Beberapa jam yang lalu saya asyik berbincang dengan teman di telepon. Dia mengatakan suka dengan pasangan yang bisa main alat musik. Meski tidak terkait, dari percapakan itul ide muncul untuk menulis tentang materialisme. Saya tidak ingin membahas asal-usul atau sejarah filsafat materialisme, tidak hanya karena bukan ahlinya, tapi juga karena kita tidak suka membaca tulisan blog yang teramat panjang.
Materialisme bukan cuma sekedar bicara masalah uang. Tanpa perlu membuka buku filsafat, kamus bahasa Indonesia sudah memberikan penjelasannya. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.
Intinya, materialis cuma peduli dengan materi atau benda yang nampak. Tidak percaya nonmateri atau hal gaib. Tidak percaya dengan surga atau neraka. Tidak punya pemikiran panjang ke depan, tapi hanya merasa nyaman bersenang-senang di dunia. Bahkan, tidak percaya dengan pahala. Kecenderungan manusia yang seperti ini sudah ada di zaman dahulu. Di zaman nabi, misalnya, orang-orang kafir berkata, “Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia ini saja.” (Lihat QS. 45: 24)
Kata dosen saya, bukti nyatanya seperti ini: mungkin banyak orang yang enggan untuk salat di saf pertama karena kurang peduli dengan pahala keutamaan salat di baris terdepan. Tapi kalau salat di saf terdepan dengan iming-iming uang satu juta, siapa yang tidak berebutan?
Imam Ali as. memang pernah bilang, “Manusia adalah anak dunia dan tidak dapat disalahkan karena mencintai ibunya.” Saya yakin ucapan Imam Ali tersebut bukan berarti pembenaran terhadap perilaku kecenderungan manusia untuk mencintai dunia, meskipun memang ada potensi ke arah itu. Tapi lagi-lagi itu semua bukan tujuan utama. (Kalau tujuan utama penciptaan manusia adalah dunia, kenapa harus ada kematian?). Fitrahnya manusia adalah rindu dengan kampung halaman, tempat kita berasal.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. 6: 32) Kalau kita mau terus terang dan lebih mendalam, manusia sejati adalah abadi dan kekal. Manusia itu bukan fisik tubuh ini karena ia beserta dunia hanyalah tumpangan. Manusia itu abadi dan yang abadi adalah ruhnya. Ruh tidak akan musnah atau mati.
Nah, bicara soal mencari pasangan di awal tadi, kita pun tidak bisa memilih pasangan hidup karena hal yang bersifat materi, segala sesuatu yang tampak. Karena segala sesuatu yang materi, pasti musnah atau paling tidak rusak. Kalau kita memilih karena harta, dia akan musnah. Kalau kita memilih karena ganteng atau cantik, dia akan menua dan dikubur bersama kita. Wallahualam.
Shortlink: http://wp.me/pyhQ9-17T
wew.. bagus banget mas.. : )
tapi kalau kita pikir2, sebenarnya kalau sudah masalah seperti ini yang salah sebenarnya siapa ya? Apa manusia itu sendiri atau para ahli2 ahlak yang tidak bekerja semestinya atau pemerintah?
Menurut saya dua-duanya. Sebagai individu, seorang muslim bertanggung jawab atas dirinya untuk memperbaiki, mensucikan diri (tazkiah an-nafs). Sebagai yg memiliki otoritas tertinggi, pemerintah dan ulama juga wajib mendidik masyarakat.
pendidikan yang bagus..
apalagi endingnya….
mantap gan…..
eihhh…
ga mau dipaggilgan ya,,,
mantappssss akh… 🙂
Ah, ente fokus di-ending aja, mau cepet-cepet nikah? 😀
cinta karena Allah..
bukan begitu?
Easy to say, hard to do. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin.
Kayaknya malah bukan di simpang lagi, tapi sudah kelelep di lautan Materialisme Dunia, ya..
Hmmm… begitulah manusia yang lebih banyak menggunakan hawa nafsu, memalingkan wajah dari fitrahnya sebagai makhluk ciptaan-NYA… sungguh hina jika kita menjadi penyembah harta, bersujud didepan kekayaan harta benda…
Tapi baca-baca artikel ini ada yang kurang “gregetnya”… curiga lagi males atau sedang dihinggapi kebuntuan ide mas eja? Bukan di isi artikelnya sih, tapi di gaya penyampaiannya… seperti bukan stylenya mas eja? ma’af mas…Hanya perasaanku saja loh…
Kalau yang biasanya Mas Hendri baca style-nya bagus, berarti bukan tulisan saya mungkin 😉