Mandi sekitar pukul tiga pagi, ingatan saya tertuju pada kisah mengenai Imam Khomeini. Tidak seperti ikhwan atau akhwat yang malam-malam mengirimkan SMS orang kepada lain untuk membangunkan salat, Imam Khomeini justru tidak seperti itu. Demi menghindari sikap riya, imam tidak melakukan hal tersebut sehingga terhindar dari ucapan yang seolah-olah berkata “Ini lho, saya bangun tengah malam. Saya melakukan salat tahajud.” Lebih jauh lagi, imam tidak membangunkan orang lain karena tidak ingin mengganggu. Tujuannya untuk menjaga hak orang lain.
Menantu imam yang bernama Borujerdi bercerita: “Jika imam bangun tengah malam untuk salat malam, beliau tidak menyalakan lampu… Kemudian beliau berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Ini karena beliau tidak ingin membangunkan orang lain. Sikap ini membuktikan beliau sangat menghormati orang lain, menjunjung tinggi hukum dan akhlak Islam.”
Kisah tersebut teringat saat mandi pukul tiga pagi karena khawatir suara air mengganggu yang lain. Akhlak imam tersebut saya yakini berasal dari akhlak Rasulullah pula. Dalam Musnad Ahmad, Ummulmukminin Aisyah pernah berkisah:
Pada malam Rasulullah saw tinggal bersamaku, aku lihat beliau berbalik, lalu meletakkan selendangnya, melepas sendalnya, menghamparkan sarungnya di atas kasur lalu berbaring. Tidak berapa lama mungkin beliau mengira aku sudah tidur—beliau bangkit, mengambil selendangnya, mengenakan sandal, membuka pintu, keluar dan menutup pintu. Semuanya dilakukan dengan hati-hati…
Kelanjutan kisah itu adalah Aisyah membuntuti Rasul yang ternyata—tidak seperti prasangka awal—nabi berziarah ke Pemakaman Jannatul Baqi’. Di situ rasul tidak membangunkan atau mengajak Aisyah untuk ziarah, karena beliau tahu ziarah bukan sebuah kewajiban dan menjaga hak (tidur) orang lain lebih utama dari sekedar perbuatan sunah.
Ada yang mengatakan bahwa perbuatan orang-orang yang mengirimkan SMS malam-malam itu diiringi niat baik, karena mengajak kebaikan. Tentu itu benar, tapi tentu menjaga hak orang lain atau tidak mengganggu orang lain juga lebih utama dari perbuatan sunnah. Apalagi orang yang dikirim SMS ternyata tidak meminta apalagi menginginkannya. Terlebih, SMS “nakal” seperti “Hey teman2, bangun malam yuk, kita tahajud ^^” dikhawatirkan menimbulkan riya.
Ada kisah lain dari Imam Khomeini di mana beliau sangat memperhatikan keikhlasan suatu perbuatan, karena riya itu sangat halus. Suatu ketika menantu imam yang lain, Fatimeh Tabatabae) datang bersama putranya. Imam bertanya, “Mengapa penamilan Hassan lusuh seperti ini?” Sembari bercanda menantu imam menjawab, “Beginilah kehidupan orang miskin, Agha.”
Wajah Imam Khomeini langsung berubah dan menegurnya, “Kau tidak ingin bersikap riya, kan?” Menantu imam berkata, “Tidak. Apakah yang seperti ini riya?” Imam menjawab, “Berhati-hatilah, jangan memperhatikan penampilan luar. Jika kau ingin menunjukkan kepada orang bahwa kau begini atau begitu, itu berarti riya.”
Dalam kitabnya, Syarh Al-Arba’în Al-Hadîtsan, Imam Khomeini menempatkan hadis tentang riya pada posisi dua. Perbuatan imam di atas merupakan wujud dari apa yang beliau tulis. Imam menyebutkan bahwa riya dalam ibadah merupakan riya yang paling jelas. Ditandai dengan penampilan terang-terangan dan meninggalkan perbuatan haram dengan motif riya. Hal ini persis seperti apa yang dikatakan Amru Khalid bahwa mengerjakan sesuatu amal karena manusia adalah riya, namun tidak mengerjakan sesuatu karena manusia adalah riya juga.
Ya Allah junjungan hati orang beriman. Terimalah ibadahku, shalatku, sedekahku, zikirku. Maafkan bila ibadahku tercampur dengan riya. Ampuni bila amal saleh yang aku lakukan tidak dengan seluruh keikhlasan hatiku… Wallâhua’lam.
visit my blog
bagaimana cara menhilangkan penyakit hati terutama riya?
semoga kita semua terhindar dr hal2 demikian………………………….. salam persahabatan selalu dari MENONE