Seseorang bertanya kepada Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Najib, tentang arti sebenarnya riwayat: “Tidurnya orang yang berpuasa itu dapat pahala.” Sebagian orang mengatakan tujuannya adalah menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya memandang aurat, mendengarkan perkataan yang tidak patut atau ngrasani. (Tetapi) orang yang tidur itu tidak tahu apa-apa, sedang untuk mendapat pahala harus mengerjakan sesuatu yang sosial dan niat agar mendapat rida Allah (menjalankan perintah agama). Namun ada juga yang mengatakan, orang tidur itu adalah perpisahan sementara antara jiwa dengan raga. Jiwa bisa pergi ke mana-mana akhirnya orang bisa merasakan mimpi.

Menurut penanya, mimpi itu ada yang baik dan ada juga yang jelek. “Kalau kebetulan mimpi yang jelek, bagaimana dengan puasa kita?” katanyanya. Di satu sisi kita tidur menghindari sesuatu yang jelek dan di sisi lain saat kita tidur jiwa kita ke mana-mana dan berbuat jelek.

Atas pertanyaan itu, Cak Nun meminta kita semua untuk memperhatikan kalimat-kalimat berikut ini. Puasa itu tidak makan dan tidak minum serta berbagai tidak lainnya dalam jangka waktu tertentu. Tidur itu tidak bangun, tidak melihat, tidak mendengar serta berbagai tidak lainnya dalam jangka waktu tertentu.

Puasa itu berpahala jika dilakukan sejak subuh hingga magrib selama bulan Ramadan. Tapi kalau magrib telah tiba kita tetap berpuasa, berarti kita melanggar anjuran Allah untuk menyegerakan berbuka puasa. Bahkan kalau kita tetap juga berpuasa seusai bulan Ramadan, yakni pada hari Idul Fitri, kita ingkar kepada perintah Allah untuk jangan berpuasa pada hari itu.

Karena alasan dan dasar perhitungan tertentu maka tidur kita berpahala ketika dilakukan pada jangka waktu tertentu yang wajar. Tapi kalau selesai makan sahur kita langsung tidur seharian hingga lepas magrib dan melewati lohor serta asar dalam keadaan tidur, tidak ada seorang fakih (ahli fikih) pun menjamin bahwa itu berpahala. Jadi segala sesuatu itu ada proporsinya, ada batas kewajarannya, ada ruang dan waktu serta konteksnya sendiri-sendiri. Tidurnya orang berpuasa itu berpahala, mungkin bisa kita gali pemaknaannya begini:

Pertama, sedemikian pentingnya ibadah puasa dan sedemikian mendalamnya Allah menggagasnya, sehingga tatkala hamba-Nya tidur di siang hari, puasa dihargai oleh-Nya. Tetapi tidur di situ ada “kode etik”-nya. Kita tidak bisa masuk kantor untuk tidur di meja dan beralasan kepada direktur: “Saya mencari pahala dari Allah Swt!”

Kedua, di dalam wilayah tidur, orang yang berpuasa lebih mendapatkan keamanan dan keselamatan dari bahaya dan maksiat dunia. Kurang lebih posisi ini sama dengan seorang yang buta matanya dan mensyukuri kebutaannya di hadapan Allah: “Ya Allah, terima kasih telah Engkau bebaskan aku dari berbagai tipuan dunia yang kujumpai jika mataku bisa melihatnya. Dengan buta mataku ini aku merdeka dari keindahan dan kemewahan dunia yang semu dan sama sekali tidak sebanding dengan keindahan dan kemewahan cahaya-Mu. Jika Engkau ubah mataku hingga bisa melihat, aku tahu aku akan menghabiskan sangat banyak waktu dan energi untuk menaklukkan segala sesuatu yang kulihat agar tidak menjajah jiwaku dan mempermainkan cita-cita hidupku. Ya Allah, dibanding penglihatan, kebutaanku lebih mendekatkanku kepada kesejatian-Mu.”

Kalau dikatakan orang tidur itu tidak tahu apa-apa, sedangkan untuk mendapatkan pahala seseorang harus mengerjakan sesuatu yang bersifat sosial dengan niat supaya mendapatkan rida dari Allah Swt. tidak salah juga. Tapi, pertama-tama bersyukurlah, cukup dengan engkau tidur, Allah berkenan memberimu pahala. Kedua, tidur itu tidak berarti tidak berbuat apa-apa. Tidur ialah suatu pilihan untuk menghindari dari perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dijamin baik. Tidur ialah tidak berkata yang tidak-tidak dengan teman-teman. Tidur ialah tidak melihat wanita-wanita yang membuka separo auratnya. Tidur ialah tidak terlibat dalam kemungkinan kerakusan berdagang, keserakahan berkonsumsi, kekejaman politik dan pergaulan. Tidur adalah sebuah “pekerjaan besar”.

Siapa yang mengatakan bahwa tidur adalah perpisahan antara raga dan jiwa? Apa kata orang itu tentang yang disebut jiwa? Apa bedanya dengan nyawa? Sukma? Rasa? Hati? Kesadaran? Akal? Pikiran? Rasio? Rasa? Nurani? Sanubari? Ruh? Dzat? Nafs? dan sebagianya.

Informasi yang diterima itu terlalu simplikatif. Penyederhanaan persoalan. Itu sekedar untuk nggampangna rembuk. Tetapi peta dan struktur realistik yang coba ia kemukakan sesungguhnya tidak sesimpel itu. Perlu pembicaraan dan ruang yang khusus untuk itu, dan saya menganjurkan agar kita melupakan saja soal-soal macam begitu.

Masalahnya, sementara ini kita memiliki kecenderungan untuk merepotkan diri sendiri dengan hal-hal yang sesungguhnya sepele dan bisa diabaikan. Lha wong mimpi jelek saja kok diurusi dan dianggap sedemikian pentingnya. Padahal ketika bermimpi itu kita belum tidur. Kita baru tertidur.

Sumber: “Bermain Politik di Bulan Ramadhan”, bersama Emha Ainun Nadjib.

4 respons untuk ‘Tidur Ketika Berpuasa, Menurut Cak Nun

  1. LAkukan kewajiban seperti biasanya kalau ada waktu luang boleh tidur tapi jangan sehari samapi nunggu buka tanpa melaksanakan kewajiban seperti sholat, masak, bekerja dll.

  2. aslmkm..

    akhi,,,
    ijin kopas yah ke blog sya yah:)

    tulisannya bagus2 🙂

    Syukran..

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.