“Masih Juga Mencintai Ali?” – Kasus Hukum Potong Tangan

Seseorang pecinta Amirul Mukminin Ali telah melakukan kesalahan dan harus menerima hukuman. Imam Ali as menjalankan hukuman dengan memotong jari-jari tangan kanannya. Setelah menerima hukuman itu, lelaki itu pun segera pergi sambil membawa jari-jarinya yang telah terputus di tangan kirinya sementara darah terus menetes ke tanah.

Di tengah jalan, dia bertemu dengan Ibnul Kawwa, seseorang dari Khawarij dan pembenci Imam Ali as. Dia ingin memanfaatkan situasi itu agar lelaki tersebut membenci Ali. Dengan wajah penuh kasih sayang dan berpura-pura simpati ia bertanya, “Siapa yang telah memotong jarimu?”

Laki-laki itu dengan besar hati menjawab, “Jari-jariku telah dipotong oleh penghulu penerima wasiat para nabi, pemimpin kafilah dengan wajah bercahaya di Hari Kiamat, sosok yang paling berhak terhadap Mukminin; Ali bin Abi Thalib, sang pemandu jalan hidayah… Orang pertama (setelah Rasul saw) yang memasuki surga, pejuang gagah berani, penuntut balas orang-orang yang ingkar… Penunjuk jalan kebenaran dan kesempurnaan. Apapun yang diucapkannya adalah kebenaran. Pemberani Makkah dan sosok mulia nan setia kepada Rasul saw.”

Ibnul Kawwa berkata, “Celaka kamu! Dia sudah memotong-motong jarimu tapi engkau masih memujinya?!”

Lelaki itu menjawab, “Bagaimana aku tidak memujinya sementara kecintaan terhadapnya telah menyatu, meresap ke dalam darah dan dagingku. Demi Allah, dia tidak memotong jariku kecuali semata-mata untuk menjalankan perintah Allah swt atas kesalahan yang aku perbuat.”

Catatan: Menurut saya, dari kisah ini kita bisa lihat bahwa dalam fikih (jinayah) Ahlul Bait, batasan potong tangan bagi pencuri adalah jari. Berbeda dengan saudara-saudara Ahlus Sunnah yang memberi batasan dari pergelangan tangan ke bawah. Riwayat lain adalah:

Zarqan sahabat setia Ibnu Abi Du’ad (salah seorang hakim pada masa khalifah Makmun) menceritakan: Suatu hari dalam keadaan sedih Ibnu Abi Du’ad pulang dari istana khalifah. Aku bertanya kepadanya, “Mengapa engkau sedih?” Ia menjawab, “Andai aku mati 20 tahun lalu.”

Aku bertanya lagi kepadanya, “Mengapa demikian?” “Karena suatu kejadian yang membuatku malu me­nyangkut perbuatan Khalifah Mu’tashim terhadap Abu Ja’far as (Imam Muhammad Al-Baqir),” jawabnya.

“Apa gerangan yang terjadi?” tanyaku. Ia menjelaskan:

Seorang pencuri telah dibawa ke hadapan khalifah. Pencuri itu mengakui perbuat­annya dan meminta kepada khalifah agar menjalankan hukuman terhadapnya. Khalifah mengundang para fukaha (ahli fikih), termasuk Abu Ja’far as. Khalifah bertanya mengenai “batas manakah tangan pencuri harus dipotong.”

Aku menjawab, “Dari pergelangan tangan.” Khalifah bertanya, “Apa dalilnya?” Aku jawab, ““Yang disebut tangan adalah dari jari hingga perge­langan tangan, karena Tuhan telah berfirman di dalam ayat (tayyamum): Setelah itu, usaplah tanah ke mukamu dan tanganmu (QS Al-Maidah : 6). Maksud dari tangan di dalam ayat ini adalah jari-jari hingga pergelangan tangan. Sejumlah ahli fikih sepakat denganku bahwa tangan pencuri harus dipotong dari pergelangan tangan. Namun beberapa ahli fikih berpendapat bahwa tangan pencuri harus dipotong dari siku, karena Tuhan berfirman dalam ayat wudhu: Basuhlah tangan kalian hingga ke siku, dan ayat ini menunjukkan bahwa batas tangan adalah siku.”

Kemudian Mu’tashim memandang Abu Ja’far as dan bertanya, “Bagaimanakah pendapatmu?” Abu Ja’far as berkata, “Hadirin dan ulama sudah memberikan jawaban, maka tidak diperlukan lagi pendapatku.” Mu’tashim sekali lagi mendesak Abu Ja’far as untuk menyampaikan pendapatnya. Abu Ja’far as kali ini pun minta maaf.

Akhirnya Khalifah Mu’tahsim berkata, “Demi Tuhan! Sampaikanlah apa yang engkau ketahui tentang masalah ini.” Abu Ja’far as berkata, “Kini, karena engkau menyumpahku atas nama Tuhan, maka aku akan menyampaikan pendapatku. Sebenarnya hanya jari-jari pencuri saja yang harus dipotong, dan telapak tangan harus dibiarkan.”

Khalifah Muktashim bertanya, “Apakah dalil dari pendapatmu ini?”

Abu Ja’far as berkata, “Rasul saw telah bersabda: ‘Sujud dilakukan dengan tujuh anggota badan; wajah (kening), dua telapak tangan, dua lutut, dua kaki (dua jari (jempol) besar kaki).’ Oleh karena demikian, jika tangan pencuri diputus dari pergelangan tangan sampai siku atau sampai pergelangan tangan, maka tidak ada tangan yang tersisa untuk memenuhi syarat sujud.”

Allah Swt telah berfirman, Dan sesungguhnya tempat-tempat sujud kepunyaaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping menyembah Allah. Maksud dari tempat sujud adalah tujuh anggota badan yang digunakan sujud, dan apa yang untuk Allah tidak boleh diputus.”

Khalifah Mu’tashim setuju dengan fatwa Imam dan memerintahkan agar jari-jari pencuri itu saja yang dipotong. Ibnu Abi Du’ad berkata, “Saat itu, aku merasa sudah kiamat dan aku merasa lebih baik mati dan tidak menyaksikan kejadian yang sangat merendahkanku itu.” Wallahua’lam.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.