujur menjawab tidak punya banyak kenalan syarifah apalagi saya sendiri tidak bisa (atau tidak biasa?) jadi makcomblang.
Lalu teman saya (seorang sayid) yang juga teman si akhwal yang tahu keinginan temannya tersebut langsung menghubungi saya. Seperti orang yang tersambar petir, dia meminta saran dan bantuan saya agar menasihati si akhwal untuk mengurungkan niatnya tersebut. Saya meresponnya melalui surel (yang cukup panjang) dan mungkin jawaban saya tidak sesuai dengan harapannya. Karena saya heran, bagaimana seandainya ada syarifah dan keluarganya yang mau dengan seorang non-sayid? Apa mungkin kita menghalang-halangi sesuatu yang halal? Apakah akhwal berdosa menikahi syarifah?
Kafaah dalam Sejarah
Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan tertindas. Di zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi wanita ‘ajam (non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah), wanita kalangan kekaisaran dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih memilih menikah sedarah demi menjaga kemuliaan tersebut.
Ketika Islam datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun mengenai pernikahan tidak menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi terkait agama sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada seorang lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran kawinnya…”
Sejarah mencatat beberapa pernikahan berikut: Zaid bin Haritsah (bekas budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan Quraisy); Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah binti Qais (bangsawan Quraisy); Bilal (sahabat berkebangsaan Ethiopia) menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy).
Kafaah dalam Fikih
Nah, dibagian fikih inilah yang menurut saya menjadi menarik: mazhab ahlusunah (selain Maliki) menganggap pernikahan syarifah dengan non-sayid adalah tidak sekufu (tidak setara meskipun sah), sedangkan Syiah yang notabene mengikuti mazhab ahlulbait menyatakan pernikahan seperti itu adalah kufu.
M. Hasyim Assagaf dalam bukunya yang kontroversial memberikan uraian mengenai kafaah dalam fikih ahlusunah sebagai berikut:
- Mazhab Hanafi: Kafaah adalah kesepadanan si lelaki bagi wanita dalam hal nasab, Islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan, dan harta. Kafaah berlaku bagi lelaki, tidak pada pihak perempuan. Lelaki boleh menikah dengan siapa saja.
- Mazhab Maliki: Kafaah dibagi menjadi dua; pertama, keagamaan dan kedua, bebas dari aib yang ditentukan perempuan. Kafaah dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah mu’tabar (diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan perempuan mulia (syarifah) maka sah.
- Mazhab Syafii: Kafaah adalah nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya kufu’ antara sesama mereka sendiri. Kafaah merupakan syarat bagi sahnya nikah bila tiada kerelaan, dan hal itu adalah hak perempuan dan walinya bersama-sama.
- Mazhab Hambali: Kafaah adalah kesamaan dalam lima hal; keagamaan, pekerjaan, kelapangan dalam harta, kemerdekaan, nasab.
Serupa dengan mazhab Maliki, mazhab Syiah Ja’fari pun tidak mengenal kafaah dalam hal nasab. Disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Manusia itu kufu antara sesama manusia, Arab dan ‘ajam, Quraisy dan Bani Hasyim, bila mereka telah Islam dan beriman.” Itu semua merupakan bahasan fikih.
Kafaah dalam Amanah
Tanpa perlu panjang lebar membahas ahlulbait dan zuriah Rasul, tanpa bermaksud membangkitkan sikap fanatik, dan tanpa niat meminta dihormati; sebagai zuriah, seseorang harus menjaga amanah yang dimilikinya, salah satunya adalah menjaga keberlangsungan keturunan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlih.
Meskipun dalam hukum fikih adalah sah, tapi tentu akan lebih afdal jika memilih yang lebih utama selain dari pada ukuran agama. Karena terkadang pernikahan beda nasab bisa menimbulkan masalah. Misalnya pertentangan kebudayaan di antara keluarga yang mungkin sulit untuk dipersatukan, atau masih adanya pandangan negatif atau “celaan” dari salah satu keluarga yang dianggap sebagai aib, dan seterusnya.
Untuk itu ada baiknya kita menengok pendapat Imam Syafii, dari sisi mencegah hal negatif; meskipun secara fikih saya tetap meyakini mazhab ahlulbait yang menyatakan bahwa pernikahan syarifah dengan non-sayid adalah sekufu. Ketika dulu ada yang mengatakan kepada saya bahwa asal-usul pernikahan satu nasab (syarifah harus dengan sayid) adalah Syiah Persia, tentu ini tuduhan belaka.
Tidak perlu terlalu fanatik terhadap nasab, tapi sama-sama saling melihat diri sendiri. Jika ada seorang syarifah menikah dengan akhwal, jangan cegah si akhwal atau mencela keluarga syarifah. Tapi pertanyakan; ke mana sayid atau di mana keutamaanya? Begitu juga dengan sayid yang menikah dengan non-syarifah, jangan dulu cela si sayid. Ke mana syarifah yang masih menyadari “kesyarifahannya”? Wallahualam.
Tambahan: 30 Januari 2010
Hari ini, masuklah dua komentar panjang lebar tentang tulisan ini. Niatnya mungkin ingin mengkritik tulisan, tapi justru menyerang pribadi saya. Mungkin karena ia belum membaca dan memahami tulisan beserta maksudnya.
Pertama, ia mengkritik turunnya kualitas anak-cucu Nabi dalam agama. Padahal ketika membicarakan agama, kesampingkan sejenak masalah keturunan. Agama ini (Islam) untuk seluruh umat manusia. Memang benar bahwa keturunan Nabi memiliki tanggung jawab yang lebih besar, tapi kewajiban amar makruf dan saling mengingatkan ada di pundak setiap muslim.
Kedua, ia berbicara masalah syarat nikah dan menyebutkan bahwa di kalangan Alawiyyin syarat nikah di tambah satu, yaitu kafaah, yang tanpanya maka pernikahan batal. Kalau ia membaca tulisan di awal, yang menetapkan kafaah dalam nasab adalah ulama Ahlussunah, sedangkan ulama mazhab Ahlulbait tidak menetapkan kafaah nasab sebagai syarat nikah.
Ketiga, bukti yang disampaikan seperti biasa kisah tentang peminangan Sayidah Fatimah, putri Nabi saw. Bagi yang membela kafaah nasab (dari kalangan manapun), pemilihan Nabi terhadap Sayidina Ali dianggap karena masalah kafaah nasab. Tapi bagi saya, pemilihan Nabi tidak mungkin “hanya karena masalah kecil”, tapi Nabi memilih karena kualitas iman, takwa, akhlak dan kedekatan Imam Ali kepada Allah, dibandingkan sahabat lain yang meminang. Inilah yang disebutkan pernikahan langit (yang “dirancang” oleh Allah Swt.)
Keempat, pembicaraannya semakin melebar dengan mengutip ayat dan hadis untuk mengajari saya tentang keutamaan Ahlulbait, yang saya tidak ada keraguan sedikitpun tentangnya. Tapi ia mengatakan bahwa “Sayid hanya akan akan menikah dengan Syarifah”, padahal semua sudah tahu bahwa Imam Ali tidak hanya menikahi wanita Bani Hasyim, Imam Husain pun menikahi putri Persia, Imam Ali Zainal Abidin yang menikahi seorang budak, dan seterusnya. Hal ini menegaskan bahwa kafaah adalah agama.
Kelima, pembicaraan mengenai “nikmat dan rasa syukur” menjadi zuriah. Seseorang yang hanya memikirkan satu sisi hanya akan terlena, karena tanggung jawab sebagai zuriah harus lebih diutamakan dan saya sepakat dalam hal ini. (Silakan baca: Ke-sayyid-an: Berkah atau Beban?)
Terakhir pembicaraan kembali tentang keutamaan Ahlulbait, mulai dari nasab yang berlanjut dari Bunda Fatimah as. dan seterusnya hingga mengutip riwayat keutamaan Ahlulbait yang sangat diamini oleh para Syiah Ahlulbait as. Padahal kalau ia membaca seluruh tulisan dan komentar saya, niscaya hal itu sejalan.
Komentar selanjutnya, barulah dia menyerang pribadi saya dengan meragukan keturunan seseorang. Sebutan “tuan”, “sayid”, atau “habib” memang tidak pernah diharapkan oleh orang seperti saya dan sudah ditegaskan dari awal. Meragukan darah/keturunan seseorang pun tidak akan mengubah hakikat aslinya, karena kaum Alawiyyin memiliki nasab jelas hingga puluhan tingkat ke atas, ketika sebagian yang lainnya mungkin tidak memiliki kejelasan bahkan lima tingkat ke atas. Wallahualam.
Baca Juga:
Sayyid tetaplah sayyid,,, syarifah tetaplah syarifah…. tidak ad yang bisa diubah bahkan diingkari, walaupun sifat2 dari Baginda Rasulullah SWT telah dianugrahkan kepada keturunan Beliau, tapi tidak dipungkiri, saya mengalami sendiri “pernah dekat dengan seorang Sayyid”…. sama sekali tidak mencerminkan sikap yang bisa dibanggakan dari seorang lelaki,, MENGKASARI seorang wanita, MEMUKUL wanita, menjadikan wanita bahan hiburan dan dipermainkan semata (bukannya mau curhat yakk……… :D), kasus perceraian tidak dapat dihindari karena menuntut untuk pernikahan dalam satu FAM, poligami yang terjadi karena menikah tidak didasari CINTA,,
Ass nama saya riyan mahdum ,nenek saya juga ada keturunan arab ,tapi kenapa kok saya tidak boleh mencari syarifah di karenakan ibu dan bapak saya sudah tidak mengikuti nasab ? Mohon dijelaskan
assalamualaikum salam sejahtera buat smw saudara”ku seagama islam yg pastiny mematuhi kitabullah rasulullah bukan mengingkariny menjadi kufur,perdebatan apa kata kita itu bukanlah hukum islam dengan ilmu tpi itu hawa nafsu,kafa’ah & nasab mengerjakan sebanyak”ny kebaikan(sunnah)itu ada di imam syafi’i penyempurna hukum fiqih islam yg terbaik yg menjadi mayoritas,ibrahim & keturunanny,allah banggakan di dalam firmany,nasab syarifah & sayid allah banggakan dihari kiamat gk penting kalian banggakan gk perlu,yg penting itu allah & rasulullah.dan tidak akan bertemu kalian yg mencela nasab,kafa’ah menurut imam syafi’i itu uda jelas,untuk sayid & sarifah mereka memutuskan hidup mereka sendiri kehormatan atw kehinaan mengutip kata” (imam ali karromallah hu wajha: allah mendidikku kuperoleh pendidikan yg terbaik. HR:tabrani) ini sungguh menyedihkan mengaku umat islam,tpi ingin melanggar kafa’ah agar bisa mencicipi keturunan nabi & menyakiti melalui keturunanny,kelemahan ulama diantara kebodohan umat realita aja banyak yg cuma islam ktp kadang” gk tw ngaji knp karna gk mw belajar atw membuka hati mencari kebenaran,udah tw cucu nabi mw dicobain juga,bahkan istri” nabi yg janda tidak ada yg berani menikahiny takut berdosa menodai kehormatan nabi,jangankan sekarang sayyidina husein masih bisa diingkari dihianati diperangi sampai keturunanny karna iri & dengki,biarlah sayid & sarifah agar menjaga kehormatan nabi,entar klo sayyid nikah” disetiap kampung kalian marah mencaci mencela kalian yg membuat agar menikah tanpa kafa’ah imam syafi’i,semoga allah lindungi sarifah dari pria yg hany mencari nafsu,sudah banyak terjadi di beberapa tempat nikah hanya lah permainan bahkan banyak anak yg lahir ditinggal ayah hanya mencari kepuasa nafsu tanpa ahir,semoga cucu rasulullah dijauhkan dari mereka yg mengoyak kehormatan baginda rasulillah
Mau ibadah (nikah) kok dihalang2i, tau gak mas siapa yang biasa menghalang2i hamba Allah untuk beribadah?, tau kan.. Ya cukup tau saja yaa.. Wkwkwkwk
Saya ingin menceritakan pengalaman saya sebagai seorang sarifah. Saya memiliki beberapa kakak perempuan. Salah satu kakak saya dinikahkan dengan habih masih keponakan ayah saya sebelumnya ada beberapa ahwal yg berminat kepadanya, seorang sarjana, punya pekerjaan, akhlaknya baik, namun semuanya ditolak hanya karna bukan habib. Kemudian ia dinikahkan dengan keponakan ayah saya tidak seperti kakak saya yg sarjana, suaminya bahkan tidak memiliki ijazah sekolah, dan ternyata sifatnya amat pemalas. Saya melihat sambil hamil tua kakak saya mengajar dan berdagang membawa banyak barang dagangan tanpa ditemani suaminya ia hanya dirumah dan menunggu karna kasian kakak saya yg lainnya yg menemani saat belanja. Setelah diusut ternyata suaminya ini dahulu tidak bekerja karena semua tetangga yg memuliakannya memberikannya makanan bergantian setiap hari meskipun ia seorang lelaki sehat tanpa cacat. Kakakk sayasemakin kurus dan bahkan pernah sakiy tifus karena kecapekan. Saya berfikir seandainya seorang ahwal yg baik dahulu diterima nasibnya tak akan seperti ini.
Kakak saya yang pertama pernah dinikahi oleh habib yg mengaku duda dia adalah habib yg berpendidikan tinggi. Ortu saya sangat senang dan bangga sehingga menerima anaknya dinikahi sirih oleh habib itu tanpa mengusut statusnya lebih jelas, namun ternyata habib tersebut menipu, iabukan duda dan telah memiliki 7 anak. Kakak saya dijadikan istri simpanan. Lalu seenaknya diceraikan lagi setelah sebulan. Ortu saya bahkan tak berani marah padanya. Teriris hati saya melihat kakak saya yg jadi sangat sedih dan pemurung malu untuk keluar rumah. Kakak saya yg satu lagi, dilamar oleh habib salah satu keturunan habib tetkenal dan dimuliakan, ia juga sarjana dan memiliki pekerjaan yg sangay baik selama ini jd tulang punggung keluarha, saat habib tersebut datang ia berkata sambil tersenyum, “kamu gajinya gede kan ya?” Mungkin ia ingin dinafkahi oleh kakak perempuan saya ini. Sebagai adik saya merasa sangat sedih dan ini tak pantas
Terkadang kalian yg berpegang teguh pada aturan ini. Kurang memperhatikan dan masa bodoh dengan nasib sarifah itu sendiri setelah menikah. Banyak sayid yg menikaj dengan ahwal karena dianggap tak memutus nasab jarang ada yg mempermasalahkan. Tetapi lain halnya dengan syarifah dgn sayid, padahal jumlah syarifah 3x lebih banyak daripada habib. Kalau tidak dipoligami mau tak mau jd perawan tua seumur hidup. Apakah ini dibenarkan dlm islam? Kalian sama sekali tak memuliakan syarifah tapi memuliakan diri kalian para habib yg memiliki ego yang amat tinggi. Lalu mempersulit kami tanpa peduli. Jumlah habib sedikit dan jumlah yg agama, akhlak, dan sekaligus berpendidikan jauh lebih sedikit. Apakah kami harus terima dinikahkan dgn yg bshkan akhlak dan pendidikan lebih rendah daripada kami hanya karena ia mulia sebagai habib, dan mengabaikan orang baik yg agamanya bagus dan bertanggung jawab dan mapan, hanya karena ia bukan habib. Mengorbankan kebahagian dan hidup kami demi menjaga ego kalian?
Saya mohon sebutkan 1 ayat al Quran saja yg secara tegas mengatakan bahwa “keturunan Rasulullah saw hingga seterusnya lebih mulia dari yg lain ? dan 1 ayat saja yg mengharuskan syarifah hanya boleh kawin dengan sayid semata
kayaknya cuma di Indonesia isu kafa’ah tsb. Saya dengar kalau di timteng (Iran, Iraq, Lebanon, dll) gak ada tuh yang meributi pernikahan syarifah dg non-sayyid, dan memang tidak ada dasarnya menurut Islam. putri dari dua pemimpin tertinggi Iran (almarhum sayyid khumaini dan sayyid ali khamenei) menikah dg non-sayyid, tentunya lelakinya seseorang yg memiliki kualitas dari segi agama dan materil dan seharunya beginilah kekufuan yg dilandasi dg kualitas agama serta harta/pekerjaan suaminya yang notabene sesuatu yang faktual utk kelangsungan rumah tangga.
Seorang sayyid asal Iraq dalam ceramahnya pernah berkata banyak kok kalangan lelaki keturunan ahlulbayt yang (maaf) bobrok moralnya. nasab tidak menjamin nasib, tidak ada yang memungkiri bahwa nasab ahlulbayt adalah kemuliaan tetapi tidak otomatis menjadikan dzuriyahnya mulia karena kemuliaan nasab tsb adalah amanah dan merupakan maqam tanggung jawab, bukankah api neraka tidak akan memandang nasab seseorang? artinya kita tidak memiliki jaminan surga karena kita memang bukan manusia ma’sum pilihan kok.
Dan statement-statement rancu yg diberikan bagi penentang terkadang adalah seperti ‘menjaga keberlangsungan keturunan’, saya gak habis pikir dg pandangan demikian, karena sampai kapanpun yg namanya keturunan itu (baik paternal & maternal) akan terus meninggalkan jejak DNA hingga keturunan di hari kiamat sekalipun. Ibarat kita aja deh yang keturunan Adam & Hawa, mau anda menikah dengan suku atau ras manapun, DNA Adam & Hawa tidak akan terhapus dari darah anda, begitu juga orang-orang yang menjadi leluhur-leluhur anda entah darimana asalnya, ia akan terussss terbawa secara biologis.
Dan untuk sang penulis, tadi menyinggung kadang ada hambatan-hambatan sosial dalam pernikahan beda etnik/bangsa seperti masalah kebudayaan. Tetapi hal ini bukan kebenaran mutlak, hal tersebut bukan persoalan keturunan, tetapi lebih kepada prahara sosial, dan hal ini subyektif apalagi di zaman modern hari ini dimana interaksi atau hubungan lintas negara/bangsa semakin dekat,, memang perbedaan pasti ada namun hal tersebut lebih dititik beratkan atas relasi personal masing-masing. anak dari keluarga kaya dan anak perkotaan, secara pemikiran lebih globalized dan easy going, sehingga menjalin pertemanan atau pernikahan dengan orang beda negara bukan hal tabu bagi mereka, banyak contohnya, belum lagi karena faktor pekerjaan, misalnya kalau ia seorang pilot yang sudah familiar dengan negara-negara di seluruh penjuru dunia yang membuka banyak wawasan dan pengalaman ttg segala hal diluar kampung halamannya hehe. Tapi beda dengan misalnya masyarakat pedesaan, dimana relasi kolektif masih berperan besar seperti kesukuan (corak tradisionil), maka pernikahan yg mempertimbangkan kesamaan suku lebih prefensial bagi masyarakat tsb, jadi ini semua memang kontekstual nan subjektif.
yang penting bagi saya, agama harga mati, tanggung jawab seorang pria baik moril & materil adalah utama.
Yang membedakan pandangan akan ahlulbait antara Syiah vs Sunni adalah… Syiah lebih rasional, tidak memiliki doktrin dzuriyyah rasulullah selain 12 Imam dan siti fatimah adalah “lebih baik” dari yang lain, kedzuriyyatan mereka adalah maqam tanggung jawab karena memikul beban amanah berupa nasab mulia yang harus dijaga, jadi ketaqwaan mereka diukur dari tanggung jawabnya sendiri dan itu lebih berat, bukan berdasarkan kelahiran orangnya hanya karena memiliki dzuriyyah Rasul. Dalam Syiah, gelar ahlulbayt adalah 12 Imam, siti fatimah, dan Rasulullah SAW yang memiliki jaminan langit akan ketetapan maqam serta kesucian mereka sehingga mereka memiliki otoritas Imamah sepeninggal Rasulullah SAW, jadi keistimewaan ini tidak berlaku bagi keturunan Rasulullah secara umum. Sedangkan Sunni, menngklaim ahlulbayt seluruh keturunan Rasul hingga hari ini, mau yang moralnya bobrok atau tidak tetap disamakan memiliki kedudukan superior bak ajaran kekastaan hindu, walhasil jd merembet ke perihal pernikahan. Kalau para Sayyid dlm Syiah saya jamin tidak akan berani macam-macam. Bagi kalangan Syiah pasti familiar dg istilah gelar “Mirza”, yaitu gelar sosial semata yg dinisbatkan kepada kalangan yang ibunya syarifah, semata hanya sebagai sikap respect dan pengingat agar mengingatkan mereka secara genetis mereka masih memiliki koneksi silsilah secara matrilineal kepada ahlulbayt walau sudah tidak terhitung secara nasab. Banyak kalangan ulama yang Mirza dalam Syiah, apa antum mau mencibir mereka? kalau sunni sih mungkin, tapi kalau syiah mohon jgn lagi bawa-bawa doktrin kehabiban sunni dalam mazhab kami!
HIGHLY RECOMMENDED ARTICLE. ini di forum syiah internasional, silahkan baca artikel yang di posting oleh user berikut ini mengenai kebolehan syarifah menikahi non-sayyid. Artikel ini menyuguhkan bantahan2 terkait klaim2 yang biasanya dipakai oleh kubu penentang. akan lebih bagus kalau ada yg mau nerjemahin dan share seluas-luasnya. walaupun ini dari mazhab Syiah, namun pemahaman ini sangat logis secara agama itu sendiri (islam)
click:
http://www.shiachat.com/forum/topic/234923694-syed-and-non-syed-marriage/?do=findComment&comment=1607377
perkataan Imam Ali dari Nahjul Balaghah ini clear, bahwasannya nasab tidak menjamin nasib.
“Apabila perbuatan seseorang merendahkan kedudukannya, silsilah mereka TIDAK akan mengangkatnya”.
Oleh karena itu, ana selalu katakan. Nasab mulia seorang sayyid itu bukan karena otomatis mulia sosoknya, akan tetapi tanggung jawabnya. Nasab itulah kemuliaan yang merupakan beban amanah untuk dipikul dg sanksi yang berat. Jadi semua berpulang kepada diri masing-masing.
Maaf ya Habib. Mungkin bagi mereka kalangan dhuriyyat mayoritas Sunni syafi’iyah bisa dimaklumi dg aturan nasab sbg bagian faktor dari kafa’ah pernikahan, krn ya mau gimana lagi mazhabnya sendiri berkata demikian, terlepas ada ikhtilaf di antara mereka menyikapi ini.
Tetapi Ana mah heran aja bagi mereka kalangan dhuriyyah yang bermazhab Syiah Imamiyah di Indonesia ini masih saja (sebagian) membawa-bawa keyakinan ini, yang seolah dipandang sbg bagian dari ajaran ahlulbayt. Bila ingin menikah dg sesamanya ya silahkan aja, gak penting bagi orang lain kok, tapi janganlah dinisbatkan pada ajaran keyakinan mazhab AB ini, krn ini urusannya sdh pure konteks ajaran keyakinan itu sendiri yang dianut banyak pengikut AB lainnya.. kok masih saja (kalau bung Karno bilang) doktrin tradisi ‘Hadramautisme’ ditanamkan kpd Mazhab ini. Bukannya berubah dg menjadi Syiah AB yg secara sadar tidaklah sama dengan fahaman Sunni Hadhrami mereka terdahulu. Bila itu suati tradisi budaya, ya tolong akui saja sbg kebudayaan, gak usah bawa-bawa mazhab AB dg penisbatan keyakinan, gak ada kok yg larang ataupun mempedulikan mereka untuk tetap menjalankan budaya yg memang dibawa oleh para pendahulunya dari Yaman.. silahkan saja sana. Tp jangan juga merasa berhak utk mengatur-atur seorang wanita syarifah atau sayyid yg menikahkan dirinya dengan pria/wanita diluar keturunan mereka, disinilah garis merah yg harus difahami utk tidak fanatik kekauman karena memang tidak ada dasar secara agamis nya bagi mereka utk melakukan ini. Alhamdulilah, saya tahu beberapa akhwat syarifah AB yg menikah dg non-sayyid, pernikahan mereka normal dan langgeng2 saja sebagaimana umumnya.
Jadi kesimpulan saya bagi kalian kalangan Ba’alwi yg bermazhab Syiah, silahkan tunaikan tradisi kalian tanpa merasa berhak jadi otoritas pernikahan orang-orang lain hanya karena mereka dari keturunan yang sama, hak kalian utk menjalani tradisi, tetapi bukan hak kalian untuk mendikte hak agamis orang lain yang justru memiliki tujuan mulia di sisi Allah yakni pernikahan.
bagaimanapun ente yang keturunan arab wabil khusus yang mengaku diri ente keturunan Al Mustafa SAW maka jagalah marwah dengan baik. ingat bahwa darah suci Baginda mengalir di tubuh anda dan jagalah itu dengan baik. Mengenai pernikahan se kufu saya mohon para Alawiyyin yang berpandangan seperti itu ( soal Kekufuan) kembali melihat sejarah, Bahwa sesuangguhnya Kufu an itu berada pada dua sisi sekaligus. artinya seorang syarifah juga akan memberikan nilai keutamaan yang diharapkan oleh seorang yang bukan sayyid dengan menikahi syarifah denikian juga sebaliknya itulah kufu sebenarnya. Mohon difahami. Dan keturunan Baginda Al Mustafa SAW tetap akan lestari sampai akhir Dunia ini. itu jaminan Baginda dan anda tidak usah khawatir akan hal itu. Tugas anda adalah berakhlaklah seperti bagaimana akhlak Nabi SAW dan ahlul baitnya AS.
Saya sependapat dengan anda, bila mgkin anda sudah lihat muzakkarah ulama ke 5 aceh yang membahas masalah teesebut mungkin akan menjadikan keyakinan semakin kuat
Bila anda tidak paham bahasa aceh saya bersedia menerjemahkan
normalnya org yg tdk tahu itu bertanya atau mencari tahu, bukan malah memberi tahu / nyinyir / curhat
Saya seorang syarifah. Seorang lelaki sunda datang melamar saya. Lalu ayah saya menolak lamaran tsb dengan alasan adat istiadat kami yg tidak pernah menikahkan syarifah dengan akhwal. Tapi saya dari tahun lalu sudah ingin menikah dgn lelaki tsb. Sedangkan lelaki itu sudah dituntut oleh keluarganya agar segera menikah. Bagaimana dgn saya yg tidak disetujui oleh orangtua saya sedangkan saya sudah sangat ingin menikah ?
Saya sarankankan,menikahlah dg sayyid,minta petunjuk orang alim yg hidup ato yg telah meninggal,minta doa,krn menikah adalah perjalanan panjang. Diawal keliatan manis,tapi 10 th ,20 th kemudian bisa sangat pahit.
Aiwah, jgn pernah menikah dgn yg bukan Sayyid!!!, Krna nasab Syarifah mu akan terputus dari Rasulullah Sawa
Sedari dulu saya selalu tergelitik dengan alasan dilarangnya syarifah nikahi non-habib karena nasabnya “terputus.” Pandangan irasional yang begitu dipaksakan.
Orang yg paham sejarah, antropologi, bahkan DNA sekalipun, atau jika menggunakan kejelian otaknya sedikit saja, pasti tahu yg namanya garis keturunan itu, dalam sejarah bangsa manapun di dunia ini, tidak pernah ada dalam kamus bisa “terputus.” Entah itu patrilineal maupun matrilineal, yang namanya sambungan garis keturunan itu kekal sepanjang masa.
Harusnya ini sudah jelas bagi kita semua, di tengah massifnya kemajemukan umat manusia hari ini pun tidak ada yg tidak mengetahui bahwa setiap dari kita juga keturunan Nabi Adam. Tidak ada logikanya, sejak dalam sejarah, sebuah bangsa hilang keturunannya karena kaum perempuannya menikah dengan orang bangsa lain.
Justru sebuah bangsa itu terus berkembang besar karena berkawin-mawin dengan orang dari ragam bangsa lain di penjuru dunia. Apalagi soal garis keturunan Nabi, ini bukan tentang kebangsaan atau kesukuan, tapi hubungan antar-individu yang berasal dari negeri manapun hari ini yang punya garis leluhur dari Bani Hasyim alias spesifiknya Nabi Muhammad. Di Nusantara banyak keturunan Nabi yang penampilan dan karakternya sudah seperti orang pribumi, atau yang di Eropa misalnya, yang penampilannya sudah seperti orang bule. Terus munculnya keturunan Rasulullah jg karena berkawin campur dg org di berbagai belahan bumi ini jg.
Tidak ada ceritanya nasab “terputus” bagi syarifah yg nikahi non-habib. Hanya karena anak-anaknya jd gak bernasabkan dari Nabi? Terus masalahnya dimana? Anak-anaknya tetap hidup secara sah dalam ikatan keluarga dan rumah tangga sesuai agama Islam. Dan ibunya yang syarifah tetaplah syarifah, gak kemana-mana nasabnya yg bersambung ke Nabi.
Alhamdulillah pandangan pernikahan yg sempit dan feodalistik ini tidak diangkat sebagai pandangan umum dalam dunia Muslim untungnya. Terutama di kalangan Muslim Syiah. Tidak perlu mempermasalahkan tentang Sunni-Syiah, seperti dalam video berikut ini, cukup Anda simak dalil-dalil shahih yang tak berbeda dirujuk oleh Muslim golongan manapun bahwa pernikahan antara non-habib dg syarifah sah hukumnya: Coba tonton https://youtu.be/k_zVd-XIvgg