Di forum diskusi Ba Alwi, tema pernikahan syarifah dengan non-sayid masih dan akan tetap selalu hangat. Terutama pihak yang menentang, akan mati-matian membela keyakinannya itu. Di sini, saya bukan ingin memanaskan tema yang sudah hangat, tapi ada peristiwa yang membuat saya ingin mengangkat tema kafaah tersebut.

Dulu teman saya, seorang akhwal (sebutan bagi orang Indonesia di kalangan jammaah; jamaknya khâl yang berarti “paman dari ibu”) tanpa basa-basi bilang ke saya kalau dia ingin (nantinya) menikah dengan syarifah. Saya tidak bisa komentar apa-apa selain dengan jujur menjawab tidak punya banyak kenalan syarifah apalagi saya sendiri tidak bisa (atau tidak biasa?) jadi makcomblang.

Lalu teman saya (seorang sayid) yang juga teman si akhwal yang tahu keinginan temannya tersebut langsung menghubungi saya. Seperti orang yang tersambar petir, dia meminta saran dan bantuan saya agar menasihati si akhwal untuk mengurungkan niatnya tersebut. Saya meresponnya melalui surel (yang cukup panjang) dan mungkin jawaban saya tidak sesuai dengan harapannya. Karena saya heran, bagaimana seandainya ada syarifah dan keluarganya yang mau dengan seorang non-sayid? Apa mungkin kita menghalang-halangi sesuatu yang halal? Apakah akhwal berdosa menikahi syarifah?

Kafaah dalam Sejarah

Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan tertindas. Di zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi wanita ‘ajam (non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah), wanita kalangan kekaisaran dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih memilih menikah sedarah demi menjaga kemuliaan tersebut.

Ketika Islam datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun mengenai pernikahan tidak menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi terkait agama sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada seorang lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran kawinnya…”

Sejarah mencatat beberapa pernikahan berikut: Zaid bin Haritsah (bekas budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan Quraisy); Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah binti Qais (bangsawan Quraisy); Bilal (sahabat berkebangsaan Ethiopia) menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy).

Kafaah dalam Fikih

Nah, dibagian fikih inilah yang menurut saya menjadi menarik: mazhab ahlusunah (selain Maliki) menganggap pernikahan syarifah dengan non-sayid adalah tidak sekufu (tidak setara meskipun sah), sedangkan Syiah yang notabene mengikuti mazhab ahlulbait menyatakan pernikahan seperti itu adalah kufu.

M. Hasyim Assagaf dalam bukunya yang kontroversial memberikan uraian mengenai kafaah dalam fikih ahlusunah sebagai berikut:

  • Mazhab Hanafi: Kafaah adalah kesepadanan si lelaki bagi wanita dalam hal nasab, Islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan, dan harta. Kafaah berlaku bagi lelaki, tidak pada pihak perempuan. Lelaki boleh menikah dengan siapa saja.
  • Mazhab Maliki: Kafaah dibagi menjadi dua; pertama, keagamaan dan kedua, bebas dari aib yang ditentukan perempuan. Kafaah dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah mu’tabar (diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan perempuan mulia (syarifah) maka sah.
  • Mazhab Syafii: Kafaah adalah nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya kufu’ antara sesama mereka sendiri. Kafaah merupakan syarat bagi sahnya nikah bila tiada kerelaan, dan hal itu adalah hak perempuan dan walinya bersama-sama.
  • Mazhab Hambali: Kafaah adalah kesamaan dalam lima hal; keagamaan, pekerjaan, kelapangan dalam harta, kemerdekaan, nasab.

Serupa dengan mazhab Maliki, mazhab Syiah Ja’fari pun tidak mengenal kafaah dalam hal nasab. Disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Manusia itu kufu antara sesama manusia, Arab dan ‘ajam, Quraisy dan Bani Hasyim, bila mereka telah Islam dan beriman.” Itu semua merupakan bahasan fikih.

Kafaah dalam Amanah

Tanpa perlu panjang lebar membahas ahlulbait dan zuriah Rasul, tanpa bermaksud membangkitkan sikap fanatik, dan tanpa niat meminta dihormati; sebagai zuriah, seseorang harus menjaga amanah yang dimilikinya, salah satunya adalah menjaga keberlangsungan keturunan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlih.

Meskipun dalam hukum fikih adalah sah, tapi tentu akan lebih afdal jika memilih yang lebih utama selain dari pada ukuran agama. Karena terkadang pernikahan beda nasab bisa menimbulkan masalah. Misalnya pertentangan kebudayaan di antara keluarga yang mungkin sulit untuk dipersatukan, atau masih adanya pandangan negatif atau “celaan” dari salah satu keluarga yang dianggap sebagai aib, dan seterusnya.

Untuk itu ada baiknya kita menengok pendapat Imam Syafii, dari sisi mencegah hal negatif; meskipun secara fikih saya tetap meyakini mazhab ahlulbait yang menyatakan bahwa pernikahan syarifah dengan non-sayid adalah sekufu. Ketika dulu ada yang mengatakan kepada saya bahwa asal-usul pernikahan satu nasab (syarifah harus dengan sayid) adalah Syiah Persia, tentu ini tuduhan belaka.

Tidak perlu terlalu fanatik terhadap nasab, tapi sama-sama saling melihat diri sendiri. Jika ada seorang syarifah menikah dengan akhwal, jangan cegah si akhwal atau mencela keluarga syarifah. Tapi pertanyakan; ke mana sayid atau di mana keutamaanya? Begitu juga dengan sayid yang menikah dengan non-syarifah, jangan dulu cela si sayid. Ke mana syarifah yang masih menyadari “kesyarifahannya”? Wallahualam.

Tambahan: 30 Januari 2010

Hari ini, masuklah dua komentar panjang lebar tentang tulisan ini. Niatnya mungkin ingin mengkritik tulisan, tapi justru menyerang pribadi saya. Mungkin karena ia belum membaca dan memahami tulisan beserta maksudnya.

Pertama, ia mengkritik turunnya kualitas anak-cucu Nabi dalam agama. Padahal ketika membicarakan agama, kesampingkan sejenak masalah keturunan. Agama ini (Islam) untuk seluruh umat manusia. Memang benar bahwa keturunan Nabi memiliki tanggung jawab yang lebih besar, tapi kewajiban amar makruf dan saling mengingatkan ada di pundak setiap  muslim.

Kedua, ia berbicara masalah syarat nikah dan menyebutkan bahwa di kalangan Alawiyyin syarat nikah di tambah satu, yaitu kafaah, yang tanpanya maka pernikahan batal. Kalau ia membaca tulisan di awal, yang menetapkan kafaah dalam nasab adalah ulama Ahlussunah, sedangkan ulama mazhab Ahlulbait tidak menetapkan kafaah nasab sebagai syarat nikah.

Ketiga, bukti yang disampaikan seperti biasa kisah tentang peminangan Sayidah Fatimah, putri Nabi saw. Bagi yang membela kafaah nasab (dari kalangan manapun), pemilihan Nabi terhadap Sayidina Ali dianggap karena masalah kafaah nasab. Tapi bagi saya, pemilihan Nabi tidak mungkin “hanya karena masalah kecil”, tapi Nabi memilih karena kualitas iman, takwa, akhlak dan kedekatan Imam Ali kepada Allah, dibandingkan sahabat lain yang meminang. Inilah yang disebutkan pernikahan langit (yang “dirancang” oleh Allah Swt.)

Keempat, pembicaraannya semakin melebar dengan mengutip ayat dan hadis untuk mengajari saya tentang keutamaan Ahlulbait, yang saya tidak ada keraguan sedikitpun tentangnya. Tapi ia mengatakan bahwa “Sayid hanya akan akan menikah dengan Syarifah”, padahal semua sudah tahu bahwa Imam Ali tidak hanya menikahi wanita Bani Hasyim, Imam Husain pun menikahi putri Persia, Imam Ali Zainal Abidin yang menikahi seorang budak, dan seterusnya. Hal ini menegaskan bahwa kafaah adalah agama.

Kelima, pembicaraan mengenai “nikmat dan rasa syukur” menjadi zuriah. Seseorang yang hanya memikirkan satu sisi hanya akan terlena, karena tanggung jawab sebagai zuriah harus lebih diutamakan dan saya sepakat  dalam hal ini. (Silakan baca: Ke-sayyid-an: Berkah atau Beban?)

Terakhir pembicaraan kembali tentang keutamaan Ahlulbait, mulai dari nasab yang berlanjut dari Bunda Fatimah as. dan seterusnya hingga mengutip riwayat keutamaan Ahlulbait yang sangat diamini oleh para Syiah Ahlulbait as. Padahal kalau ia membaca seluruh tulisan dan komentar saya, niscaya hal itu sejalan.

Komentar selanjutnya, barulah dia menyerang pribadi saya dengan meragukan keturunan seseorang. Sebutan “tuan”, “sayid”, atau “habib” memang tidak pernah diharapkan oleh orang seperti saya dan sudah ditegaskan dari awal. Meragukan darah/keturunan seseorang pun tidak akan mengubah hakikat aslinya, karena kaum Alawiyyin memiliki nasab jelas hingga puluhan tingkat ke atas, ketika sebagian yang lainnya mungkin tidak memiliki kejelasan bahkan lima tingkat ke atas. Wallahualam.

Baca Juga:

Last updated: May 4, 2010

151 respons untuk ‘Kafaah Nasab: Antara Ahlulbait dan Ahlusunah

  1. Mari kita raih ketenangan Jiwa dalam laa hwalla walla quwata.. hanya jiwa jiwa yang tenang yang dapat merasakan keindahan hidup dan kedamaian..
    Salam Sayang

  2. Sayyid atau Syarifah, sebuah perjalanan panjang yang mengiringi kebudayaan salah satu suku (bani) Arab. Saya bukan orang yang menyatakan setuju atau tidak setuju dengan perkawinan Sayyid dengan kaum di luarnya atau Syarifah dengan laki2 non-Sayyid.

    Pandangan saya adalah kita hargai saja tradisi yang ada dalam kebudayaan mereka, karena mungkin saja mereka memiliki pemahaman tersendiri tentang hal tersebut. Dan bagi kita tetap berkeyakinan bahwa Allah hanya membedakan manusia dari ketakwaannya, bukan yang lain-lainnya :).

    1. Berarti itu hanya adat dari keturunannya ya.. dn Kemudian dibawah keindonesia?..
      Jadi seperti itu ya?

  3. plg seneng kata-kata yg ada di paragraf terakhir:

    Tidak perlu terlalu fanatik terhadap nasab, tapi sama-sama saling melihat diri sendiri. Jika ada seorang syarifah menikah dengan akhwal, jangan cegah si akhwal atau mencela keluarga syarifah. Tapi pertanyakan ke mana sayyid atau di mana keutamaanya? Begitu juga dengan sayyid yang menikah dengan non-syarifah, jangan dulu cela si sayyid. Ke mana syarifah yang masih menyadari “kesyarifahannya”?

    stuju bgt tuh sm prgrf di atas…harus sadar diri aja gak usah saling mencela..zuad sm siapa itukan pilihan masing2 yg pastinya lewat pemikira panjang..
    yg jelas klw ane sih pgn dpt sayyed aja deh..msh banyak sayyed yg lucu2 heheheh

    1. hehe lucu tp yg plg pntng sayyed yg berakhlak bagus n ilmunya luas…amiiin.. doanya kudu kenceng klw mau dpt…

  4. setuju . masih banyak hal penting lainnya yang perlu diurusi ketimbang saling menghujat masalah mazhab, tarekat, dan sbagainya . . . entahkarena umatIslam kini kurang kerjaan atau apa, lihat saja syekh Puji ramai-ramai diadili karena menikahi gadis di bawah umur, tapi masalah yang lebih urgen seperti pelacuran, homoseksual, tidak ditangani dengan serius, yang terdengar hanya suara2 dari para Ulama, Ustad, dan sedikit masyarakat . . .

    inilah yang membuat umat Islam yang banyaknya bagaikan buih di lautan tapi tak ada persatuan. . .

    untuk masalah kafa’ah, silahkan baca juga http://veilshareeva.blogspot.com/2009/04/tentang-kafaah.html

    syukran Bib. . . ^_^

  5. Alhamdulillah… emang bener tuh… ane merasa terkungkung sama doktrin harus sekufu’ sama yang Sayyid, emang dari fam lain nggak lebih baek apa dari seorang sayyid? Terkadang ane sebel kalo ada sayyid yang bangga-banggain keutamaan nashabnya di depan yang Atsigah atau Balweel, emangnya keutamaannya punyanya dia apa? itu khan punyanya datuk kita, Imam Ja’far Shodiq atau Imam Husein, mereka mah cuman kecipratan jabatan sebg turunannya doang, emang sih cinta sama Alawiyyin wajib dalam agama, tapi kalo Alawiyyinnya bejat n nggak mau sholat… sory… Syarifah-pun mesti banyak2 inget, yang paling syarifah sendiri seperti Sayyidah Zainab atau Sayyidah Zahra Alahaihima salam nggak pernah khususin anak-anaknya yang harim tuk zuad sama sayyid, ane juga miris, banyak temen2 syarifah yang ngakunya suci-lah, thahirah-lah, malah kesana kemari buka jilbab atau keluyuran, aduh… abahnya mana tuh..?!! jangan sampe pas mau zuad trus “nggembok” putrinya yang nggak beres tadi harus kawin sama yang sayyid atau akhwal yang soleh, intinya… “Ketaqwaan” , mau zuad? pilih atas dasar agamanya.. gimana? setuju nggak? apalagi kalau udah sayyid… bertaqwa lagi… waaaah,,,, emang harus kudu kenceng nih doanya… ya nggak mbak Dijah??

  6. Kafa’ah ini persoalan yang sangat pelik dan harus hati-hati menjawabnya karena ini persoalan nasab (keturunan atau dara daging)jika kita belajar tentang siapa sebenarnya manusia atau tentang Asal kejadian baik tubuh (materi ) dan Inmateri (ruh) ternyata manusia ini terdiri dari Unsur Nyawa(ruh) & Unsur Tubuh didalamnyapun ada jiwa (nafs) dan Nafs inilah yang terdapat dalam diri manusia yang mempunyai macam-macam tingkatan..persoalan kafaah adalah persoalan perkawinan yang sepadan… (sederjat), sedangkan perkawinan adalah adalah kebutuhan yang diperintahkan oleh agama yang nota bene hampir mirip dengan ibadah haji, bagi yang mampu dan memenuhi kreteria yang telah ditentukan oleh Agama boleh melaksanakannya. salah satu persyaratan seorang syarifah adalah kafaah, seorang syarifah yang ingin melamar seorang pria yang bukan Sayyid, maka pria tersebut paling tidak memiliki kreteria yang dimilki oleh (pria) kaum Sayyid, dus itu baru bisa.tapi itupun rasanya tidak mungkin..perkawianan adalah karunia ILahi dimana tidak semuanya manusia itu bisa menikah baik itu laki-laki ataupun wanita baik itu sayyid atau syarifah ataupun diluar bangsa itu. hidup ini hanya permainan. saya yakin bahwa kemulian wanita pada umumnya baik syarifah maupun non syarifah terletak bagaimana wanita tersebut menjaga kesuciannya, kecuali hanya diberikan kepada orang yang berhak untuk dirinya, kisa Maryam binti Imran Ibunda Nabi Isa As adalah salahsatu wanita yang betul-betul menjaga kesuciannya. kisah Jidah kalian Fatimah Azzahra adalah kisah yang menarik buat ditelaa’ah begitu banyak bangsawan Qurays yang ingin meminang putri Rasullah SAW, tetapi Rasullah SAW menolaknya secara halus dan mensepadankan putrinya dengan Imam Ali RA, jadi jika manusia menikah karena hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, maka manusia (baik laki-laki mapun wanita) mengerti akan kelemahannya hanya Allah dan rasulnya yang sempurna dan tempat meminta ridhonya..

    1. Saya tidak tahu persis apakah memang Rasul “mesepadankan” dengan Imam Ali atau memilih Imam karena kufu. Tapi yang saya tahu Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Sayyidah Fatimah dengan Imam Ali as. Bisa dibilang ini ketetapan Allah, “pernikahan langit”.

      Rasul saw juga berkata kepada Fatimah, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya.” Bisa juga dilihat bahwa pertimbangannya adalah iman, takwa dan kecintaan kepada Allah.

      Wallahua’lam.

    2. Assalamualaikum.

      Bismillahirrahmanirrahim…

      Di sini saya melihat kualitas para anak cucu Nabi saw yang semakin hari semakin menunjukkan kemerosotan kualitas. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terpaksa mengatakan bahwa memang benar jika di kemudian hari para pelanggar syariat dan bahkan penentangan terhadap syariat justru dilakukan oleh garis lingkar Ahlul Bait sendiri. Jadi di zaman ini mohon dimaafkan jika banyak pula sebuah bangsa dan umat yang mulai tidak mempercayai “anak cucu Nabi” ketika mereka membahas dan berbicara mengenai agama.

      Sedikit mengenai kafa’ah yang harus dipahami dengan seksama.

      pernikahan itu punya ada ketentuan hukumnya yang diatur dalam syariat. adapun syarat nikah untuk kalangan biasa adalah :
      1- Wali
      2- Saksi
      3- Mahar
      4- Ijab
      5- Qabul
      6- Akil Baligh

      Jika tidak ada salah satu di antara 6 dari syarat nikah tersebut maka nikahnya terhukum FASKH (gugur) atau batal.

      Adapun untuk kalangan Alawiyyin hukum syarat nikahnya sebagai berikut :
      1- Wali
      2- Saksi
      3- Mahar
      4- Ijab
      5- Qabul
      6- Kafa’ah
      7- Akil Baligh

      Jika kurang salah satu saja di antara 7 syarat maka nikahnya terhukum FASKH (gugur sah nikahnya).

      KAFA’AH adalah kewajiban syariat yang diberlakukan untuk seluruh Syarifah di muka bumi tanpa terkecuali. KAFA’AH yang berarti kesetaraan, kesepadanan, sekufu’, atau kesamaan. Sebagaimana Sayyidah Fathimah Az Zahra yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
      Sebelum menikah dengan Ali bin Abi Thalib sejumlah sahabat besar mendatangi Rasulullah saw untuk melamar Fathimah Az Zahra seperti sahabat Abubakar As Shiddiq, Umar Khattab, dan bahkan Utsman bin Affan namun dengan tegas Rasulullah menolaknya dengan mengatakan, “Allah belum menurunkan perintahnya”. Lalu datanglah Ali bin Abi Thalib ke kediaman Rasulullah untuk tujuan yang sama. Setelah menyampaikan maksud tujuannya kepada rasulullah maka Rasulullah spontan menerimanya. Jelas disana Allah telah menurunkan perintahnya dan menyetujui pernikahan Ali dan Fathimah.
      Dari kisah di atas dapat diambil sebuah kesimpulan berikut beberapa pertanyaan. Mengapa Rasulullah menolak menerima pinangan sahabat2 terbaiknya yang begitu banyak jasanya terhadap islam? Mengapa Rasulullah menunggu perintah langit hanya untuk sebuah pernikahan putrinya? Mengapa Nabi hanya memilih kerabat terdekatnya untuk menikahi putrinya?
      dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa “Fathimah tidak akan menikah seandainya tidak ada Ali dan Ali tidak akan menikah seandainya tidak ada Fathimah, Subhanallah.

      Dalam riwayat lain dikatakan bahwa sebelum Rasul saw melakukan kewajibannya sebagai suami dengan Khadijah beliau pergi ke Sidratul Muntaha untuk memakan buah surga sebagai bibit terbaik untuk melahirkan generasi. Setelah melakukan kewajiban tersebut maka lahirlah Fathimah. Dan Fathimah adalah satu2nya makhluk di dunia yang bahan penciptaannya bercampur antara sperma Nabi yang suci, sari buah surga, dan indung telur Khadijah yang mulia. Hingga setelah itu Fathimah ditakdirkan Allah menjadi manusia suci sesuci2nya (Al-Ahzab : 33) tidak heran jika Fathimah tidak pernah haidh dan tidak pernah mengalami nifas sepanjang hayatnya.

      Sementara Ali bin Abi Thalib dikenal dengan julukan KARRAMALLAHU WAJHAH (Allah memuliakan wajahnya). Apa sebab, karena Ali tidak pernah :
      1- Menghadap (menyembah) kan wajahnya pada berhala.
      2- Tidak pernah melihat kemaluan orang lain (termasuk istrinya sendiri) maupun kemaluannya sendiri.

      telah diketahui bahwa bagi setiap orang yang dalam keadaan berjunub (hadats besar) tidak diperbolehkan masuk ke dalam masjid, tapi berbeda untuk Ali. Rasul saw bersabda : “Tidak dihalalkan bagi org yg berjunub berada di dalam masjid kecuali saya (Rasul) dan Ali”. Karena Ali memang termasuk di dalam Ahlul Bait yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya (Al -Ahzab : 33)

      Untuk menyinambungkan kesucian tersebut agar jangan ternodai atau menghindari nilai kesucian tersebut dari terkontaminasinya dengan hal lain maka Rasulullah saw mengharamkan keluarga dan anak cucunya mengkonsumsi harta kotor seperti harta zakat dan shodaqoh. Hukum ini diterapkan agar jiwa anak cucu Nabi tetap steril jiwa dan raga. Maka para Sayyid dan Syarifah diwajibkan menikah di antara mereka agar jiwa yang bersih menikah dengan jiwa yang bersih demi terlahir regenerasi yg bersih pula. Sayyid hanya akan akan menikah dengan Syarifah karena hanya Syarifah lah satu2nya komunitas wanita di dunia yang memiliki hubungan kerabat dengan rasul sebagai manusia yang memiliki gen terbaik di muka bumi, begitu juga sebaliknya, Syarifah hanya akan menikah dengan Sayyid sebagai satu2nya pria di muka bumi yang memiliki hubungan kerabat dengan Nabi dan steril jiwa raga.

      Sebagai Rasul beliau mewarisi beberapa hal pada anak cucunya :
      – Kejeniusan
      – Kebagusan Fisik
      – Ilmu Pengetahuan
      – Amanah
      – Kesabaran
      – Ketakwaan
      – Pemaaf
      – Kebersahajaan
      – Keberanian
      – Kharisma
      – Budi Pekerti Luhur
      – Kelembutan
      – Tanggung Jawab
      – Jiwa Kepemimpinan
      – dll.

      Maka jika ada seorang Sayyid yang mewarisi sebagian karakter Nabi itu melakukan pernikahan silang seperti menikahi wanita akhwal maka ada ada beberapa resiko yang harus ditanggung oleh Sayyid tersebut maupun anak2 mereka. Contohnya seorang Sayyid bernama Ali menikah dengan Dewi. Dari hasil pernikahan silang ini profesor biologi mana yang bisa menjamin bahwa karakter si Sayyid tadi menurun 100% pada anak2nya? Lalu bagaimana jika justru yang menurun adalah karakter Dewi yang lebih dominan? Maka kelak dikemudian hari akan lahir regenerasi yang memiliki gelar Sayyid dan Syarifah tapi tidak mewakili karakter Nabi yang Masya Allah melainkan mewarisi genetik selain Nabi.

      Ketika seorang manusia dilahirkan sebagai Anak cucu Nabi maka inilah takdir dan nikmat yang patut disyukuri karena tidak semua orang bisa memperoleh predikat atau gelar demikian meskipun ia adalah seorang konglomerat yg memiliki segalanya, sebab walaupun dengan seluruh harta yang ia miliki ia tidak akan pernah bisa menjadi seorang Sayyid atau Syarifah. Maka bagi setiap manusia yang telah ditakdirkan Allah menjadi anak cucu Nabi-Nya bukanlah hanya diam berduduk diri atau main arisan, melainkan ada beban yang harus ditanggung atau dipikul sebagai kompensasi dari gelar “anak cucu Nabi” tadi. Mereka dilahirkan bukan tanpa fungsi, mereka ada untuk menjadi security ummat. Mereka adalah satpam dan polisi ummat. Jelas yang diharapkan dari mereka adalah figur seorang security yang steril jiwa dan raga. Terjaga makanan, prilaku, maupun pernikahannya. Jika para Sayyid menikah sembarangan bagaimana akan terlahir generasi terbaik di antara yang terbaik. Bagaimanapun juga para Sayyid dan Syarifah bukanlah terlahir dari tanah seperti yang lainnya. Mereka terlahir dari cahaya, karena Rasulullah diciptakan dari Nur (cahaya) Allah yang spesial sementara Nabi Adam dari tanah liat. Bagaimana mungkin pernikahan silang antara keturunan cahaya dan keturunan tanah bisa menghasilkan regenerasi terbaik??

      Adapun syariat menentukan tentang hukum pernikahan yg FASKH sebagai berikut :

      Jika sebuah pernikahan seorang Syarifah tanpa dilandasi kafa’ah maka pernikahannya terhukum FASKH (gugur sah nikahnya) jika tetap dilanjutkan walaupun Wali wanita tersebut merestui maka tetap saja tidak berpengaruh dan terhukum FASKH. Selanjutnya jika tetap dilaksanakan pernikahan FASKH tersebut maka itu tidak bisa disebut dengan pernikahan melainkan perzinahan….

      Syariat menentukan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perzinahan, bahwa perzinahan adalah salah satu dosa besar. Jika terlahir anak dari hasil perzinahan maka syariat kembali menentukan hukumnya bahwa :
      1- Anak zina tidak memperoleh waris
      2- Anak zina tidak bisa diwalikan saat menikah oleh ayah biologisnya.
      3- Anak zina tidak diperbolehkan menjadi imam sholat.
      4- Anak zina tidak diperbolehkan menjadi pemimpin negeri.
      5- Anak zina kalau lelaki diperbolehkan menikah dengan ibu kandungnya.
      6- Anak zina jika wanita boleh menikah dengan ayah kandungnya.
      7- Anak zina tidak diakui sebagai anak sebagaimana anak halal.

      Demikian info ini saya sampaikan. Mohon maaf jika telah lancang menggurui komunitas yang seharusnya lebih pantas menggurui saya dalam berbagai bidang.

    3. Waalaikumsalam. Terima kasih, dengan pembicaraan (komentar) panjang lebar tapi tidak mengenai tulisan saya di atas. Cobalah di baca lagi, penentuan kafaah bukan dari Ahlulbait tapi dari ulama Suni.

    4. hhmmm maksudnya ‘bukan dari ahlulbait tapi dari ulama suni apa yah’?

      setahu saya banyak sekali ulama ulama dari keturunan ahlulbait yang bermazhab suni.

      www

    5. Bani Israel diberikan superioritas di atas bangsa-bangsa lainnya, namun lihat lah akibat penyimpangan yang mereka lakukan dari jalan yang telah dilalui oleh para leluhur mereka, membuat mereka dimurkai bukan?.

      Dan Ingat kah antum akan anak Nabi Nuh (as) yang durhaka?, bahkan anak Nabi pun, Bani Ibrahim, tidak menjamin keislamannya. Lalu saudara-saudara Nabi Yusuf (as) sendiri yang berkhianat bagaimana?

      Lalu tahu kah antum putra dari Imam Ali Naqi (as) dan saudara kandung dari Imam Hasan Askari (as) yaitu Ja’far at-Tawwab yang digelari al-Kazzab akibat mengingkari keimamahan al-Mahdi?. Ia dikenal kedurhakaannya sehingga bahkan disamakan dg “Seperti saudara-saudara Nabi Yusuf (as)”.

      antum perlu tahu bagaimana para raja Abbasiyah berkuasa, mereka mengatakan bahwa mereka adalah kalangan ahlulbayt juga, keturunan sosok yg mulia dari Abbas ibn abdul muttalib. Namun kita bisa lihat pd akhirnya bagaimana zalimnya dinasti Abbasiyah terhadap kaum Syiah, kedzuriyyatan mereka selalu dijadikan tameng tatkala itu. apakah itu menjustifikasi perbuatannya?.

      Jadi, lihatlah nasab atau hubungan darah itu sebagai tanggung jawab dalam mewujudkan kehormatan diri, bukan superioritas, JASMERAH bung!.

      Respect is something you must earn, not something you can inherit.

  7. kalo batak cari batak orang gak protes, cina cari cina orang gak protes, sarjana cari sarjana orang bilang wajar, dokter cari menantu dokter orang bilang masuk akal, kenapa sayyid cari syarifah (dan sebaliknya) banyak yg jealous ? Urusan beginian gak perlu dalil-dalil dulu, cukup pakai hukum akal

    1. Menurut ana bukan hukum akal, tapi naluri manusiawi. Meski kita tahu, Allah menciptakan kita sama, berbangsa kemudian bersuku untuk saling mengenal.

    2. yang memaksa memangnya siapa? gak ada kan itu hak2 masing, sebagaimana hak seorang syarifah yang berjodoh dg non-sayyid, gak perlu anda repot juga berarti, bukan urusan kehidupan anda

  8. iya nihhh. manusia itu semua sama, yang bedain cuma ketakwaannya. ada ustad yang bukan ahlul bait dicuekin aja di masyarakat tapi ada ustad yang punya “warisan” di belakang namanya langsung direbutin utk diciumin tangannya. sangat miriiss. yang paling penting adalah pernikahan itu didasari rasa cinta kepada Allah SWT. bukan karena harta, gengsi atau kedudukan semata. salaam

  9. alhamdulillah mengenai pembahasan yang antum kirim…
    jika hal tersebut diperlonggar maka akan banyak syarifah2 maupun sayid yang akan menikah tidak dengan sesama mereka…padahal ancamannya jelas… barang siapa yang memutuskan hubungan ku dengan mereka.. maka neraka waillah balasannya..
    disini ane bukan mempermasalahkan nasab kita siapa dan kita harus bagaimana… tapi ini adalah aturan yang dibuat oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah, coba baca mengenai Hadist2 mengenai perkawinan antara Fatimah Azzahra dengan Ali bin Abi Thalib…jika Allah tidak mengatur masalah kaffaah nasab maka gak mungkin memerintahkan untuk menikahkan Fathimah dengan Ali dan memerintahkan Dzin Nurrain kepada Ustman bin Affan…bukankah masih banyak sahabat2 yang lain yang juga pantas untuk putri2 Rasulullah? dan Allah tidak memerintahkan Zaid bin Haritsah untuk menceraikan Zainab kemudian Rasulullah diperintahkan juga untuk menikahi Zainab? apakah hal tersebut karena Zaid bukan laki2 yang beriman atau karena dia adalah seorang budak? kalo hanya itu masalahnya maka Allah pasti juga akan memerintahkan Bilal untuk menceraikan istrinya.. tapi tidak. karena istri Bilal tidak mengalir darah bani Hasyim dalam dirinya sedangkan Zainab masih mengalir darah bani Hasyim dalam tubuhnya melalui fihak ibunya Safiyyah binti Abdul Muthalib… wallahu a’lam bissawab
    cuma itu koment ane… afwan kalo ada salah kata2…sebab masalah perkawinan adalah masalah yang berat dimata Allah s.w.t

    1. Jadi Anda yakin pemilihan Imam Ali kepada Fatimah hanya karena nasab? Kemudian apa dalam darah Utsman mengalir darah Bani Hasyim? 😯

    2. masalah pernikahan ini masalah yg rumit.
      pernikahan dengan berbeda budaya lebih rawan konflik.

    3. Entah apa sekarang penghormatan terhadap keturunan nabi pun akan dihilangkan (semula saya ingin memanggil anda tuan atau sayyid atau habib) namun saya beranikan diri saya untuk menggil anda dengan sebutan Bapak karena saya sendiri belum tahu persis apakah anda benar-benar di diri anda mengalir darah beliau nan suci.
      Ok. Bapak Reza. Jika anda mengatakan apakah dari Utsman mengalir darah bani Hasyim? Meskipun bukan bani Hasyim namun Utsman adalah seorang Quraisy. Bacalah keutamaan Bani Quraisy di literatur2 hadits Nabi yang mutawattir.
      Apakah dari Utsman mengalir genetik nabi ? Tidak. pernikahan Utsman tidak melahirkan regenerasi Nabi saw. Hanya pada Fathimah lah generasi itu berlanjut.

      Bahwa untuk menemukan arti hakikat kebenaran segala hal maka Al-Qur’an lah sumber rujukan paling utama. Kitab otentik milik umat Islam yang terjamin kesuciannya dari segala bentuk perubahan, pengurangan, serta penambahan (tahrif).
      Namun memang tidak semua hal tercantum dalam Al-Quran, maka hadits lah yang melanjutkan keterangan-keterangan yang memang tidak tercantum dalam Al-Qur’an. Seperti contoh masalah shalat, Al-Qur’an tidak menyebutkan shalat sebanyak 5 waktu :

      Allah swt berfirman :
      “Dirikanlah salat dari SESUDAH MATAHARI TERGELINCIR sampai GELAP MALAM dan dirikanlah pula SHALAT FAJR (SHALAT SHUBUH). Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” Al -Isra : 78

      Al-Qur’an hanya menyebutkan 3 waktu, lalu hadits yang menyempurnakan ayat Allah dan menjabarkan bahwa kewajiban shalat dalam sehari adalah 5 waktu.

      Lalu apakah hadits itu? Hadits adalah perkataan, prilaku, gerak, dan diamnya Nabi saw.

      Kembali pada point pertanyaan, mengenai kepada siapa nasab (silsilah keturunan) bersandar….??

      Bahwa sesungguhnya Allah penentu kepada siapa nasab bersandar. Dalam sejarah kehidupan makhluk Allah menciptakan 2 tipe manusia dari jenis bahan pembuatan yang berbeda. Nur (cahaya) Rasulullah sebagai jenis makhluk yang paling pertama kali diciptakan dan ratusan juta tahun sebelum Allah menciptakan alam jagat raya. Selanjutnya Allah menciptakan jagat raya, disusul penciptaan malaikat, iblis, bumi, gunung2, laut, pepohonan, tumbuhan, binatang, dll. Lalu Allah menjadikan Adam as dan Hawa as sebagai ciptaan-Nya yang paling terakhir. Saat itu baik Nur Rasulullah dan Adam as tidak menyandar pada nasab siapapun karena memang mereka adalah cikal bakal ayah manusia yang tidak memiliki ayah dan ibu….
      Setelah era penciptaan itu maka dimulailah drama nasab manusia. Habil dan Qabil adalah manusia pertama kali di muka bumi yang menggunakan nasab. Habil bin Adam dan Qabil bin Adam hingga seterusnya melalui jalur ayah sampai ratusan generasi ke bawah. Adapun Nur Rasulullah belum diperkenankan untuk berkembang biak populasinya oleh Allah, karena Allah lebih mengetahui kapan Nur itu pantas di “lounching”. Namun di atas kertas usia Nur Rasulullah jauh lebih tua dibanding Adam as.
      Hingga beberapa ribu tahun lamanya keadaan nasab turun temurun melalui jalur ayah terus berlangsung dan merupakan ketetapan Allah swt tanpa bisa diganggu gugat.
      Namun segala ketentuan yg telah ditetapkan itu bisa berubah ketika berbicara “fadhilah” (keutamaan) yang dikhususkan. Atas kuasa Allah ketentuan itu tidak berlaku untuk Isa as.
      Allah swt berfirman :
      “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya ALMASIH ISA PUTRA MARYAM, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Al-Imran:45)

      Kalimat teks “Isa ibn Maryam” dalam Al-Qur’an menggugurkan ketentuan Allah demi mengangkat sebuah keagungan dan kemuliaan makhluk yang diinginkan-Nya. Isa tidak bernasab pada pria seperti kebanyakan manusia lain bahkan para Nabi dan Rasul (kecuali Adam as) Isa as ditakdirkan bernasab pada wanita (Maryam). Dan ketika Allah berkehendak atas segala sesuatu menurut Allah itu sah-sah saja dan manusia tidak bisa apa-apa.

      Selanjutnya pada masa pernikahan Rasulullah saw dengan Khadijah ra, duka seringkali menghampiri Rasulullah saw, pasalnya Abdullah dan Qasim kedua putra hasil pernikahan beliau dengan Khadijah wafat sebelum dewasa, lalu disusul oleh Ibrahim putra lelakinya yang lain dari hasil pernikahannya dengan Mariah Al-Qibtiyah. Sisi kemanusiaan Nabi saw menginginkan keturunan anak lelaki. Kedukaan Rasulullah bertambah lengkap saat kafir-kafir Quraisy seperti Al-Ashi bin Wail atau Uqbah bin Abi Mu’aith menjuluki Nabi pria mandul. Rasul sedih teramat mendalam saat itu. Namun apa yg Allah tentukan itu sesungguhnya adalah hikmah di balik semua peristiwa meski terkadang manusia seringkali melihat dari kacamata ego nya bahwa Allah tidak adil karena telah begini dan begitu. Allah swt hadiahkan untuk Rasul kesayangan-Nya seorang anak cikal bakal penerus keturunannya. Maka Fathimah Az Zahra lah cikal bakal penerus keturunan Nabi saw. Fathimah adalah sesuatu yang terbesar (NIKMAT) untuk Nabi, tidak bisa ditandingkan dengan apapun kecuali ke-risalah-an (kenabian) Rasulullah saw.
      Allah swt berfirman :

      “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu NIKMAT TERAMAT BESAR” (Al-Kautsar : 1).

      “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”.(Al-Kautsar : 2)

      “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu justru dialah yang terputus (mandul).” (Al-Kautsar : 3)

      Bagaimana mungkin seorang wanita dapat melanjutkan nasab Nabi? Seperti halnya “Isa ibn Maryam”. Maka ketentuan dan keputusan Allah untuk Fathimah adalah harga mati.
      Sebelum melanjutkan tentang hal ini maupun pembuktiannya ada baiknya untuk mencermati ayat di bawah ini :

      “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (An-Najm : 4)

      “Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan” (An-Najm : 10)

      Melalui lisan Rasulullah beliau menerangkan bahwa ternyata inilah maksud dari pada NIKMAT YANG BESAR :

      Rasulullah saw bersabda :
      “Semua anak Adam termasuk dalam satu USHBAH (bergaris keturunan dari jalur ayah) kecuali dua putera Fathimah (Hasan dan Husein). Akulah wali dan USHBAH mereka berdua. (Al-Mustadrak dan Musnad Abu Ya’la)

      Rasulullah saw bersabda :
      “Setiap SABAB dan NASAB akan terputus pada hari kiamat kecuali SABAB dan NASAB ku” (At-Thabrani)

      Maka inilah fakta keberadaan Fathimah ra yang telah ditakdirkan Allah swt sebagai penerus nasab Nabi saw lalu nasab nabi saw dilanjutkan melalui jalur Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein secara turun temurun ke bawah.

      Adapun untuk kewajiban KAFA’AH bagi para Syarifah secara tesis dan kajian ilmiah adalah ekosistem HASAB/SABAB (hubungan yang terjalin karena ikatan pernikahan).

      Allah swt berfirman :
      “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari JENIS KAMU SENDIRI dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl : 72)

      Meski penerus keturunan berada di pihak lelaki namun tanpa rahim yang steril dan bersih maka bagaimana para Sayyid akan menemukan rahim-rahim yang steril dan bersih untuk melahirkan regenerasi Rasulullah saw dimana para regenerasi Rasulullah saw merupakan amanat dari beliau yang harus dilestarikan??

      Rasulullah saw bersabda :
      “Pilihlah (tempat yang sesuai) untuk sperma kalian, sesungguhnya akar keturunan itu sangat berpengaruh.” (Ibnu Majah/Ad-Dailami/Ibnu Adiy)

      Rasulullah saw bersabda :
      “Pilihlah tempat untuk menyimpan sperma kalian, pilihlah orang-orang (lelaki) yang setaraf/sekufu’ serta nikahilah wanita-wanita itu dengan pria-pria sekufu’ tersebut” (Riwayat Aisyah ra).

      Ini adalah upaya mengangkat derajat kalangan Syarifah, dimana keberadaan mereka tidak hanya dijadikan sebagai motor kelahiran para bayi saja setelah itu keberadaannya tidak digubris seperti yang telah dilakukan bangsa-bangsa lain di dunia yang hanya membutuhkan wanita sebagai mesin-mesin kelahiran bayi-bayi penerus keturunan. Namun tidak demikian dengan islam yang telah mengangkat derajat Syarifah di tempat yang semestinya sebagai implikasi dari janji Allah di surat Al-Kautsar. Bukankah Fathimah adalah wanita NIKMAT TERBESAR yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw….???

      Sekali lagi saya meragukan darah di diri anda Bapak Eja.

    4. Saya kira Anda belum belum memahami alur pikir saya, sehingga komentar panjang lebar Anda tidak nyambung dengan maksud tulisan ini.

      Lagi pula, keraguan Anda tidak mengubah saya. “Pemilik rumah lebih memahami isi rumah.” Komentar Anda saya tanggapi ditambahan artikel di atas. Terima kasih

  10. Assalamu’alaykum,
    Sdr. Ejajufri, makasih banyak atas post artikel2nya. Boleh jd sy seorang Sunni tp trus terang capek banget ngeliat kaum Sunni-Syiah saling mnuduh dan mnghujat, pdhl bukankah kebenaran yg sesungguhnya itu hanya Allah Yang Maha Mengetahui?
    Satu yg ingin sy tanyakan, bgmn pndapat Anda mngenai pernikahan antara Sunni-Syiah? Misalnya laki2 Syiah dng perempuan Sunni, atau laki2 Sunni dng perempuan Syiah. Sahkah?
    Trimakasih.
    Wassalam.

    1. Waalaikumussalam Wr.

      Tidak cukupkah keimanan kepada Allah, Nabi Muhammad dan Hari Akhir? Sah…

      Afwan, wasalam.

  11. Big question: kenapa masalah kafa’ah sayyid-syarifah ini berlaku ketat (hanya) di Hadhramaut dan kemudian di Indonesia dan negara/wilayah sebaran perantauan ba’alawi hadhromi ???
    Dan kenapa hanya keturunan al-Muhajir ra. ?
    Bgmn dg al-Muhajir sendiri ? Ayahnya, kakeknya, pamannya, sepupunya, Sayyidina Ja’far, Sayyidina al-Bagir, Sayyidina Ali Zainal Abidin ? Apakah mereka ini semua kawin dengan sepupunya sendiri ?
    Lantas bgmn dg Sayyidina Husein yg menikah dg Syahrubanu yg bahkan bukan Arab (ajam) ???

    …. tanya kenapa ….

  12. nampaknya ikatan primordial genetiknya (arab)lebih kuat daro pada primordial ideologinya (syiah)

    berarti belum benar2 syi’i secara ideologis

    1. Kalau bicara genetik, berarti itu alami. Kita mencari yang sama. Chinese pengennya sama Chinese, Batak pengennya sama Batak, kadang Arab juga pengen sama Arab. Kalau Anda menjadi Chinese atau hidup dalam kultur Arab pasti merasakannya 😉 Jadi, tidak ada hubungannya dng “ideologi”

  13. Bangga dengan nasab adalah ciri pemikiran jahiliyah..dan kalau seseorang sayid atau ahwal atau apapun namanya itu mengaku bahwa mereka adalah “turunan” Nabi Muhammad SAW apa buktinya..??apakah Nabi SAW mempunyai turunan laki2 yang kemudian mempunyai turunan laki2..??Siapa laki2 di dunia ini yg terlahir dengan “bin” Muhammad SAW yang kemudian sempat mengecap usia dewasa dan menikah lalu punya keturunan…??? nonsen…

    Apakah kurang jelas apa yang tertulis dalam Al Qur’an…Silahkan Baca QS. Al Ahzab : 40…Dusta besar atas orang2 yang menyatakan dirinya adalah turunan Nabi SAW…Dan kebodohan terbesar atas orang2 yang meminta kemuliaan karna keturunan..Sesungguhnya Kan’an juga adalah putra dari seorang Nuh AS yang teramat sabar dan ikhlas..Apakah kemudian kita hrs memuliakan Kan’an dikarenakan dia menyandang nama “Nuh” dibelakang namanya..???? wallahua’alam…:):)

    1. Membanggakan diri karena keturunan jelas tidak boleh, karena hal itu seperti iblis yang membanggakan diri di hadapan Adam as.

      Tapi pembahasan masih adakah keturunan Nabi itu perkara lain, dan hadis yang menjelaskan hal itu ada. Seperti “kullu sabab wa nasab munqathi’… illa sababi wa nasabi”, atau “Semua anak bersambung kepada ayah kecuali anak-anak Fatimah, li anni anaa abuuhum wa ashabatuhum“, dan seterusnya…

      Al-Ahzab: 40 berkisah tentang Zaid yang disebut sebagai Zaid bin Muhammad, padahal Zaid bukan putra Nabi Muhammad. Bermakna bahwa anak angkat tidak bisa dianggap sebagai anak kandung biologis.

      Benar bahwa kita tidak boleh membanggakan diri karena nasab, meski keturunan Nabi saw. memiliki keutamaan, “ma laam yufaariquu minhajih dan tidak ternodai maksiat.” Wallahualam.

  14. Sekali lagi saya ingin tegaskan tidak ada keutamaan arab diatas ajam dan tidak ada keutamaan “turunan” Nabi SAW (padahal hanya dari Fathimah RA) dengan yang bukan turunan. Islam datang untuk membawa pembaharuan. Kalau masih ingin berpaku kepada pendapat jahiliyah maka silahkan tapi jangan bawa embel2 Islam.

    Rasulullah sendiri tidak pernah meminta keistimewaan dan penghargaan terhadap diri beliau dari ummatnya melainkan penghormatan itu sendiri yang datang kepada Beliau SAW. dikarenakan memang Beliau.SAW adalah pantas menerima semua itu. Dan satu hal mungkin yang seringkali luput dari perhatian kita semua bahwa jabatan dan kemuliaan itu adalah dibarengi oleh beban amanah yang harus dipikul..Amatlah picik jika seseorang meminta kemuliaan atas dirinya dikarenakan keturunan padahal tidak menanggung amanah apapun..Dan tidak pulalah amanah itu dipikulkan kepada seseorang hanya karena keturunan melainkan kemampuan dan kecakapan (sampai sejauh ini saya belum pernah menemukan satu ayat atau hadits pun yang menyatakan bahwa Allah atau Nabi SAW memerintahkan umat Islam untuk memuliakan dalam artian peng-agungan trah keturunan Beliau dan keharusan mengangkat mereka para “sayid” kelak menjadi pemimpin atas umat Islam tanpa ada kecakapan pada diri mereka)..Mari kita buka alam berfikir kita agar tdk berpatok kepada paradigma masa lalu dan mencoba menapaki langkah yang lebih baik menghadapi hari esok..Islam bukanlah kendaraan untuk mencapai derajat duniawi..:):)

    1. Dalam beberapa hal saya setuju, karena memang tulisan di atas (kalau dibaca dengan benar) bermakna seperti itu; tidak ada ukuran kafaah nasab (dalam pernikahan). Justru ulama Ahlussunah yang menyatakan perlunya kafaah nasab (silakan dibaca kembali).

      Soal keutamaan keturunan Nabi ada beberapa hadis dan ungkapan ulama, yang saya pikir bukan di komentar ini tempatnya menjawab.

      Ketidaksetujuan ada pada kalimat “padahal hanya dari Fathimah RA”. Apa maksudnya? Justru pemikiran jahiliah adalah yang merendahkan posisi wanita. Pun kita harus membaca kembali kedudukan tinggi putri Nabi, Fatimah ra., dalam pandangan agama.

  15. Sepertinya tidak ada gunanya perdebatan ini dilanjutkan karna yang terlihat bukanlah keinginan untuk saling mencari kebenaran melainkan hanya keinginan untuk mempertahankan pendapat masing2. Silahkan saja..

    Hanya saja mungkin point terakhir yang perlu diluruskan. Panasnya suasana hati telah membelokkan pikiran yang jernih dalam memahami kalimat sehingga tidak lagi mampu menangkap makna sebenarnya dari kalimat tsb. Adapun yang saya maksud dengan “hanya keturunan dari Siti Fathimah RA” adalah untuk menunjukkan bahwa nasab keturunan tersebut tidaklah merujuk kepada Nabi SAW melainkan kepada Sayyidina Ali. Bisa dibuktikan dengan penulisan nama dan nasab dari Sayyidina Hassan atau Husain RA..Apakah ditulis Hassan Bin Fathimah Binti Muhammad SAW..??atau ditulis Hassan Bin Ali Bin Abi Thalib..??.. Lalu darimana kita bisa menyatakan turunan beliau berdua (Sayyidina Hassan wal Husain) adalah penerus nasab Nabi.SAW…??

    Hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah sebodoh2nya saya sebagai seorang muslim takkan mungkin ada terbersit niat di dalam hati saya untuk merendahkan Siti Fathimah RA..Saya rasa tak ada satupun muslim yang tdk memuliakan beliau radhiallahu ‘anha walau mungkin muslim yang paling awam atau paling bodoh sekalipun…
    Hal yang perlu dicatat tentang kemuliaan hakiki Siti Fathimah RA adalah karena keshalihah-annya dan bukan karena keturunannya. Sesungguhnya Nuh AS tak dapat berbuat apa2 ketika putranya Kan’an ditenggelamkan oleh Allah dikarenakan kedurhakaannya. Maka justru adalah sebuah penghinaan terhadap Siti Fathimah RA jikalau ada seseorang yang menyatakan bahwa beliau tsb mulia hanya kerna “kebetulan” beliau terlahir sebagai putri dari seorang Nabi. SAW. Adakah Siti Fathimah RA kemudian pantas disamakan dengan Kan’an yang juga “kebetulan” terlahir sebagai putra dari seorang Rasul dan hamba Allah yang sangat terkenal keshalihan dan kesabarannya Nuh AS…?? Apakah itu justru bukan menjadi penghinaan..??hmm…let’s think..

    Saya tegaskan kembali bahwa Siti Fathimah RA adalah wanita mulia. Dan kemuliaan hakikinya adalah karena keshalihan dan kesabarannya.

    Marilah kita sudahi semua ini dan kita kembalikan semua kepada Sang Maha Mengetahui karena hanya padaNYA lah kebenaran hakiki itu berada dan DIA Maha Mengetahui atas segala sesuatu..

    Kemuliaan atau kehinaan seseorang adalah atas apa yang ada pada dirinya dan hasil dari amalnya dan tidaklah pada hari berhisab nanti berguna keturunan, harta atau pangkat keduniawian..hanya amal…wallahua’alam…:):)

    1. Saya lupa kalau ternyata hadis yang diberikan tidak cukup, mungkin surah Ali Imran ayat 60 adalah salah satu bukti paling kuat bahwa Sayidina Hasan dan Sayidina Husain adalah “putra” Rasulullah. Silakan dibaca beserta tafsirnya 🙂

      Terakhir, ucapan bahwa tidak ada keturunan Rasulullah yang tersisa bisa menyebabkan jutaan Alawi seluruh dunia “marah”. Padahal Sayidina Husain saat perang Karbala berkata kepada Sayidah Zainab binti Ali untuk menahan Ali bin Husain, “Jangan biarkan Ali ikut berperang, agar tersisa keturunan Rasul di muka bumi.”

      Juga teringat.. hmm… Tahukah Anda bahwa Nabi Isa adalah keturunan Nabi Ibrahim?? Tapi siapa ayah Nabi Isa?? Siti Fatimah dengan keyakinan kita masih lebih mulia daripada Siti Mariam… Keturunan dari pihak wanita bukanlah tidak mungkin bagi wanita pemimpin surga. Terima kasih 😀

  16. maaf anda mengatakan bahwa kafaah hanya ada di sunni bukan di syiah lalu bagaimana fatwa yang mengatakan (maaf saya copy seluruhnya ):
    Fatwah on Marriage (Sadaat)
    Why syed Girl/Woman can not marry a non-syed man?

    Download pdf, zip, and audio file to find out.
    Click on your choice to find out.
    In Urdu: Answe.pdf – Answer.zip
    In English: Marriage of Syedani with Non Syed is Haram
    Audio file.mp3 (listen to it)

    please stop saying that I know this Syed girl who married non-syed man or
    I know this Alama/Aytullah said you can…etc…etc
    Haram means Haram. In Islam if one person/group does something wrong does not make it right…
    ini dapat anda temukan di : http://www.molaali.net/answer.asp
    disini cukup jelas dikatakan bahwa perkawinan syarifah dengan non sayid adalah HARAM dan ini merupakan fatwa dalam mazhab syiah…

    1. Terima kasih atas infonya. Ada beberapa pendapat penulis yg saya kurang setujui, seperti lebih baik seorang syarifah mati daripada menikahi non-sayid. Tidak masuk akal! Tapi ketidaksetujuan saya wajar, karena hanya pendapat satu orang penulis (Syed Zulfikar Ali Bukhari) dan belum bisa disimpulkan sebagai pendapat keseluruhan mazhab Syiah.

      Penulis sendiri menyebutkan:

      Ahl-E-Sunna in general are opposed to the marriage of Syedani with a non-Syed and call it Haram. This not only supports the above facts but also is opposed to the Shia Mujtahideen in general.

      Meski saya tidak menafikan adanya anjuran ulama Syiah sendiri.

    2. LOL seseorang yg antum rujuk itu memangnya siapa? Marja?, soalnya tiada satupun marja yang mengharamkan pernikahan antara syarifah dg non-sayyid. bahkan putri dari dua pemimpin tertinggi Iran (almarhum sayyid khumaini dan sayyid ali khamenei) menikah dg non-sayyid kok. Dan anda langsung seenaknya menarik kesimpulan hukum (haram) hanya karena refrensi dangkal seperti itu? haha menyedihkan sekali memang orang2 insecure tribalis!

  17. Assalamu a’laikum, Nama saya Juneid saya bukan seorang sayyid , sebenarnya ini sebuah pesan saja kepada sayyid atau sayyidah di Indoneisa ini, yg merasa mereka sajalah di nusantara ini yg turunan Sayyidina Ali Bin Abi Thaalib Karamallahu Wajhahu yakni dari turunan Sayyid Ali Al Uraidhi. Perlu di tau bahwa di Nusantara ada turunan Sayyidina Ali Bin Abi Thaalib Karamallahu Wajhahu dari turunan Musa Al Kazim, di mana di ketahui bersama meskipun tinggi ilmu Islamnya Sayyid Ali Al Uraidhi namun Lebih tinggi pula Ilmu Sayyid Musa Al Kazim. Demikian semoga kita mendapat Rahmat dari Allah Subhaanahu Wa Ta ‘aala dan di akhirat kelak akan di kumpulkan bersama satu negeri dgn Rasulullah S.A.W. Amiin Ya Rabb.

  18. assalamualaikum,, nama saya ramadan,, terus terang smpai saat ini saya masih menganggap bahwa pernyataan tidak boleh menikahnya antara laki laki biasa dan perempuan syarifah.. karna jujur smua penjelasan tentang itu saya rasa tidak logis,, mohon penjelasannya,, karna terus terang saya sndiri berada dalam kondisi ini,, saya ingin menikah dengan seorang syarifah,, namun dihalangi dengan hukum tersebut,, terima kasih

    1. Alaikumsalam. Saya pikir, tulisan di atas dan beberapa komentar yg masuk sudah cukup memadai untuk dapat dipahami. Pertanyaannya adalah, apakah keluarga si perempuan menerima atau tidak? Kalau tidak maka itu masalah lain.

  19. ass,, keluarga perempuan menolak karena alasan hukum tadi,, mengapa mereka keturunan nabi itu tidak di kumpulkan di suatu tempat di mana hanya ada mereka??? sehingga rasa cinta antara orang biasa aprti kami dengan mereka tidak akan pernah ada…. jodoh itu datang dari Allah,, dan jika memang jodoh seorang syarifah itu adalah orang biasa apakah dia harus di hukum??? bukankah kita semua brasal dari satu moyang adam dan hawa?? apakah Rasulullah membeda bedakan umatnya sperti ini?? trus kalau begitu apalah artinya semua muslimin dan muslimah itu bersaudara ?? bukankah smua manusia sama di mata Allah,, hanya amal ibadahnya yang membedakan kita… walaupun dia seorang habib atau syarifah tetapi kelakuannya jelek apakah derajatnya tetap lebih tinggi dibandingkan oarang biasa yang brtaqwa?? mohon penjelasanya..

    1. Coba Mas Ramadan baca lagi artikel di atas dan beberapa komentar pengunjung. Saya bisa simpulkan hal tersebut tidak bisa semata dipandang dari satu sisi, yakni agama, tapi juga (tekanan) kultur sosial dan sebagainya.

      Jangan terburu-buru gunakan dalih “jodoh datang dari Allah”. Apa Mas Ramadan yakin bahwa itu adalah jodohnya yg kekal hingga tua? Atau itu perasaan emosi “cinta” Mas Ramadan? Bukankah kita yg seharusnya mengontrol cinta dan bukan cinta yg menguasai kita?

      Saya bisa pahami perdebatan tentang ini panjang, sebagaimana sudah ribuan tahun dibahas. Kalau masih ingin tetap mengutarakan pendapat, klik Contact Me 🙂

  20. trus terang saya masih belum bisa menerima hukum tersebut,, jika di tinjau oleh akal dan pikiran, sungguh tidak logis.. sedangkan agama itu diciptakan untuk orang orang yang berakal,, dan untuk menemukan kebenaran agama maka kita harus menggunakan akal pikiran,, saya harap suatu hari nanti saya akan menemukan seseorang yang dapat memberikan jawaban yang tepat untuk hal ini,, terima kasih atas penjelasannya.. jika hukum tersebut hanyalah rekayasa belaka,, sungguh celakalah bagi orang2 yang merekayasakannya.. tapi jika hukum tersebut memang benar,, maka semoga Allah SWT meyakinkan saya dengan caraNYA….

    1. Mau ibadah (nikah) kok dihalang2i, tau gak mas siapa yang biasa menghalang2i hamba Allah untuk beribadah?, tau kan.. Ya cukup tau saja yaa.. Wkwkwkwk

  21. ramadan said: sedangkan agama itu diciptakan untuk orang orang yang berakal,, dan untuk menemukan kebenaran agama maka kita harus menggunakan akal pikiran,,

    afwan, tidak semua yang ada di dalam agama (Islam) bisa dicerna oleh akal. adakalanya kita (mesti) menerimanya begitu saja walaupun berada di luar jangkauan akal. satu contoh, ketika sayidina Umar ra mencium hajar Aswad, beliau berkata “engkau tidak lebih dari sekedar batu, jika aku tidak melihat Rasulullah melakukan ini, niscaya aku tidak pula melakukannya”

    akal sayidina Umar ra tidak dapat menjangkau hakikat mencium hajar aswad tersebut, ia melakukannya karena sebatas penglihatannya bahwa Rasulullah saw. juga melakukan itu (dan masih ada beberapa contoh lg dimana ada ketentuan2 syariat yg tidak terjangkau oleh akal)

  22. assalamualaikum wr.wb..
    soal mencium hajar aswat sperti yang kita ketahui hukumnya adalah sunnah,, dan tidak wajib,, sedangkan hukum ini wajib bagi para kaum habib dan syarifah,, mengenai hajar aswat saya yakin ada alasan yang kuat sehingga Rassulullah melakukannya dan kalau soal hukum nikah dalam kaum habib ini saya rasa sungguh tidak masuk akal,, dan terus terang saya pribadi tidak yakin akan kebenaran hal tersebut,, saya berpikir mungkin saja itu adalah tradisi tradisi orang2 sebelumnya,, hanya tradisi seperti tradisi2 budaya yang sering kita liat di berbagai wilayah,, dan tradisi tersebut tidak selamanya benar,, maka berhubung dunia sudah semakin canggih dan wawasan manusia sudah lebih baik dai sebelumnya, saya berharap tradisi2 tersebut kita lestarikan yang benar dan kita buang yang salah,, to, kita ini sama2 manusia biasa,, sama sama umat Muhammad.. dan tentunya Rasulullah sangat mencintai umatnya tanpa membeda bedakan ras, suku, budaya, warna kulit dan lain2,, lantas knapa kita di bedakan hanya karna keturunan?? seorang habib di halalkan menikah dengan wanita dari kaum yang lain dengan alasan si wanita akan mengikuti si pria sehingga anaknya tidak terputus nasab dengan Rasulullah,, sedangkan seorang syarifah di haramkan menikah dengan pria dari kaum lain dengan alasan anaknya akan terputus nasab dengan Rasulullah.. sedangkan seperti yang kita ketahui anak rasulullah itu seorang perempuan dan menikah dengan Ali bin Abi Thalib. dengan kata lain sudah terputus nasabnya sejak dulu,,

    jadi menurut saya,itu penyakit akut peninggalan zaman feodal dulu. Sebenarnya bukan golongan said semata, kalau ditarik garis lebih panjang kita akan mendapati bahwa ada kecenderungan (kultur?) kuat di golongan Arab-Indonesia yang suka mengekslusifkan diri dengan memilah-milih lingkar pergaulannya. Dahulu kala, di zaman Belanda, mereka kan warga negara kelas 2 (setelah kulit putih/orang Barat), jadi mereka merasa berhak untuk “melindungi” garis keturunannya agar tidak “tercemar” dengan garis pribumi. Kalau gak percaya, lihat aja daerah kantong-nya Arab Indonesia di Surabaya; cari tau apakah ada kasus perkawinan campur di mereka? nyaris NIHIL.

    Tentang golongan said, pembenaran untuk sikap ini jadi lebih kuat karena mereka membanggakan diri sebagai pewaris keturunan nabi besar Muhammad SAW (tau sendiri, kalau sudah ada bumbu agama, sesuatu itu bisa sangat jadi sgt powerful di Indonesia), jadi lebih2 merasa punya hak menjaga garis keluarga agar gak bercampur dengan orang pribumi.

    Alasan yg simpel, tapi miris karena menganggap keimanan itu mengalir lewat darah keturunan, bukan amal ibadah.

    toh, tidak semua dari mereka berakhlak baik,, bahkan yang saya jumpai,, banyak dari mereka yang berakhlak buruk ( saya tidak mengklaim semuanya,, atau sebagian besar. namun yang saya katakan sebagian besar yang saya temukan.) jika memang hal tersebut benar, maka semoga Allah membuka hati dan pikiran saya untuk memahaminya,, tetapi jika tidak, semoga Allah membuka hati dan pikiran mereka dan untuk mereka yang mendustakannya,,mereka akan mempertanggung jawabkannya nanti, azab Allah sangat perih.

    1. Membaca komentar Mas yang ini saya yakin Anda belum baca tulisan (setidaknya belum paham) tapi baru baca judul atau awal paragraf kemudian menyimpulkan sendiri. Misalnya, Anda menulis “wajib hanya bagi kaum habib” padahal ketentuan itu dibicarakan ulama-ulama ahlusunah tidak sampai taraf wajib mutlak. Ketidaksetaraan kafaah bukan berarti tidak halal.

      Komentar Mas yg terakhir ini bisa menimbulkan kecenderungan sentimen rasisme. Anda seolah-olah paham betul (terkesan sok tahu) dng kultur jammaah di Indonesia, tapi sendirinya tidak yakin dengan menyebut NIHIL tapi nyaris?! Alhamdulillah, saya punya keluarga besar yg bercampur dengan orang Indonesia asli, dan tidak ada yg berpikiran seperti Mas Ramadan.

      Ketika ada orang Indonesia nikah sama orang Indonesia, keturunan Cina nikah sama keturunan Cina, orang Batak nikah sama orang Batak, tidak dipermasalahkan. Tapi dalam hal ini Anda sangat keberatan. Hal itu karena Anda punya masalah, sehingga pola pikirnya tidak objektif.

      Saya sudahi komentar sampai Anda memahami persyaratan agama dan kondisi kultur yg diperbincangkan, baru kemudian berkomentar lagi.

    2. mas Ali Reza. Saya hanya ingin menyorot statement terakhir antum, pernikahan karena kesamaan etnik (batak with batak, dll) adalah kecenderungan yang wajar saja berhubung seseorang tsb lahir dan besar bersama masyarakat serumpunannya atau karena sudah familiar dg kulturnya sehingga akan menjadikan urusan sosialnya lebih mudah, tapi hal ini merupakan sesuatu yang preferensial, bukan mutlak naluriah di setiap manusia, seseorang yang menemukan kecocokan dan berjodoh dengan ras/bangsa lain juga banyak kok, ini semua pilihan dan kehendak masing individual yang orang lain gak usah ngurus2in karena itu bukan soal kehidupannya.

      Bagaimana dengan anak-anak keturunan blasteran (mixbreed) yang EKSIS di realita kehidupan kita? antum juga tidak akan dapat memungkiri ini selamanya, intinya realitas ini nyata kan? jadi bukanlah ini sesuatu yang tidak wajar dalam kehidupan. Kebetulan saya penggiat antropologi, kawin campur antar manusia ini punya sejarah yang sangat lama kalau mau saya ceritakan, bahkan ras kita (homo sapiens sapiens) juga mengalami perkawinan dengan sub-spesies Neanderthal di masa lampau, tapi yasudahlah kalau kesitu bakal kejauhan soalnya.

      Saya rasa bukan ‘protes’ yang antum lihat, tapi semata karena keresahan seseorang atas klaim-klaim doktrinal reliji yang dibawa-bawa oleh sebagian habib perihal pernikahan syarifah dg non-sayyid, pada dasarnya tidak ada yang memaksa kok si syarifah mau berjodoh dg siapa mau yang se-marga juga tidak ada yang keberatan, saya sendiripun tidak peduli, wanita impian saya adalah bule-bule eropa (dan ini hak preferensial saya). Yang menjadi keberatan disini adalah klaim reliji karena bawa-bawa agama yg diikuti miliyaran ummat, jadi bukan soal pernikahannya itu sih urusan masing2 yang saya tidak peduli atasnya.

  23. Salam semuax, akhina reza syukran atas tulisanx sangat membantu utk menjernihkan persoalan ini(dr sudut pandang sy). owh ya sy mw brtanya mengenai fatwa dr mazhab syi’ah yg kata anda jg tdk menafikan bhw ada yg berpendapat bhw ada yg membenarkan masalah kafa’ah, pertanyaanx sejauh mana kedudukan pendapat trsbt? Apakah membuat hukum yg umumx diakui menjadi tergugurkan? Syukran,terlbh jika anda brsedia menjelaskannya 🙂

  24. Kalau kita lihat silsilah Saidina Muhammad SAW, jelas ada benang merah dari Hasyim, ayah dari Abdul Muthalib, kakek dari Saidina Muhammad SAW, beliau juga anak tunggal, sama dengan Abdul Muthalib sendiri. Orang tuanya, Hasyim meninggal sebelum Abdul Muthalib lahir. Tetapi, anak Abdul Muthalib banyak, yang bungsu adalah Abdullah, juga wafat sebelum lahir Saidina Muhammad SAW. Berarti, Saidina Muhammad SAW adalah anak tunggal.

    Lalu, anak lelaki Saidina Muhammad SAW dengan Bunda Khadijah, baik Ibrahim dan Abdullah, juga tidak hidup lama krn meninggal sebelum dewasa. Tak heran jika kelompok musuh Nabi Muhammad SAW slalu mencela dengan putusnya nasab beliau krn tidak adanya anak laki-laki.

    Inilah mukjizat Allah SWT pada Nabi kita Muhammad SAW, nasab beliau diputuskan supaya tidak ada golongan yang mengklaim ‘mereka’ adalah keturunan Saidina Muhammad SAW, atau keturunan nabi dan keturunan rasul. Jika merujuk pada QS. 33:4-5 jelas nasab itu hanya dari pihak laki-laki bukan perempuan. Otomatis mahkota ‘ahlul bait’ dari keluarga Saidina Muhammad SAW itu terputus hanya sampai pada Bunda Fatimah.

    Artinya, anak-anak dari Saidina Ali bin Abi Thalib dengan Bunda Fatimah, jelas bukan bernasab pada Saidina Muhammad SAW, sehingga anak-anaknya tidaklah mewarisi tahta ‘ahlul bait’ atau ada yang menyebutnya sebagai ‘keturunan’ nabi atau rasul. Kalau saya, tidak ada keturunan nabi atau rasul, tetapi yang ada keturunan Saidina Muhammad SAW jikalah anak beliau yang laki-laki sempat berketurunan.

    Apa hikmahnya?, baik kelompok Syiah maupun habaib yang sama-sama mengaku keturunan ‘ahlul bait’ tidak perlu bertengkar lagi karena mahkota ‘ahlul bait’ atau keturunan nabi yang diperebut-rebutkannya itu, memang ‘sudah’ tak ada.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.