Jika berbicara tentang mazhab sebagai salah satu faktor perpecahan, pertama patut dijelaskan mengenai makna mazhab sesungguhnya dan pada tingkat mana ia dapat menjadi penyebab perpecahan. Mazhab berbeda dengan agama (din). Ketika dikatakan agama Islam artinya adalah sekumpulan kepercayaan dan aturan yang ada di dalam Alquran dan sunah yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Tetapi mazhab adalah sebuah jalan yang muncul di antara umat muslim sebagai cara untuk membawa kejernihan agama. Setelah itu, perlu juga diketahui tiga kategori mazhab yang menerangkan tiga dimensi agama Islam:
- Dimensi keyakinan dan bentuk mazhab teologi seperti Asyari, muktazilah, Syiah, dan lain-lain sebagai fondasi keimanan. Pengikut sebuah mazhab mempertahankan keyakinannya bahwa jalan menuju agama sejati adalah jalan yang mereka lalui dan semua sepakat bahwa jalan mazhab berbeda dengan jalan agama.
- Dimensi praktis dan fikih (hukum agama).
- Dimensi akhlak dan irfan (sufistik).
Biasanya, ketika berbicara mengenai perselisihan pendapat di antara mazhab, dimensi kedua (perbedaan fikih) muncul ke permukaan. Sekte-sekte ini berhubungan dengan empat mazhab suni utama dan dua atau tiga mazhab Syiah, termasuk di dalamnya mazhab yang kurang popular di antara kedua kelompok.
Inilah bukti bahwa dalam banyak hal, mazhab-mazhab di atas saling berhadapan dengan lawan teologi mereka dan dalam beberapa hal mereka saling memiliki perbedaan. Sebagai contoh, mazhab Syiah memiliki independensi dalam dimensi keimanan dan fikih dan masing-masing adalah akibat wajar yang dibutuhkan bagi yang lain. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi mazhab suni, di mana mungkin saja seseorang bermazhab fikih Syafii namun bermazhab teologi muktazilah atau Asyariah.
Beberapa Sudut Pandang Asal Usul Mazhab
Perbedaan sudut pandang tentang asal-usul mazhab ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:
Kelompok pertama adalah kelompok salafi atau mereka yang menjaga kesetiaan pada salaf saleh dan percaya bahwa asal-usul mazhab dalam Islam adalah bidah (buatan). Pemimpin kelompok ini adalah [para pengikut] Wahabi. Salah seorang pemimpin mereka bernama Syekh Nasiruddin Albani menulis sebuah buku tentang berbagai bidah yang muncul, bahkan di dalam mazhab ahlusunah sendiri. Ia menyatakan berbagai pendapat yang tidak sesuai dengan seleranya sebagai bidah.
Mereka percaya bahwa Islam saat ini haruslah sama dengan Islam pada masa nabi saw., sahabat dan salaf saleh, di mana belum ada mazhab, tarekat, atau perbedaan yang muncul. Segala hal yang muncul setelah masa itu adalah bidah.
Kelompok kedua memegang keyakinan bahwa perkembangan mazhab-mazhab yang ada saat ini sebagai sebuah kejadian positif. Namun kelompok ini juga membuat kekeliruan karena mereka secara khusus menempatkan mazhab dalam posisi agama; memaksakan bahwa siapapun yang menentang akar dan ranting-ranting mazhabnya berarti menentang agama.
Pandangan kelompok kedua ini berlawanan langsung dengan kelompok pertama. Sudut pandang kelompok pertama menyatakan bahwa seharusnya tidak ada mazhab karena ia merupakan bidah, sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa “mazhab saya” dijadikan ukuran agama dan siapapun yang tidak setuju dengan “mazhab saya” berarti tidak setuju dengan [agama] Islam.
Dari dua pendapat di atas, mana yang seharusnya kita setujui? Manakah yang mewakili kebenaran?
Kita tidak bisa mengambil pandangan (pertama) yang mengatakan bahwa mazhab bertentangan dengan sifat dasar Islam. Alquran sendiri menyatakan, “Maka apakah mereka tidak mentadaburi Alquran…?” (QS. 47: 24) dan “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…” (QS. 9: 122)
Tujuan utama Alquran adalah untuk mengajak pembacanya berpikir, mengerti (fahm), dan memahami secara mendalam (fiqh). Bukankah dalam pengertian umum, tafaqquh (menjadi paham) dalam dimensi keyakinan, praktik, dan akhlak sangat membutuhkan pemikiran, deduksi (istinbat [kesimpulan hukum]), dan ijtihad (usaha intelektual untuk memperoleh kesimpulan hukum)?
Tentu saja dapat dikatakan bahwa Islam itu sendiri yang memiliki fondasi ijtihad dan pembentukan opini (pendapat) seseorang. Karena itu Islam harus membolehkan bagi perbedaan pendapat pada tingkat yang masuk akal. Karena tidak mungkin bagi Alquran untuk hanya berada di satu tangan dan memerintahkan kita untuk tafaqquh dalam agama, tapi di sisi lain dalam banyak persoalan yang timbul dikatakan, “Hanya ini dan tidak ada yang lain!”
Ulama dari semua mazhab percaya bahwa dalam isu-isu fundamental (dharurî) tidak ada ruang untuk ijtihad dan taklid. Tetapi, hal-hal fundamental itu dapat menjadi dan digunakan sebagai basis untuk ijtihad dalam isu-isu nonfundamental. Di sini penting untuk diingatkan bahwa isu-isu dalam Islam memiliki tiga bidang beserta tiga kategorinya. Satu kategori terdiri dari isu-isu fundamental, isu yang sama termasuk bidang fikih, akhlak, dan keyakinan yang pada masa nabi dan salaf saleh ada secara umum, tapi saat itu belum ada pengawasan cermat dan studi. Sebagai contoh, tidak pernah timbul pertanyaan, apakah firman Tuhan itu tidak diciptakan dan kekal (qadim) atau diciptakan dan baru (hadits)? Apakah sifat-sifat Ilahi terpisah atau serupa dengan zat-zat Ilahi? Pertanyaan seperti itu bahkan tidak pernah diajukan. Semua itu telah dibicarakan bahwa Tuhan yang Esa telah dijelaskan dengan segala sifatnya yang telah disebutkan di dalam Alquran.
Akan tetapi, karena perkembangan ilmu-ilmu Islam dan pertanyaan seperti itu muncul di dunia Islam, apa yang seharusnya dilakukan? Apakah benar dengan mengatakan bahwa seharusnya tidak ada diskusi semacam itu sama sekali?
Akibat pembatasan diskusi semacam itu, semua warisan keislaman dalam segala bidangnya akan tertinggal. Hal itu berarti bahwa perluasan fikih mazhab-mazhab harus dihapus, karena di masa-masa awal sejarah Islam tidak ada fikih; hanya ada Quran dan sunah. Dalam bidang teologi juga demikian, seluruh penelitian dari berbagai mazhab harus dimusnahkan, karena terlalu sering bermunculan. Hal yang sama juga harus dilakukan dalam bidang akhlak.
Jika ulama terdahulu dunia Islam juga mempertimbangkan bahwa segala pemikiran dan metodologi yang baru sebagai bidah, apa yang diharapkan dari seseorang seperti Al-Ghazali yang datang sekitar akhir abad kelima dan menghasilkan buku-buku dalam seluruh keilmuan Islam seperti fikih, usul, teologi, dan akhlak? Atau akankah mungkin bagi seseorang seperti Syekh Thusi untuk muncul di abad yang sama? Atau akankah Ibnu Taimiah dan muridnya Ibnu Qayyim, pendiri pemikiran salafi, bangkit di abad kedelapan? Bukankah mereka menggunakan ilmu pengetahuan abad sebelumnya dalam menyusun dan menuliskan pandangannya?
Kecacatan dalam pandangan tersebut sangatlah jelas. Islam sendiri telah mendorong ijtihad, pemikiran, dan perenungan [dalam kandungan ayat]: a falâ ta’qilûn (tidakkah kalian menggunakan akal?) dan a falâ tatafakkarûn (tidakkah kalian memikirkannya?) dan pasti orang-orang dibolehkan untuk memikirkan berbagai macam masalah. Tentu saja ada syarat-syarat tentang bagaimana proses menghasilkan pendapat [fatwa] yang dijelaskan di tempat lain. Kita harus sadar bahwa Tuhan selalu hadir dan menyaksikan ketika kita mengeluarkan pendapat.
Ijtihad haruslah eksis, dan keberadaannya mengharuskan perbedaan jalan dan kecenderungan [berbeda]; semuanya adalah rahmat (dari Allah). Tentu saja seharusnya perbedaan mazhab tidak digunakan untuk tujuan-tujuan politik, seperti yang sayangnya telah terjadi. Perbedaan diperlukan untuk mencapai kebenaran, dan sebelum kita sampai pada kebenaran ini, perbedaan akan eksis dan baik. Hanya perbedaan seperti itulah yang ada bahkan setelah kebenaran menjadi jelas:
…setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata… (QS. Albaqarah: 213)
Perbedaan di dalam dan [yang berasal] dari diri mereka bukanlah penyebab perselisihan. Tidak akan berakhir perbedaan pendapat dalam dunia ilmiah, dalam sebuah displin seperti fisika, kimia, dan medis. Lalu kenapa perbedaan pendapat dalam fikih, kalam, dan ilmu keislaman lainnya bermasalah? Perbedaan semacam ini seharusnya tidak menjadi penyebab perselisihan, kebencian, dan pertumpahan darah! Hal seperti itu hanya akan muncul ketika kekuatan politik berlawanan dengan satu pendapat dan menjadikannya sebagai bagian untuk meningkatkan strategi politik mereka sendiri.
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010
Sumber: Khorasani, Mohammad Vaez-zadeh. “Fundamental Causes of Disunity”. Al-Taqrib: A Journal of Islamic Unity. Nomor 4. Musim Dingin 2009.
1. FANATISME mazhab, dilakukan semua orang (termasuk admin..ya?. buktinya disatu sisi ingin Mendahulukan Islam di atas mazhab, tapi disaat yang bersamaan sudah klaim “Mazhab Kami Benar Mengandung Kesalahan dan Mazhab Selain Kami Salah Mengandung Kebenaran”)… afwan.
2. Banyak jalan/mazhab mestinya makin gampang mencapai tujuan..
yang enak nampaknya pake jalan yg gampang2 tapi rajih.. (tapi akan muncul bingung lagi “rajih bgmana-versi siapa???)
3. Ane tunggu juga Kupas tulisan tentang sinkretisme mazhab..
1. Saya tidak tahu apa ada fanatisme dalam arti positif, karena selama ini image-nya negatif; tapi yang jelas memiliki keyakinan kuat atas apa yg diyakini adalah mutlak. Menjadi fanatik ketika pengikutnya saling menyalahkan, menyesatkan,…
Dahulukan Islam di Atas Mazhab bukan merupakan makna posisi hakiki atas-bawah. “Dahulukan” bermakna utamakan; mengutamakan (persamaan) Islam menghindari perpecahan mazhab dengan cara saling mengenal.
Mengenal mazhab-mazhab yang ada dalam Islam bisa jadi salah satu cara mempersatukan (umat)nya. Masing-masing (dari sisi mazhab furuk) memiliki kelemahan tapi juga ‘kebaikan’ [dalam bentuk persamaan] yang bisa dipertimbangkan. Kira-kira itulah mengapa kalimat “مذهبنا صواب يحتمل الخطأ و مذهب غيرنا خطأ يحتمل الصواب” yang diucapkan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Syafii [dgn redaksi sedikit berbeda] dipilih sebagai tagline blog ini (bukan ucapan saya).
2 dan 3. Maksudnya ganti-ganti atau pindah-pindah mazhab (talfiq) “yang enak” itu “seenaknya”? Bagi orang awam seperti saya, mengukur rajih atau tidak jelas tidak mudah. Hanya para ulama yg telah mendalami banyak ilmu Islam yg dapat menilai kuat atau tidak. Orang awam seperti saya lebih memilih taqlid.
Meski demikian ada beberapa ulama/ustaz(?) yang membolehkan talfiq atau pindah-pindah mazhab (karena memang mazhab bukan organisasi bawah tanah) [terbatas pada mazhab yang empat]. Wallahualam.
Sebenarnya (menurut saya) mazhab bukan ajang perpecahan, karena dalam sejarah perkembangan fikh sendiri terdapat nilai toleransi yang sangat besar di antara para Ulama-Ulama tersebut. Masalah nya sekarang bagaimana menyikapi keberadaan mazhab tersebut.
Dalam logika berpikir awam yang sayang miliki, saya sudah menulis tentang perlunya kita bermazhab. Coba check di “www.papyrusz.co.cc” dengan judul postingan “Perlukah kita bermazhab?”.
Karena sebenarnya perpecahan itu timbul ketika kita tidak lagi memiliki sikap toleransi, kalaupun ingin membantah pendapat orang lain, harus dengan cara yang benar. Dalam bentuk diskusi dan menjabarkan dalil-dalil yang sharih dan shahih untuk mendukung pendapat kita tersebut.
Insya Allah, dengan aturan seperti itu perpecahan tak akan terjadi.
Begitu juga dengan sikap dakwah yang seharusnya ditujukan kepada agama Islam dan bukan mazhab.
Yah otomatis dakwah agama Islam di Indonesia banyak pengaruh dari Yaman yang Syafi’i otomatis deh mayoritas memegang mazhab tsb….
janga terlalu menyudutkan mazhab wahabi juga mas, ada bainya juga kok. misalnya berdoa/berjiarah di makam dilarang bahkan di makam rosul skalipun tidak boleh terlalu tersendu2 atau sambil bersujud / mengambil tanah makam…
Mungkin saja niatnya baik, tapi kalau caranya salah…?
Bicara makam jadi pengen ziarah 😦
Intinya bukan sehebat apa manusia mampu berpikir karena sehebat apapun pemikiran manusia itu sangat terbatas oleh ruang dan waktu..
Kemampuan para imam mazhab juga terbatas dengan ruang dan waktu… Jadi bukan berarti ketetapan fikih para imam mazhab berlaku dalam setiap ruang dan waktu sampai hari kiamat.
Artinya di perlukan penelitian cara imam mazhab mengabil suatu hukum dalam situasi dan kondisi yang bagaimana.. Karena nabi sendiri pun selalu metepkan hukum melihat dari aituasi dan kondisi.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Qs.4:59.
Al-Quran tetap sebagai hukum tertinggi, kemudian sunnah, kemudian ijtihad.. Sedangkan ijma/kesepakatan hanya berlaku dalam dewan syuro ahlul hali wal aqdi (hari ini tidak ada).