Oleh: Haneen
“Saya lelah!”
“Lelah kenapa?”
“Semua orang menilai saya.”
“Siapa?”
“Perempuan itu. Setiap kali saya duduk dengannya, dia mengatakan kepadaku untuk pakai jilbab.”
“Oh, jilbab dan musik! Semua orang bicarakan itu!”
“Ya! Saya mendengar musik tanpa jilbab, haha!”
“Mungkin dia cuma memberimu nasihat.”
“Saya tidak butuh nasihatnya. Saya tahu agama saya. Memangnya dia tidak bisa memikirkan urusannya sendiri?”
“Mungkin kamu salah paham. Dia hanya mencoba untuk menjadi baik.”
“Menjauh dari urusan saya, itu baru baik…”
“Tapi itu juga tugasnya untuk menganjurkan kamu berbuat baik.”
“Percayalah. Itu bukan anjuran, lagi pula apa maksudmu ‘baik’?”
“Ya, memakai jilbab. Itu hal baik yang dilakukan.”
“Kata siapa?”
“Alquran, ya ‘kan?”
“Iya sih. Dia mengutip beberapa ayat untuk saya. Dia bilang Surah Nur dan beberapa ayat lain di Quran. Tapi itu kan bukan dosa besar. Menolong orang lain dan salat itu lebih penting.”
“Benar, tapi hal besar dimulai dari hal kecil.”
“Itu dia poin utamanya. Tapi apa yang kamu pakai itu tidak penting, yang penting adalah hati yang baik.”
“Yang kamu pakai tidak penting?”
“Ya.”
“Terus kenapa setiap pagi buang-buang waktu untuk dandan?”
“Maksud kamu?”
“Kamu buang-buang uang buat kosmetik, belum lagi sepanjang waktu merapikan rambut dan juga diet.”
“Jadi?”
“Jadi, penampilan kamu itu penting.”
“Bukan itu, yang saya bilang memakai jilbab itu bukan hal penting dalam agama.”
“Kalau tidak penting dalam agama, kenapa disebutkan dalam Alquran?”
“Kamu tahulah, saya tidak bisa mengikuti semua yang ada dalam Alquran.”
“Maksud kamu Tuhan mengatakan padamu untuk melakukan sesuatu, kemudian kamu tolak terus tidak terjadi apa-apa?”
“Iya. Tuhan akan memaafkan.”
“Tuhan akan memaafkan kepada mereka yang tobat dan tidak mengulangi kesalahan.”
“Kata siapa?
“Kata kitab yang memerintahkan untuk menutup dengan jilbab.”
“Tapi saya tidak suka jilbab. Jilbab membatasi kebebasan saya.”
“Tapi losion, lipstik, maskara, dan kosmetika lainnya membuat kamu bebas?! Apa definisi kamu tentang kebebasan?”
“Kebebasan itu melakukan apa saja yang kamu suka.”
“Bukan itu. Kebebasan adalah melakukan hal yang benar, bukan melakukan apa saja yang kamu mau.”
“Coba lihat! Saya sudah melihat banyak orang yang tidak memakai jilbab dan mereka orang-orang baik, dan banyak yang pakai jilbab tapi orang-orang jahat.”
“Terus kenapa? Banyak orang yang berbuat baik kepada kamu tapi pecandu alkohol. Apa kita harus jadi pecandu alkohol juga? Itu alasan yang bodoh.”
“Saya tidak mau menjadi orang ekstrimis atau fanatik. Saya baik-baik saja dengan cara saya tanpa jilbab.”
“Berarti kamu fanatik sekuler, lagi pula ekstrimis itu orang yang tidak taat pada Tuhan.”
“Kamu belum paham, kalau saya pakai jilbab, siapa yang akan menikahi saya?”
“Jadi orang-orang yang pakai jilbab tidak pernah menikah?!”
“Oke! Bagaimana kalau saya menikah tapi suami saya tidak suka? Dia ingin saya melepas jilbab?”
“Bagaimana kalau suami meminta kamu untuk menemaninya merampok bank?”
“Tidak relevan, merampok bank itu kejahatan.”
“Tidak taat kepada Pencipta itu bukan kejahatan?”
“Terus siapa yang akan mempekerjakan saya?”
“Sebuah perusahaan yang menghormati orang-orang apa adanya.”
“Tapi tidak ada setelah (peristiwa) 11 September.”
“Ada meskipun setelah 11 September. Kamu tahu tentang Hanan yang baru masuk sekolah? Satu lagi, siapa namanya, perempuan yang selalu pakai jilbab putih?”
“Ummm, Yasmeen?”
“Ya, Yasmeen. Dia baru saja menyelesaikan gelar MBA dan sekarang interning di GE.”
“Tapi kenapa kamu mereduksi agama pada selembar kain?”
“Kenapa kamu mereduksi nilai kewanitaan hanya pada sepatu hak tinggi dan warna lipstik?”
“Kamu tidak menjawab pertanyaan saya.”
“Faktanya saya menjawab. Jilbab bukan sekedar selembar kain. Inilah bukti ketaatan pada Tuhan dalam lingkungan yang sulit. Inilah keberanian, iman dalam praktik, dan kewanitaan sejati. Tapi baju lengan pendek, celana ketat??”
“Itu namanya fashion, kamu tinggal di gua atau apa? Pertama-tama, jilbab ditemukan oleh pria yang ingin menguasai wanita.”
“Oh ya? Saya tidak tahu kalau pria bisa menguasai wanita dengan jilbab.”
“Ya, itulah yang sebenarnya.”
“Bagaimana dengan wanita yang berjuang melawan suaminya untuk memakai jilbab? Para wanita di Perancis yang dipaksa untuk melepas jilbab mereka oleh para pria? Bagaimana menurut kamu tentang mereka?”
“Yah, itu beda.”
“Apa bedanya? Wanita yang meminta kamu untuk memakai jilbab, dia juga wanita ‘kan?
“Ya, tapi…”
“Tapi fashion yang didesain dan dipromosikan oleh perusahaan yang didominasi pria, membuat kamu bebas? Pria tidak punya kuasa untuk membuka wanita dan menjadikan mereka sebagai komoditas?! Kasih saya alasan!”
“Tunggu, biar aku selesaikan, saya mengatakan…”
“Mengatakan apa? Kamu mengira pria mengontrol wanita dengan jilbab?”
“Ya.”
“Jelaskan.”
“Dengan mengatakan kepada wanita bagaimana dan apa yang harus dipakai!”
“Bukannya TV, majalah dan film mengatakan kepada kamu apa yang harus dipakai, dan bagaimana menjadi ‘menarik’?”
“Tentu saja, itulah fashion.”
“Itu tidak mengontrol? Menekan kamu untuk memakai apa yang mereka ingin untuk kamu pakai?”
…
“Tidak cuma mengontrol kamu, tapi juga mengontrol pasar.”
“Apa maksudmu?”
“Apa yang saya maksud, pria yang mendesain majalah dan menjual produk meminta kamu untuk tampil kurus dan nirselera seperti wanita yang ada di cover majalah.”
“Saya tidak paham. Apa hubungannya jilbab dengan produk? ”
“Jilbab punya segalanya untuk dilakukan. Kamu tahu? Jilbab adalah musuh bagi konsumerisme, wanita mengeluarkan jutaan rupiah agar terlihat kurus dan hidup berdasarkan standar fashion yang dirancang oleh pria. Kemudian inilah Islam, mengatakan buanglah semua omong kosong itu dan fokuslah pada jiwamu, bukan sekedar penampilan, dan jangan pikirkan tentang yang pria pikirkan soal penampilanmu.”
“Seperti… saya tidak perlu beli jilbab? Bukankah hijab sebuah produk?”
“Ya. Ini sebuah produk yang membuat kamu bebas dari konsumerisme yang didominasi kaum pria.”
“Berhenti menceramahi saya! SAYA TIDAK AKAN MEMAKAI JILBAB! Aneh, kuno, dan tidak cocok untuk masyarakat sini… Lagipula, saya baru 20 tahun dan terlalu muda untuk memakai jilbab!”
“Baiklah. Katakan itu kepada Tuhanmu, ketika kamu menghadap-Nya di Hari Pengadilan.”
“Oke!”
“Oke.”
…
“Tutup mulut dan saya tidak mau mendengar lagi tentang jilbab!”
…
Dia memandangi cermin, lelah atas argumennya sendiri selama ini. Cukup berhasil, dia berusaha untuk membuang suara di pikirannya, dengan kemenangan opininya sendiri. Sebuah keputusan final modernitas diterima oleh masyarakat, namun ditolak oleh keimanan: Ya untuk mengeritingkan rambut, tidak untuk jilbab!
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91: 10)
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010
ajib blog-e ja, good work!
nice Li….w suka cara ente menyampaikan apa yang menurut agama itu benar!
bagus juga novelnya,..
Bukan novel kok…
hidayah memang suatu keajaiban
THIS is a good argument, bisa di elaborasi lebih panjang dan agar lebih mengena………. Karena saya pernah mengalami diskusi ini sendiri demi pembenaran saya tidak pakai jilbab……… Eja, tante salut sama kamu, hebat, I love you, teruskan perjuanganmu nak……….be the one who creates (like what Allah did to us since He is the Creator), we too have the same ability……… salam wa rahmah, shalawat……
Siap tante! Doanya jangan putus (ngarep)
Salamunalaik wa shalawatullah ‘ala Sayyidina Muhammad wa aali Sayyidina Muhammad
Orang kalau belum dapat hidyah dari allah dan tidak mau berusaha mnecari kebenaran, dengan tetap memperturutkan hawa nafsunya ketimbang agamanya, kalau di nasihati bagaikan orang menulis di atas air, itulah yang dinamakan sudah terjangkit dengan penyakit al-wahn= cinta dunia dan takut kematian, dan dia tidak meyakini bahwasanya setelaha hari kematian akan ada hari perhitungan yang akan di minta pertanggungjawaban . apa yang telah dilakukan oleh kita, semua mulut akan di tutup, dan anggota tubuh lainya yang akan berbicara , membongkar kedustaan kita dan penginkaran kita kepada maha dzat yang mengetahui yaitu Allah Aza Wazala