Berbulan-bulan merencanakan “revolusi” blog akhirnya telah sampai pada waktunya. Satu hari sebelum berganti nama, seolah-olah kebetulan, sebuah komentar dari Bang Aziem mampir ke Buku Tamu. Apakah tulisan ini semacam respon? Saya tidak menganggapnya demikian, meski tidak dinafikan komentarnya menjadi pelecut apa yang ada di pikiran saya ini selama ini.
Menyinggung nama Dahulukan Islam di Atas Mazhab™, memang menjadi kritik tersendiri; tidak hanya dari seorang suni tapi juga dari kalangan pengikut Syiah. Mulai dari kritik mengenai posisi mazhab dalam agama Islam sampai dengan anggapan bahwa nama itu hanyalah semboyan untuk menarik perhatian.
Sebagaimana yang pernah saya tulis dalam komentar terdahulu, Dahulukan Islam di Atas Mazhab™ tidak bermakna bahwa kita harus melepaskan (atribut) mazhab apalagi memaksa orang berpindah mazhab. Karena melepaskan mazhab sebagai metode memahami Islam tidaklah mungkin. Bagi yang mengikuti beberapa tulisan di blog ini—dan bukan baru sekali berkunjung langsung komentar—akan mengerti bahwa pemaparan perbedaan mazhab ditujukan untuk saling mengenal. Karena apa? Karena Imam Ali mengatakan, “Manusia memusuhi apa yang tidak diketahuinya.”
Taqiyah
Saya tidak akan membahas mengenai dalil-dalil kebolehan taqiyah yang telah disahkan oleh ayat, hadis, dan rekaman sejarah serta disepakati oleh ulama suni maupun Syiah. Tapi kalau menganggap Gravatar saya yang satu ini sebagai bentuk taqiyah, sangatlah lucu.
Taqiyah bukanlah ritual, atau sikap pengecut, juga bukan metode gerakan bawah tanah. Ia adalah kebolehan untuk menampakkan apa yang tidak diyakini sedangkan hati tetap dalam keimanan atas apa yang diyakini. Jelas bahwa taqiyah bertolak belakang dengan munafik. Taqiyah berlaku sesuai dengan keadaan masing-masing mukalaf, karena hanya ia yang paham situasi yang mengancam nyawa.
Mirip dengan keringanan yang diperoleh mukalaf ketika menghadapi ancaman kematian akibat kelaparan, maka ia diperbolehkan untuk memakan apa yang haram sebatas menghilangkan darurat, namun hati tetap dalam keimanan. Keadaan yang “mengancam nyawa” ini membuat taqiyah (seharusnya) tidak berlaku dalam hal tulisan (kitab) apalagi sekedar foto Gravatar.
Pada level ini, ketika kita sedang menjelaskan sesuatu (mengenai Syiah) dan dianggap sebagai bentuk taqiyah, maka hentikan dialog dengannya. Hal itu hanya akan membuang energi dan waktu padahal ia akan tetap tidak percaya sembari menuduh kita taqiyah sehingga ia sebenarnya sedang menutup matanya sendiri.
Kebencian
Di sisi lain yang masih berdampingan, saya berulang kali mendapati orang-orang, yang sadar atau tidak, kebenciannya terhadap Syiah sudah mencapai tahap gawat. Gawat dan tidak masuk akal sehingga muncul istilah shiaphobia. Mungkin kebenciannya sudah masuk ke area tulang sum-sum atau usus. Mereka sebenarnya belum menjadi bukan nashibi, tapi seolah-olah mau dianggap dan menganggap dirinya sebagai nashibi. Mereka tidak akan pernah melihat sisi baik meskipun jelas ada di depan mata!
Saya terbuka untuk sekedar dialog, tapi untuk tipe shiaphobia saya sudah berusaha untuk menghindarinya apalagi debat. Ketika penjelasan panjang dan detail dianggap sebagai taqiyah, ketika seruan persatuan Islam dianggap sebagai semboyan menarik perhatian atau strategi merekrut penganut mazhab, maka saya memilih menghindarinya. Debat dengan yang seperti ini bisa masuk kategori hal yang dilarang oleh para imam ahlulbait as. karena hanya akan mengeraskan hati. Wallahualam.
Lho kok nama saya dibawa-bawa? 🙂
Sayyiduna Ali pernah berkata dlm Ghurar al-Hikam,
احذر الأحمق فإن الأحمق يرى نفسه محسنا، وإن كان مسيئا يرى عجره كيسا، وشره خيرا
‘Hati-hati dgn orang bodoh, karena ia menganggap dirinya pelaku kebaikan. Jika ia pelaku keburukan, maka ia menganggap kelemahan (akal)-nya sebagai kecerdasan, dan menganggap keburukannya sebagai kebaikan’.
Betul… betul… berdebat yg tdk karuan akan mengeraskan hati, menimbulkan prasangka, dan memecah persaudaraan.
Assalamualaikum wr.wb Eja 🙂 Minta pencerahan ttg taqiyah. Benarkan taqiyah 9/10 agama?