Dalam sebuah riwayat mutawatir dari Rasulullah saw., diriwayatkan, “Sungguh, aku tinggalkan kepada kalian dua hal berat (ats-tsaqalain): kitabullah dan keluargaku, ahlulbaitku, yang keduanya tidak akan pernah terpisah hingga bertemu di telaga [Al-Kautsar pada Hari Pengadilan].” Pesan dari Alquran yang Nabi Muhammad bicarakan dibawa, disebarkan, dan ditegakkan oleh para imam as., yang merekalah nabi sebut sebagai itrah (keluarga).
Di antara para imam kita yang seluruhnya adalah pahlawan pemberani, kita melihat dengan jelas sebuah ilustrasi perilaku ketaatan dan ketundukan kepada Kitab sebagai saksi dalam karakteristik imam ketiga, Husain putra Amirulmukminin Ali. Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad, makhluk Allah paling mulia, diriwayatkan bersabda, “Husain dariku dan aku dari Husain.” Imam Husain menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim dan mukmin sepanjang hidupnya, dan ia mengikuti jejak langkah kakeknya, Rasulullah, sebagaimana hal itu juga diperintahkan kepada kita dalam beberapa ayat Quran.
Syekh Al-Mufid mengutip dalam Kitâb Al-Irsyâd sebuah surat yang Imam Husain tulis kepada rakyat Kufah sebelum beliau menerima undangan dan berjalan menuju Kufah; beliau menjelaskan dan memperkenalkan kewajibannya sebagai seorang imam. Di akhir surat itu Imam Husain menyatakan, “Jika ia (Muslim bin Aqil) menulis kepadaku bahwa masyarakat serta orang-orang bijak dan terkemuka kalian bersuara bulat, seperti disebutkan para utusan dan isi surat kalian, maka aku akan datang secepatnya, insya Allah. Demi nyawaku, apa artinya seorang imam kecuali ia menghakimi berlandaskan Alquran, penegak keadilan, menyatakan agama kebenaran, dan yang membaktikan dirinya kepada Zat Allah.”
Imam Husain menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang Imam demi keridaan Allah, dan sebagai hasilnya pada hari ini, umat muslim seluruh dunia—di Nigeria, Iran, Inggris, Amerika Serikat, Indonesia, Australia, Kolombia, dan negara lain yang tak terhitung, umat muslim seluruh dunia baik di desa terpencil maupun di kota besar—bersedih dan mengenang hari tragedi Asyura yang menandakan kesyahidan Imam Husain beserta para sahabat dan keluarganya.
Pengaruh Asyura
Elemen inti dari kemampuan seseorang untuk menggapai kedekatan dengan Tuhan merupakan hal unik dan paling kuat yang dimiliki manusia ialah hati. Apa yang seseorang rasakan ketika mendengar atau melihat tragedi yang terjadi di dunia saat ini? Kita melihat banyak orang yang bergabung dengan kelompok tertentu ketika mereka merasakan sesuati hal tragis terjadi pada orang lain, baik itu insiden seperti Columbine High, 11 September, Badai Katrina, atau sejumlah wanita dan anak-anak yang terbunuh di Palestina atau Irak.
Seberapa sedih perasaan hati seseorang ketika datang kabar tentang kematian saudara atau anggota keluarga? Seberapa sedih dan perih hati seseorang dalam menunjukkan perasaan ketika tahu bahwa kematian anggota keluarganya akibat peristiwa tragis atau bencana? Ketika saya memikirkan hari Asyura dan tragedi yang terjadi di sana, muncullah kesedihan yang tiada bandingnya, dan tragedinya itu sendiri benar-benar tak tertandingi.
Benar-benar sulit untuk membayangkan keluarga suci Nabi Muhammad di gurun Karbala yang sangat panas, tidak diizinkan untuk merasakan air. Bagaimana mungkin seseorang tidak memberikan setetes air pada gadis kecil bernama Sukainah atau bahkan bayi berusia enam bulan seperti Ali Akbar, ketika tenggorokan mereka menderita akibat kehausan.
Saya begitu terkejut begitu tahu ada 72 pasukan yang bertarung dengan gagah dan berani demi Islam tapi jumlah yang sedikit itu dibunuh oleh individu-individu yang mendukung kezaliman dan tirani. Saya menangis begitu sadar bahwa yang dibunuh bukanlah orang kafir, melainkan muslim. Orang yang mengaku sebagai muslim dan mukmin berani membunuh muslim dan mukmin sejati, seperti Ali Akbar yang tampil untuk membela Imam Husain. Muslim jenis apa yang berani melawan Abu Abdillah (Imam Husain) dan menumpahkan darah terhormat Sayyidusy Syuhada di medan Karbala? Manusia jenis apa yang berani memotong dan memenggal kepala suci cucu Penutup Para Nabi, Muhammad, kemudian menginjak-injak dan menghancurkan tubuhnya di gurun Karbala?
Bagi saya, untuk mengatakan bahwa saya bersedih, berduka, sakit hati, dan haru mendalam hanya akan mengecilkan persoalan. Bagi saya melihat kejadian ini hanya sebuah tragedi akan menjadi tidak adil dan tidak wajar. Peristiwa ini lebih buruk dari sekedar kemalangan, pembunuhan masal, pembantaian masal, atau penyembelihan. Hal tersebut jika terjadi pada hari ini begitu mahadahsyat hingga diriwayatkan bahwa langit menjadi hitam pada hari Asyura, dan bumi membuat orang takut bahwa Hari Kiamat dan Kebangkitan akan dimulai. Tentu saja bagi banyak orang ketika hari itu datang, akan menjadi Hari Penyesalan. Langit dan Bumi beserta malaikat menangis pada hari Asyura. Tentu umat muslim dan mukmin seluruh dunia mulai hari itu [hingga seterusnya] akan menangis dan bersedih pada hari Asyura.
Inilah inspirasi saya untuk meneriakkan “Ya Husain!” dan menangis serta mengenang tragedi ini. Sekarang saya paham mengapa Nabi menangis ketika Imam Husain masih kecil. Beliau melihatnya dan menangis. Bunda Fatimah bertanya pada Nabi, “Wahai ayah, mengapa engkau menangis?” Beliau yang sedih menjawab, “Karena suatu hari ia akan wafat dan tidak ada yang menguburkan jenazah cucuku.”
Imam Kita, Tugas Kita Hari Ini
Tentu, zaman mengubah jalan hidup kita. Kita semua setuju bahwa masyarakat dan orang-orang telah berubah dalam banyak aspek kehidupan sejak masa Nabi Muhammad hingga hari ini kita hidup. Beberapa orang percaya dengan perasaan was-was bahwa Islam bukanlah agama modern atau tidak sesuai dengan zaman modern. Beberapa orang juga punya perasaan yang sama tentang peringatan Asyura dan Karbala. Orang-orang ini mengira bahwa peristiwa Karbala tidak punya hubungan atau pengaruh pada kita pada hari ini.
Salah satu sifat Allah Azza wa Jalla ialah bahwa Dia adalah Adil. Akan berada di luar keadilan Allah untuk menempatkan manusia di bumi dengan kehendak bebas dan tanpa petunjuk atau aturan untuk mengenali apa yang benar dan salah. Inliah mengapa Alquranul Karim merupakan panduan kekal bagi umat manusia (QS. 2:2), dan inilah sebabnya Allah menurunkan Alquran kepada Nabi untuk mengajarkan dan menyebarkan risalah sempurna Islam. Allah juga menggunakan para imam sebagai petunjuk bagi manusia setelah Nabi Terakhir.
Hari ini di masa ketidakhadiran imam zaman kita, Imam Mahdi (semoga Allah mempercepat kehadirannya), kita masih punya banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengimplementasikan risalah Islam. Risalah inilah yang Imam Husain korbankan jiwanya untuk dibawa. Kita punya banyak cara yang dipengaruhi oleh peristiwa Asyura dan Karbala.
Sungguh ironis bahwa sejarah sering kali berulang, karena akan ada beberapa kejadian serupa antara kondisi Imam Husain dan Imam Mahdi.
Ketika Imam Mahdi datang, seperti Imam Husain, ia juga akan ditinggalkan oleh banyak orang, bahkan sebagian dari mereka yang disebut pengikutnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadis dalam Mizanul Hikmah bahwa ketika Imam Mahdi memulai kebangkitannya, beberapa orang yang tahu bahwa dirinya bagian dari keluarnya akan meninggalkan Imam Mahdi, dan beberapa orang yang biasa menyembah matahari dan bintang akan bergabung dan mengikutinya. Kita bisa melihat bagaimana di medan Karbala banyak orang yang mengaku diri mereka pengikut Islam tapi kenyataannya mereka berpura-pura dan munafik—sama seperti mereka yang mengkhianati Quran dan keluarga suci Nabi Muhammad.
Pasukan Imam Mahdi akan sedikit. Dalam sebuah riwayat dari Imam Muhammad Al-Baqir as., dinyatakan bahwa beliau akan memiliki 313 pengikut dekat. Imam Husain diriwayatkan hanya memiliki 72 pasukan.
Segi kesamaan lain adalah kesabaran kedua imam ini. Imam Husain menunggu hingga akhir gencatan senjata Imam Hasan dan Muawiah sebelum ia memulai untuk membuka undangannya kepada Islam sejati dan Jalan yang Benar. Imam Husain dengan sabar menunggu kesiapan dan keinginan masyarakat dan dukungan mereka—atau klaim untuk mendukung. Imam Mahdi masih menunggu. Para ulama telah diberi kabar gembira dan tahu bahwa kita sedang mendekati akhir zaman. Karenanya, setiap muslim dan pengikut dan pencinta Ahlulbait, lebih dari sebelumnya, terlepas dari ras, warna kulit, warga negara atau kebangsaan, menjadi terpengaruh, dan karena itu setiap muslim harus menyiapkan diri untuk kedatangan Imam Zaman kita. Kenyataannya Imam Mahdi tidak sekedar menunggu dan memutar jari-jarinya. Imam Mahdi menunggu kita, bukan sebagai individu, tapi sebagai satu umat, satu bangsa muslim untuk datang bersama dalam kesamaan untuk keridaan Allah dan demi Islam.
Hal ini dimulai dengan praktik tujuan. Saya harus rela memilih untuk menerapkan pelajaran ini yang kita terima dari Imam Husain. Hal ini berarti bahwa saya harus rela memutuskan bahwa saya ingin meningkatkan imam saya untuk menjadi berani seperti Pemimpin Para Syuhada, Imam Husain. Saya harus membangkitkan standar saya sendiri, meningkatkan diri dari seorang muslim menjadi seorang mukmin dan mutaki (bertakwa).
Sebagaimana ungkap terkenal, “Setiap Hari adalah Asyura dan Setiap Tempat adalah Karbala.” Hal ini berarti bahwa Asyura bukanlah satu hari di mana kita bersedih untuk Imam Husain dan keluarga beserta sahabatnya; namun, inilah sebuah hari di mana kita harus mengingat setiap harinya sepanjang tahun. Jika saya benar-benar terpengaruh dan tersentuh oleh peristiwa ini, maka saya harus berusaha untuk tidak melupakannya. Sayangnya banyak dari kita yang bersedih bagi Imam Husain hanya pada sepuluh hari pertama bulan Muharam atau pada hari tragis Asyura atau hanya pada saat Arbain. Kita tidak selalu berusaha untuk mengingat bahwa kita juga punya tugas untuk menyiapkan kehadiran Imam Zaman.
Sebagaimana firman Allah dalam Alquran, Ia tidak akan mengubah kondisi suatu masyarakat hingga mereka mengubah apa yang ada di hati mereka (13: 11).
Catatan: Syekh Husayn El-Mekki Abdullah Aziz lahir di Amerika Serikat. Pindah di usia muda bersama orang tuanya ke Iran, ia mempelajari fikih Islam, filsafat, dan tasawuf (irfan). Saat ini ia menjadi penceramah di antara pemuda di beberapa komunitas Syiah wilayah Amerika Utara.
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010