Bikini atau Jilbab: Mana yang Lebih Membebaskan?

Oleh: Krista Bremer, O, The Oprah Magazine

Sembilan tahun lalu, aku menari-nari bersama bayi yang baru lahir di ruang keluarga di daerah North Carolina. Mendengarkan musik “Free to Be… You and Me”, yang setiap liriknya bermuatan toleransi dan kesetaraan gender, karena saya tumbuh di daerah California. Suami saya yang kelahiran Libia, Ismail, duduk dengannya selama satu jam, menyanyikan lagu Arab, kemudian memberikannya kepada seorang syekh muslim yang berdoa lembut tentang kehidupan panjang di telinga.

Matanya espresso dan rambut hitam rimbun seperti ayahnya dengan kulit coklat-susu yang mudah menghitam di musim panas. Kami menamainya Aliya, yang berarti “ditinggikan” dalam bahasa Arab, dan sepakat akan membesarkan dia untuk memilih sendiri latar belakang kami yang sangat berbeda. Diam-diam aku puas dengan kesepakatan ini—yakin bahwa dia akan mendukung gaya hidup nyaman Amerika.

Orang tua Ismail tinggal di rumah batu dalam jalan berliku sebuah gang di Tripoli. Orang tuaku tinggal di Santa Fe dengan tiga garasi mobil, ratusan stasiun televisi layar-datar, makanan organik di kulkas, dan mainan yang banyak untuk sang cucu.

Aku membayangkan memeluk Aliya sambil belanja di Whole Foods dan tumpukan kado di bawah pohon Natal, sambil tetap mendengarkan alunan melodi bahasa Arab, …, tato henna rumit di kakinya yang digambar bibinya ketika kami mengunjungi Libia. Tidak sekalipun aku membayangkan dia menggunakan penutup kepala seperti muslimah lain sebagai wujud kesederhanaan dan kesopanan.

Musim panas lalu kami merayakan akhir Ramadan dengan komunitas muslim kami di sebuah masjid lokal… Aliya dan aku berjalan melewati deretan pedagang penjual sajadah, tato henna, dan pakaian muslim. Ketika kami sampai di meja penjual penutup kepala, Aliya berbalik kepadaku dan memohon, “Ma, boleh saya memilikinya?”

Dia membalik-balik tumpukan jilbab sementara si penjual, wanita Afrika-Amerika berpakaian hitam, tersenyum padanya. Baru kali ini saya melihat Aliya mengagumi gadis-gadis muslim seusianya. Aku diam-diam kasihan pada mereka, tertutup dengan pakaian panjang bahkan di musim panas, padahal kenangan masa kecilku adalah kulit dibiarkan terkena matahari… Tapi Aliya iri dengan gadis-gadis itu dan meminta saya untuk membeli yang seperti mereka; dan sekarang sebuah jilbab.

Dulu, alasan saya adalah pakaian seperti itu sulit didapatkan di mal lokal, tapi lihatlah dia, menghabiskan sepuluh dolar dari uang saku sendiri untuk membeli (kain) rayon hijau yang dia pegang di tangannya. Aku mulai menggeleng tegas “tidak”, tapi berhasil menahan diri mengingat komitmenku pada Ismail. Lalu aku menggertakkan gigi dan membelinya, dengan asumsi akan segera dilupakannya.

Sore itu, ketika saya akan pergi menuju toko groseri, Aliya berteriak dari kamarnya ingin ikut. Beberapa saat kemudian, dia muncul dari tangga atas… Dari pinggang ke bawah, dia adalah putri saya: sneakers, kaos kaki cerah, jeans usang di lututnya. Tapi dari pinggang ke atas, gadis ini orang asing. Cahaya wajah bulatnya tertahan di sebuah kain gelap seperti sebuah bulan di langit tanpa bintang.

Krista Bremer bersama putrinya, Aliya (Courtesy of Ismail Suayah)

“Kamu akan pakai itu?” Aku bertanya. “Ya,” dia berkata pelan, dengan nada yakin ia akan mulai memakainya bersamaku.

Di perjalanan menuju toko, aku mencuri pandangan melalui kaca. Dia melihat jendela dalam keheningan, menyendiri dan tidak peduli sebagai muslimah terkenal mengunjungi kota kecil daerah selatan—aku, hanya sopirnya.

Aku menggigit bibir. Aku ingin memintanya melepas jilbab sebelum keluar mobil, tapi aku tidak punya satupun alasan logis, kecuali pandangan orang akan membuat tekanan darahku naik. Aku selalu mendorongnya untuk menunjukkan individualitas dan melawan tekanan teman sabaya, tapi sekarang aku merasa sadar diri dan sesak, seolah-olah aku yang memakai jilbab itu.

Di tempat parkir Food Lion, udara panas membakar kulitku. Aku ikat rambut lembab di leher seperti ekor kuda, tapi Aliya nampak tak terpengaruh oleh panas. Kami pasti terlihat seperti pasangan yang aneh: wanita pirang tinggi dengan tank top dan jeans yang menutup tangan muslimah setinggi empat kaki. Aku menarik putriku lebih dekat dan kulit lenganku meremang—insting melindungi dari udara dingin yang mengenaiku ketika memasuki toko.

Ketika kami mendorong troli, pengunjung melihat kami seperti teka-teki yang sulit dipecahkan, yang dengan cepat menundukkan pandangan ketika aku menangkap mata mereka.

Di jalur makanan, seorang wanita meraih apel sambil menatap saya tersenyum, mengatakan, “Saya menerima keragaman dan saya sangat baik-baik saja dengan anak Anda.” Dia tampak begitu serius, begitu bersemangat untuk membuat saya tenang, membuat saya mengerti bagaimana rasanya memiliki anak dengan cacat jelas, serta semua rasa ingin tahu dan simpati dari orang asing yang muncul.

Di kasir, seorang wanita tua Latin menggenggam tangannya yang kurus dan membungkuk ke arah Aliya, “Oh, oh,” ia bergumam, menggeleng tak percaya. “Anda terlihat benar-benar berharga.” Putriku tersenyum sopan, kemudian berbalik meminta sebungkus permen karet.

Pada hari-hari berikutnya, Aliya memakai jilbab di meja sarapan dengan piyama, di perkumpulan muslim di mana ia dihujani pujian, dan di taman ketika ibu-ibu berbisik dengan sangat hati-hati.

Sepekan setelah itu, di kolam renang lokal, aku melihat seorang gadis hanya beberapa tahun di atas Aliya bermain Ping-Pong dengan seorang lelaki seumurannya. Dia berada di masa canggung di antara masa anak-anak dan remaja—pinggang kecil, kaki kurus, dan sedikit payudara baru—dan dia memakai bikini.

Lawannya memakai kaos besar dan celana baggy di bawah lutut, dan ketika ia memukul bola, gadis itu mencoba memukul dengan satu tangan agar pakaiannya tidak terbuka. Aku ingin menawarinya handuk untuk menutupi pinggangnya, agar ia bisa bergerak bebas dan merasakan keriangan dengan membuat pukulan bagus.

Mudah untuk mengetahui mengapa gadis itu dikalahkan dalam permainan tadi: Tubuhnya yang hampir telanjang menghabiskan konsentrasinya. Dari ekspresi kekalahannya aku merasakan campuran antara malu dan senang sama seperti ketika aku pertama kali memakai bikini. (Lanjut ke Halaman 2)

12 respons untuk ‘Bikini atau Jilbab: Mana yang Lebih Membebaskan?

    1. setahu ana, yang namanya pertamax itu fungsinya untuk ngereserve space di page one thread forum biar bisa diedit nantinya (ato penyakit narsis kali?) . kalo nulis pertamax di blog berarti bisa dikategorikan fanatik soalnya gak tau sebabnya tapi cinta banget sama pertamax. 😀

  1. Postingan menarik. Jika perkataan sufi yang dikutip itu meniscayakan pengikut wanitanya mengenakan jilbab [?], saya justru melihat fenomena menarik di sebuah kelas tasawuf. Seorang muslimah, yang awalnya berjilbab rapi, malah di akhir-akhir ini melepas jilbabnya. Saya sedikit tak percaya karena setahu saya, jika orang itu mengidolakan Fathimah, karena dia belajar Ahlulbait, mestinya dari sisi busananya tetap mengikuti idolanya Fathimah, yang dalam sejarah selalu mengenakan jilbab.
    Saya berusaha menegarkan diri bahwa dia melepaskan jilbabnya itu karena ia merasa sudah tidak punya daya tarik seksual di hadapan umum, jadi gak apa-apa toh melepasnya. Namun, entahlah, saya tak berani untuk bertanya kepadanya meski saya cukup dekat dengannya karena saya pernah mengikuti kajian tasawuf di rumahnya.

    1. Benar bahwa agama terakhir ini bersifat lahir-batin, dan bukan berarti salah satunya menjadi lebih penting, tapi harus seimbang. Jadi itu sebuah “kebablasan” atau ketidakseimbangan? Merasa “hijab” batin lebih penting daripada hijab lahir, padahal keduanya harus di jalani. Wallahualam.

  2. “Di sekolah berbeda lagi. Di kelas empat, gadis-gadis sudah mengerti hubungan antara pakaian dan popularitas. Beberapa minggu yang lalu, suaranya meninggi dalam kemarahan ketika dia bercerita tentang teman sekelasnya yang membuat peringkat semua gadis-gadis berdasarkan gaya mereka.”

    marah karena Allah atau marah karena nggak dianggap cantik ? Tidak boleh ada yg memaksakan seorang muslimah utk melepaskan jilbabnya…oleh karena itu, tidak ada yg boleh memaksakan seleranya terhadap orang lain. Paling tidak, dia sedang tidak berada di tempat yg tepat, tapi di luar sana banyak yg lebih memberikan penghormatan lebih tinggi pada muslimah berjilbab. jadi kenapa mesti marah ?

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.