Setiap khotbah Jumat, pasti kita sering mendengar khatib membacakan ayat Innallâha ya`muru bil ‘adli wa ihsân wa îtâidzil qurbâ wa yanha ‘anil fahsyâ wal munkar wal bagh. Ya’izhukum la’allakum tadzakkarûn. Belum lama ini saya menemukan kisah mengenai bagaimana ayat tersebut bisa ada di bagian khotbah Jumat. Saya merangkum dari buku dengan judul asli Qashash al-Abrâr dan Dastan-e Dastan.

Cacian di mimbar Jumat terhadap Sayidina Ali sudah menjadi tradisi selama puluhan tahun. Muawiyah dan khalifah setelahnya menampakkan kebencian secara terang-terangan. Ada pejabat yang meminta kepada Muawiyah agar menghentikan tradisi tersebut. Tapi Muamiyah menjawab, “Tidak, demi Allah! Tidak akan kuhentikan sampai anak-anak kecil tumbuh dewasa, yang dewasa semakin tua renta sehingga tak seorang pun mengingatnya kembali.”

Pada masa kekuasaan Abdul Malik (khalifah kelima Umayyah), ada seorang ulama yang menceritakan keutamaan Sayidina Ali di masjid Damaskus. Abdul Malik memerintahkan supaya lidah ulama itu dipotong dan berkata, “Aneh! Sampai sekarang orang-orang belum melupakannya!” Sekaitan dengan peristiwa itu, syair tentang Sayidina Ali tercipta:

Di atas mimbar mereka mencacinya,
Padahal dengan pedangnya, mimbar ditegakkan.

Di antara anak-anak atau pemuda yang mengalami masa seperti itu adalah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang tergolong baik di antara khalifah Umayyah yang lain ini berkisah:

Ketika masih muda, saya belajar Alquran kepada salah seorang keluarga Utbah bin Masud. Suatu hari ketika sedang bermain dengan teman-teman, kami melaknat Ali r.a. Ternyata guruku yang kebetulan lewat di tempat kami bermain tidak menghendaki pelaknatan tersebut. Dia kemudian masuk ke masjid.

Saya pun meninggalkan teman-teman dan masuk ke masjid untuk belajar kepada guruku. Tapi ketika saya datang, dia berdiri untuk melaksanakan salat. Dia memanjangkan salatnya, seakan-akan disengaja. Saya merasakan sekali hal itu. Selesai salat dia langsung menampakkan wajah muram kepadaku. Saya bertanya, “Apa yang terjadi, wahai guru?”

“Anakku, engkau melaknat Ali?” tanyanya. “Ya.” Guruku bertanya lagi, “Sejak kapan engkau tahu bahwa Allah membenci pahlawan Badr setelah meridai mereka?” Saya bertanya, “Guru, apakah Ali termasuk pahlawan Badr?” “Benar,” jawab guruku. “Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”

Kemudian aku menghadiri salat Jumat di Madinah dan ayahku yang waktu itu gubernur bertindak sebagai khatib. Aku simak khotbahnya begitu lancar dan bersemangat, sampai akhirnya ayahku melaknat Ali r.a. Aku heran mengapa sampai terjadi demikian. “Wahai ayah, ayah termasuk orang yang fasih dan lancar berkhotbah. Begitu tertariknya aku melihat ayah, sehingga ketika ayah melaknat orang itu (Ali) aku merasa kecewa.”

“Wahai anakku, orang-orang yang berada di bawah mimbar kita itu kebanyakan penduduk Syam. Kalau aku menyampaikan keutamaan orang itu (Ali) sebagaimana yang aku ketahui, tak seorang pun dari mereka yang mau mengikuti kita,” jawab ayahku. Aku simpan dan kurenungkan kata-kata ayahku itu di dalam dadaku bersama apa yang dikatakan guruku. Lalu aku berjanji kepada Allah, jika aku bernasib baik dan menjadi khalifah, aku akan merubah ungkapan laknat itu.

Hingga akhirnya, Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Ia memikirkan cara bagaimana melarang cacian dan laknat terhadap Sayidina Ali dan mendorong ulama besar mengeluarkan fatwa pengharamannya. Umar pun memiliki cara cerdik dan jitu untuk mengakhiri cacian terhadap Sayidina Ali.

Diam-diam dia memanggil seorang dokter Yahudi dan mengatakan kepadanya, “Saya akan mengundang ulama dalam sebuah majelis dan engkau harus ikut. Saya minta kamu pura-pura meminang putriku. Kemudian aku akan mengatakan bahwa dalam Islam, wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir. Nanti kamu harus jawab, ‘Mengapa Ali yang kafir menjadi menantu Nabi?’ Saya akan mengatakan bahwa Ali tidak kafir. Lalu kamu bantah, ‘Jika Ali tidak kafir mengapa kalian melaknatnya, padahal mencaci dan melaknat seorang muslim tidak diperbolehkan?’ Setelah itu, aku yang akan turun tangan.”

Majelis itu pun diselenggarakan. Para undangan hadir, mulai dari tokoh masyarakat, pembesar Bani Umayyah dan para ulama, termasuk dokter Yahudi itu. Setelah siap, dokter itupun mengatakan ingin meminang putra Umar bin Abdul Aziz. Semua rencana berjalan lancar sampai ketika dokter Yahudi berkata, “Kalau Ali bukan kafir, mengapa kalian melaknatnya?”

Saat itu, seluruh yang hadir menundukkan kepalanya karena merasa malu. Umar langsung memanfaatkan kesempatan itu dan mengatakan kepada hadirin, “Jujurlah kalian. Mungkinkah menantu Rasul yang punya keutamaan begitu banyak merupakan orang terlaknat?” Akhirnya, di majelis itu Umar bin Abdul Aziz menepati janjinya yang terdahulu.

Umar memberlakukan larangan mencaci dan melaknat Imam Ali bin Abi Thalib dan mengganti ucapan laknat itu menjadi ayat yang selalu dibaca para khatib Jumat: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat. Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90) Wallahualam.

Sumber Gambar: IraqiGuy

3 respons untuk ‘Khalifah Umar Ubah Tradisi Jumatan

  1. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

    Sungguh seorang khalifah yang cerdas!

  2. Mohon Maaf cerita diatas mengambil referensi dari kitab apa….saya tertarik untuk mendalaminya lebih jauh…..

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.