Ide awal membahas masalah sepele ini sebenarnya berasal dari nasihat Imam Khomeini untuk mengganti tepuk tangan. Lalu mulailah terpikir untuk mencari tahu asal-usul tepuk tangan. Memang kalau dipikir-pikir terasa aneh; melihat seseorang melakukan perbuatan tertentu lalu kita yang melihat bertepuk tangan? Apa hubungannya, pengaruhnya? Bahkan terkadang penonton sampai tepuk tangan sambil berdiri (standing applause).
Sejak mengetahui nasihat Imam Khomeini, saya malah hampir tidak pernah tepuk tangan. Aneh? Sebenarnya lebih aneh lagi bagi mereka yang tepuk tangan di masjid, atau tepuk tangan setelah pembacaan Alquran. Sebuah partai yang mengatasnamakan Islam tidak lagi membuka mukernas dengan takbir tapi tepuk tangan, dan terakhir kemarin dalam acara perkumpulan sarjana syariah juga hanya terdengar suara tepuk tangan.
Saya tidak sendirian. John Gosselink dalam Suffering from the Clap juga mengeluhkan hal yang sama. “Apapun keadaannya, di manapun tempatnya, siapapun penontonnya, kita terus bertepuk tangan.” Gosselink bahkan mengatakan bahwa tepuk tangan juga harus dihapus dari gereja. Bahkan dia mengatakan bahwa gereja telah memasukkan anak muda untuk bermain musik. Tapi itu cerita lain.
Pernah suatu ketika, seorang gadis kecil selesai bermain piano di gereja. Kemudian sejenak hening… lalu tepuk tangan pun bergemuruh. John yang berada dekat dengan si gadis hanya diam saja. Orang-orang berkata, “Lihat orang itu tidak tepuk tangan. Ada apa dengannya dan hati busuknya? Tidak bisakah dia melihat perempuan itu telah berlatih berbulan-bulan. Dia pasti orang jahat. Pasti!”
Willard Paul dalam salah satu tulisan di blognya yang berjudul Clap Your Hands, All You People! juga punya keluhan yang serupa, yakni mengenai tepuk tangan di gereja. Katanya, “Kita pura-pura datang ke gereja untuk menyembah Tuhan. Lalu ketika seseorang bermain musik atau bernyanyi, kita tepuk tangan untuknya. Ini bukan hal yang seharusnya dilakukan.”
Bernyanyi dalam gereja, seperti berkhotbah, haruslah perbuatan ibadah bukan dibandingkan sebagai pertunjukkan bakat. Musik yang ditampilkan haruslah mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan hiburan. Respon yang tepat seharusnya “Amin!” atau “Puji Tuhan!”, atau yang semacamnya. Lagi pula, tepuk tangan untuk penyanyi mengurangi keagungan dan pujian bagi Tuhan itu sendiri.
Sejarah Tepuk Tangan?
Sebenarnya sulit untuk memastikan asal usul tepuk tangan. Ada yang menyebutkan kalau tepuk tangan sebagai simbol pujian telah ada sekitar Zaman Pertengahan. Sejak awal memang praktik ini dilakukan bertepatan dengan kedatangan penampilan umum, biasanya orkes keliling di alun-alun.
Ada yang mengatakan kalau masyarakat melakukan tepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan sebagaimana perintah Injil: “Bertepuktanganlah dengan gembira, hai segala bangsa! Pujilah Allah dengan sorak-sorai!” (Psalms 47: 1) Beberapa pendapat juga meyakini kalau tepuk tangan terinspirasi oleh instrumen perkusi yang digunakan pada upacara umum zaman dahulu (Mesir Kuno).
Ada juga yang mengatakan tepuk tangan memang insting sejak bayi. Tapi Yvette Blanchard, peneliti di Universitas Hartford, mengatakan bahwa manusia bertepuk tangan karena “dibuat”, bukan dari lahir. “Saya pikir itu perilaku yang sebenarnya dipelajari. Saya lihat bayi itu melakukannya dengan spontan, karena gembira, dengan menggenggam tangannya bersamaan. Tapi gerakan tepuk tangan itu dipelajari.”
Di beberapa kebudayaan, tepuk tangan tidak selamanya dihubungkan dengan pujian. Di Tibet, tepuk tangan dilakukan untuk mengusir roh jahat. Sedangkan di kebudayaan lain menghentakkan kaki dianggap sebagai respon yang tepat (pujian) setelah penampilan terbaik seseorang. Sedangkan Roma Kuno menunjukkan tanda setuju atas penampilan publik dengan menjentikkan jari.
Terus Gimana?
Ya tidak harus gimana-gimana. Orang seperti Willard Paul di atas saja mengerti bahwa tepuk tangan di gereja (minimal) tidak tepat. Apalagi di dalam masjid? Saya ingat ketika Sulis (penyanyi didikan Haddad Alwi) bernyanyi selawat di dalam masjid, yang hadir juga malah tepuk tangan. Jika Paul menganjurkan “amin”, maka sebaiknya kita bertakbir atau selawat sebagai ganti dari tepuk tangan!
Fatwa Ayatullah Ali Khamenei dalam Ajwibah Al-Istifta’at.
TANYA:
Apa hukum tepuk tangan yang beriringan dengan suka cita, pembacaan nasyid dan selawat dalam perayaan-perayaan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran para imam maksum, hari besar persatuan, hari peringatan diutusnya Nabi saw.? Apa hukumnya, jika perayaan-perayaan itu diadakan di tempat-tempat ibadah seperti masjid, musala, kantor-kantor dan lembaga negara atau husainiah?JAWAB:
Secara umum bertepuk tangan, pada dasarnya, diperbolehkan, bila dilakukan dengan cara yang lumrah dalam pesta-pesta perayaan, atau sebagai dukungan, support, dan sebagainya. Namun akan menjadi lebih baik, bila suasana majelis keagamaan diharumkan dengan selawat dan takbir, terutama dalam acara-acara yang diselenggarakan di masjid, husainiah, dan tempat-tempat ibadah, demi memperoleh pahala selawat dan takbir.
saya mau bertanya, kenapa kita sebaiknya tidak tepuk tangan di masjid? apa ada hadis yang memberi keterangan tentang tepuk tangan?
terima kasih 🙂
Lho? Justru pertanyaan saya “Kenapa tepuk tangan di masjid?” (notabene tempat ibadah) malah dibalikkin 😀
“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal: 35).
“Tidaklah shalat mereka (orang Jahiliyah) di sisi Ka’bah melainkan dengan ‘muka-an’ dan ’tashdiyatan’.” (QS. Al Anfal : 35)
Syaikh Abdurrahman As Si’di menuturkan, “Yang dimaksud ‘muka-an’ dan’tashdiyatan’ pada ayat ini ialah bersiul dan bertepuk tangan…” (Tafsir Karimir Rahman, Syaikh Abdurrahman As-Si’di)…
maka meninggalkan tepuk tangan lebih utama dan lebih baik (karena itu kebiasaan orang jahiliyah)
Segala sesuatu berasal dari Allah maka akan lebih baik jika melihat sesuatu yg patut dipuji alangkah baiknya memuji Asma Allah
syiah suka tepuk tangan ya bib?
Berpikir sebelum bertanya itu setengah ilmu.
Wah, trims buat infonya mas. Saya jadi ngerti kenapa di sekolah ana ndak boleh tepuk tangan kl lg di mesjid….
terimakasih atas infonya ya.