Pertama, karena tulisan ini termasuk dalam kategori fikih, maka pembahasan akidah seperti tauhid (seharusnya) sudah kita lewati. Hal ini cukup penting untuk dipahami sebelum melanjutkan pembahasan. Kedua, setelah meyakini bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah adalah mulia dan wajib dihormati, maka tulisan ini juga menjadi begitu penting.
Hujjatul Islam Mohsen Qaraati pernah memberi contoh. Misalkan tembok rumah kita kalau kita kotori mungkin tidak terlalu bermasalah (secara hukum), tapi kalau tembok masjid (rumah Allah) maka jadi bermasalah. Contoh lain adalah kata “Abu Lahab”. Jika kita menuliskan di kertas biasa, maka tidak bermasalah untuk menyentuhnya. Tapi kalau kata “Abu Lahab” yang ada di dalam ayat Alquran (firman Allah), maka menyentuhnya pun harus disertai kesucian. Karena itulah saya agak heran ketika membaca sejarah yang menyebutkan bahwa Khalifah Utsman membakar mushaf-mushaf Alquran. (Lihat, misalnya: Kajian Quran Sunnah).
Adanya keharusan untuk menjaga ayat-ayat suci Alquran ini membuat saya enggan menerima buletin Jumat Al-Islam (milik HTI), yang biasanya mencantumkan ayat Quran. Bukan apa-apa, hanya khawatir tidak bisa menjaganya. Begitu juga ketika belum lama ini mengunjungi pameran buku-buku Islam. Mereka yang berjualan Alquran biasanya membagikan brosur bergambarkan ayat Quran.
Di antara dalil yang biasanya digunakan tentang hukum menyentuh di atas adalah ayat Quran yang—kadang tertulis disampul—berbunyi, “Tidak menyentuhnya (yamassuhu) (Alquran) kecuali hamba-hamba yang disucikan (muthahharûn).” (QS. 56: 79). Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam ayat ini.
Pertama, kata “yamassuhu”. Kata ini derivasi dari kata “massa”. Dalam bahasa Arab, ada kata lain yang mempunyai makna yang sama dengan massa-yamassu, yakni lamasa-yalmasu. Makna dari kedua kata ini ialah menyentuh, memegang, tetapi dalam pemakaiannya berbeda, khususnya dalam Quran. Kata lamasa-yalmasu dipakai untuk sentuhan fisik, sedangkan kata massa-yamassu untuk sentuhan psikis atau sentuhan yang nonfisik.
Mari kita lihat dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa jika sekelompok setan menyentuh mereka, maka mereka segera sadar dan ingat kepada Allah.” (QS. Al-Araf: 201), atau ayat-ayat yang lain (misal, 7: 95, 10: 12, 17: 83, 3: 120). Menarik sekali, dalam ayat ini Allah menggunakan kata massa. Artinya, orang-orang bertakwa jika disentuh oleh setan, maka mereka segera sadar dan ingat kepada Allah Swt. Sentuhan setan di sini tidak bisa kita artikan sentuhan fisik, karena setan secara genesus (atau jins) berbeda dengan manusia. Sentuhan setan artinya setan menguasai, mempengaruhi atau membisiki.
Kembali ke pembahasan ayat lâ yamassuhu illal muthahharûn. Di sini lebih tepat kata sentuhan diartikan dengan sentuhan yang non-fisik. Artinya, tidak ada yang memahami Quran, atau tidak ada yang menguasai Quran kecuali orang-orang yang muthahharûn, yang disucikan.
Kedua, kata “muthahharûn” adalah kata benda (ism) yang berbentuk maf’ûl (bentuk kata yang berarti penderita). Misalnya, manshûr (yang ditolong) atau mazhlûm (yang dizalimi). Muthahharûn berarti orang-orang yang disucikan, bukan orang-orang yang bersuci. Kalau artinya orang-orang yang bersuci, maka lebih tepat redaksi ayat tadi berubah menjadi “lâ yamassuhu illal muthahhirûn” (tidak ada yang memahaminya kecuali orang yang bersuci). Kenyataannya, Allah Swt. menggunakan kata muthahharûn, artinya yang disucikan, yang dibersihkan. Artinya tidak ada yang menguasai Quran kecuali orang-orang yang disucikan, bukan orang yang bersuci. (Lihat: Buletin Al-Jawad tulisan Husain Alkaff)
Ulama ahlusunah seperti Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud “yang disucikan” adalah malaikat, sedangkan ulama lain termasuk ulama Syiah menyebutkan bahwa ia adalah ahlulbait yang telah disucikan sebagaimana surah al-Ahzab ayat 33 berbunyi, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya (yuthahhirakum tathhîrâ).”
Saya punya teman yang cukup ekstrim dalam hal pegang-memegang Alquran ini. Ia mengatakan tidak boleh memegang mushaf Alquran tanpa wudu. Tentu ia berpegang dengan larangan hadis Nabi, sedangkan bagi yang membolehkan berpegang juga dengan hadis Nabi yang mengatakan bahwa orang mukmin tidak najis. Tapi yang saya pahami dari fikih yang saya yakini selama ini adalah larangan menyentuh teks ayat Quran, bukan sampul atau pinggiran kitabnya.
Fikih Mazhab Ahlulbait
Dalam fikih Syiah ahlulbait, larangan menyentuh asma Allah tidak berlanjut hanya pada teks Alquran tapi pada setiap tulisan yang mengandung asma Allah dan ahlulbait. Saya memperhatikan muslim ahlulbait cukup hati-hati dalam hal ini, sehingga mereka biasanya tidak menuliskan bismillah (بسم الله) tapi cukup bismihi ta’âlâ (بسمه تعالى). Hal ini dilakukan untuk menghindari sentuhan tidak suci atau terhapusnya asma Allah. Dalam kumpulan fatwa-fatwanya, Sayid Ali Khamenei menjawab pertanyaan terkait hal tersebut:
Soal:
Apa hukum menyentuh kata ganti yang merujuk (mengikuti) Allah, Maha Pencipta, seperti dalam kalimat “Dengan nama-Nya” (bismihi ta’âla)?
Jawab:
Hukum kata “Allah” (lafaz) Allah tidak berlaku atas kata gantinya.
Atau, selain menggunakan kata ganti, penulisan lafaz Allah juga diganti dengan A… (…ا).
Soal:
Biasanya nama “Allah” ditulis dengan “A…” (Alif dan tiga titik), seperti tulisan “ayat A…” atau dengan “Ilah” (alif, lam, dan ha’). Apa hukum menyentuh kedua tulisan tersebut bagi orang yang tidak berwudu?
Jawab:
Hukum (larangan menyentuh tanpa wudu) kata “Allah” (lafaz Allah) tidak berlaku atas huruf hamzah dan titik-titik (A…). Karena itu, diperbolehkan menyentuh kata tersebut (A) tanpa wudu.
Hukum ini juga berlaku bagi nama orang yang menggunakan asma Allah (dalam aksara Arab), seperti Abdullah, Habibullah, Abdulaziz, dan sebagainya.
Karena hukum-hukum di atas yang begitu ketat, saya sebagai orang awam menjadi “penasaran” dengan hukum menyentuh ayat suci dalam ponsel layar sentuh. Saya yang juga awam dalam masalah teknologi mengira menyentuh touch-screen itu mirip atau sama seperti menyentuh teks asli, karena dapat digeser-geser dengan mudahnya. Pertanyaan saya yang aneh ini ternyata tetap mendapat jawaban dari lembaga perwakilan marja’ yang saya ikuti.
Sumber:
- Buletin Al-Jawad tulisan Ust. Husain al-Kaff
- Ajwibah al-Istifta’at terjemahan Ust. Muhsin Labib
hmm… antum mengaku sebagai orang awam, namun begini komplit tulisannya. saya belum mudeng benar2 dengan membaca tulisan ini juga. namun sedikit demi sedikit insya Allah mengerti.. 😉
salam..
Apah?! Berarti saya gagal menyampaikan apa yg saya maksud. Bagian mana ya Dhil yang bikin enggak mudeng biar bisa saya permudah bahasanya?
hmm ternyata memang sgtu ketatnya ya, soalnya hal ini kayaknya ga begitu ditekankan dalam fiqih dan masih ada yg menterjemahkannya berbeda. misalnya kl hanya menyentuh tanpa wudhu tidak apa bahkan yg ada di brosur, undangan dll, tapi yg tidak boleh menempatkannya di tempat yg sembarangan bahkan sampai membuang, mengotorkan dll.
makanya lbh baik menghindari menuliskan ayat2 Quran pada kertas2 yg kira2 akan ditempatkan di tempat yg tidak selayaknya.
TSf
fifa
Berbedanya tidak hanya antarmazhab tapi juga ulama di dalam satu mazhab. Soal peraturan yg terkesan ketat ini kadang membuat orang menjadi “eneg” dan melepaskan dirinya dari tanggung jawab sembari mengatakan “saya tidak ingin menjadi budak fikih!”. Thanks, Kak.
NB. Nanti kalau saya bikin undangan, bismillahnya pakai huruf latin aja ah 😀
Salam. Soal urusan teks al-Quran memang menjadi problem tersendiri dalam fikih Syi’ah. Karena itu, teman tasyayyu’ saya, ketika terlanjur mendapatkan lembaran buletin Jumat dan sejenisnya yang memuat nama-nama Allah, menggunting kalimat bismillahnya untuk kemudian ia kumpulkan dan kuburkan. Katanya, begitulah cara ia menjaga ayat-ayat suci. Semoga kita semakin berhati-hati dengan semua ini. Syukran tulisannya.
Salam. Terima kasih buat tambahan informasinya, Mas Arif 🙂
ja, sebenernya sejalan sih ama tulisanmu
tapi sejauh yang ana tau pada ayat “laa yamassuhu illal muthohharun” itu yang dimaksud adalah kitabun marqum, tidak disebut qur’an
itu dari surat al waqi’ah bukan sih? males ngecek :))
karena penyebutan kitab dan qur’an pada teks qur’an itu berbeda penggunaannya
contohnya, kitab itu petunjuk bagi orang yang bertaqwa saja
sedang qur’an itu petunjuk bagi seluruh manusia
kitab adalah tulisan, ga semua orang bisa ‘baca’
qur’an adalah bacaan, semua orang bisa ‘baca’
beda to? hehe
tentang menyentuh qur’an(mushaf) itu memang adabnya berwudhu, dalilnya keknya juga ayat ini
tapi hey, alam semesta ini kan semuanya ayat2 Allah (kitab) jadi kita emang disunnahkan dalam keadaan wudhu setiap saat 🙂
Ayat 77-78-nya kira-kira diartiin “Sesungguhnya ia Quran (bacaan) yg karim (mulia), pada kitab markun (terjaga).” Kitab markun ada yg terjemahin sebagai Lauhul mahfuz.
Bukan hanya perbedaan kata “quran” dan “kitab” saja, satu kata “quran” saja ada beda pendapatnya. Sebagian orang menyebut kitab yg kita baca di rumah itu hanya sebagai mushaf, bukan Quran hakiki.
Apakah ayat-ayat Allah itu selalu dalam bentuk kitab? Kitab yg ana pahamin ya yang dijilid. Tapi lagi-lagi, ini pembahasan fikih 😀
Thanks, Fiq bagi-bagi ilmunya.
oiyaa lupa ana ada penyebutan qur’an 😀
tapi ‘hu’ dalam laa ‘yamassuhu’ kembali ke qur’an brati ya?
tapi disebutin bahwa qur’an nya di lauhil mahfudh (kitabun marqum), lauh mahfudh juga ada beberapa tafsiran kali ya
apakah ayat Allah selalu dalam bentuk kitab? hmmm apakah kitab selalu yang dijilid?
Afwan Mas Reza, mau tanya neh..
1. Dengan alasan apa tulisan yang mengandung asma ahlul bait dilarang untuk disentuh? Apakah ada dalilnya?
2. Apakah larangan [menyentuh ayat Al-Quran maupun Asma Allah] tersebut bersifat mutlak atau hanya ketika kita tidak dalam keadaan suci, sehingga setelah berwudlu menjadi halal menyentuhnya.
3. Apakah larangan tersebut mencakup ayat-ayat suci dalam tulisan selain arab [ex: dalam tulisan latin]?
Mohon berkenan menjawabnya. Syukron.
Wallahualam.
Syukron Mas jawabannya. Saya ini muallaf mazhab AB sejak 1 tahun yang lalu, tapi masih kesulitan berkomunikasi dengan ulama Ahlul Bait atau saudara-saudara lain yang bermazhab AB. Salam kenal.
kalau dr maknanya, muthahhirun itu –> mereka bersuci atau berwudhu. kalau muthahharun –> mereka disucikan Allaah dengan keimanan.
pendapat sy kalau menyentuh qur’an (orang2 yg beriman) dan ga punya wudhu tetap mubah hanya sj tidak beradab.
sy juga sepakat menyentuh nash syara’ pada hp layar sentuh adalah mubah. kembali ke definisi mushaf. mushaf adalah kitab al qur’an. menyentuh nash syara’ pada buku, buletin tetep tdk apa2 karena nash syara’ yg ada di buku atau buletin bukan bermakna mushaf.
Menurut sebagian orang, mushaf itu kitab salinannya, bukan Alquran itu sendiri. Kembali pd bagian awal artikel, segala sesuatu yg terkait dng firman Allah menjadi suci dan patut dihormati di manapun. Terima kasih.
sy penah dengar dari ustz2 pengajian…dan kesimpulan sy petik..
hukum mnyentuh dan memegang alqur’an tanpa wudhu’ itu tidak bole berdasarkan dalil ; laa yamassuhu illal muthahharuunn…akan tetapi jikalau dalam keadaan belajar atw dalam majlis ta’lim itu bole2 saja tanpa berwudhu tp afdhalnya dengan berwudhu….
-hukum menyentuh ayat alqur’an dalam ponsel atw dalam buku2 pelajaran atw di undangan misalnya tanpa wudhu’ itu bole karena dalil yg menunjukkan larangan adalah menyentuh al-qur’an seutuhnya bukan menyentuh ayatnya…
wallahu a’lam bishshawab..
Ayat adalah bagian dari Alqurannya 🙂 Terima kasih komentar aslinya.
“yamassuhu” ruju’anny k Al-Qur’an tdak k kitab lainny..Muthohharun sndri untk orng yg dlam keadaan suci ( tdk dlam keadaan m’pnyai hdast ),utk bcaan Qur’an yg ada dlm brosur atau yg lainny itu gk apa,dlm fiqh bcaan/tulisan Qur’an itu apbla trcmpur dgn bcaan/tulisan lainny itu d prbolehkan utk mnyntuh / m’megang mskpun tdk dlm keadaan suci ( sbgai cntoh bku2 yg m’bhas tntg tjwid ). d ambil dr kitab fiqh Fathqul Qorib, bab Mushkhaf..
Terima kasih atas opininya.
hukum seperti itu tidak di buat oleh Allah, jgn mempersulit diri
http://twitter.com/ejajufri/status/20374284327
golongan antum heran dg khalifah usman membakar musaf2 Al-Quran, golongan kami sama dengan Ahlul bait dalam bersikap thdp tindakan Khalifah Usman tsb. dan golongan kami percaya Allah yang menurunkan Quran dan Allah yg menjaganya (melalui Usman dan shabat Rasul Saw lainya, serta pengikut2 beliau yang lurus himgga akhir zaman),,,bgm dg musaf fatimah kalian msh ada kah?
Allah yang Menjaga melalui Khalifah Utsman? Oh… ohkay 😀
Penjelasan Fiqih yang bagus, dan sewajarnya Ahlusunnah membuat hal2 seperti ini ( tanya jawab mengenai hukum fiqih untuk hal2 yang baru ). masalah tindakan Khalifah Usman,,? tidak ada yang aneh jika dipelajari alasan2nya ….selamat mencari kebenaran
🙂
síiip
(Pertanyaan saya yang aneh ini ternyata tetap mendapat jawaban dari lembaga perwakilan marja’ saya)
Insya ta’alla ku doakan cita-citanya you bisa cepat terkabul “Menjadi Marja”
Terima kasih sudah aware dng bahasa yang ambigu.
Aq mau tanya nie
Aq kan baru mau nikahan ni
Di undangan itu ada tulisan bismillahnya menggunakan al quran,itu karna yang yang cetaknya menggunakan tulisan al quran
Menurut agama islam itu boleh di sebarkan ga undagan yang ada tulisan bimillah menggunakan tulisan al quran
Tolong di jawab
Salam.
Akh, kalau saya ingin berkonsultasi atau bertanya mengenai masalah AB, saya bisa secara pribadi menghubungi Antum g?
Kalau sekiranya bisa, lewat mana ya?