Apa dan Siapa dalam Pembicaraan

Minggu lalu, salah seorang menteri yang kerap mendapat sorotan meng-update status Twitter-nya. “Mencintai dan dicintai itu, butuh energi,” begitu tweet-nya. Sebuah kalimat yang biasa dan bisa di-tweet oleh siapa saja. Tapi anehnya tweet tak berdosa itu justru mendapat respon bernada sinis dari beberapa orang, beberapa lagi melecehkan. Orang-orang yang merespon negatif itu bukan anak kecil lagi. Mereka yang kita anggap berpendidikan dan bekerja sebagai seorang analis pun ikut merespon tweet tersebut dengan sindiran.

Apa yang salah dengan tweet itu? Tidak ada… yang salah ada siapa. Orang-orang sinis itu tidak merespon “apa” tapi “siapa”. Jadi, meskipun menteri itu berbicara, berbuat yang baik, tetap akan mereka pandang jelek. Padahal, kita sering mendengar kalimat mutiara: “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan.” Kalimat dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s. tersebut, meskipun nampak sederhana, ternyata memang tidak semudah yang dibayangkan untuk kita amalkan. Rasa tidak suka atau kebencian lebih sering menutup mata dan menyumbat telinga kita.

Dulu, saya termasuk yang seperti itu. Saya pernah membaca pendapat seorang tokoh yang dianggap ulama merendahkan kedudukan Imam Ali. Saya langsung terbawa perasaan tidak suka dan enggan membaca buku yang berisi pemikirannya. Tapi kalau kita perhatikan sungguh-sungguh sabda unzhur mâ qâla wa lâ tanzhur man qâla itu, maka kita sadar bahwa perbuatan kita itu salah.

Contoh lain dari melihat “siapa” di atas “apa” juga dialamatkan kepada Syiah dan pengikutnya. Mereka yang benci sangat kepada Syiah tidak akan mau mendengar penjelasan (tak terbantahkan) ulama Syiah. Seruan ulama dan pengikut Syiah untuk memperkuat persatuan umat Islam juga dipandang sinis sebagai bentuk taqiyah. Tentu saja Islam juga mendapat perlakuan sama. Mereka yang “pokoknya benci” kepada Islam tidak akan mau dengan mudah untuk melakukan hal yang begitu sederhana: mendengar.

Mengutamakan “siapa” di atas “apa” bisa memperkecil area dan kesempatan kita untuk mendapatkan kebenaran dan hikmah dari orang lain. Tidak penting hikmah itu ada di siapa, bagaimana, dan di mana; karena yang penting adalah hikmah itu sendiri. Hikmah adalah barang hilang yang senantiasa dicari mukmin, seperti seorang ibu mencari anaknya yang hilang. Imam Ali a.s. berkata, “Hikmah adalah barang yang hilang bagi orang mukmin. Maka carilah ia walaupun ada pada orang-orang musyrik, karena engkau lebih berhak atasnya.”

Mengutamakan “siapa” di atas “apa” juga bisa menyebabkan taklid buta, kebingungan, dan tersilaukan oleh penampakan lahiriah. Saat Harbul Jamal atau Perang Unta, salah seorang prajurit Imam Ali bertanya, “Apakah engkau akan memerangi Ummulmukminin Aisyah, Talhah, dan Zubair? Apakah mungkin pribadi-pribadi itu berada dalam kebatilan?” Imam Ali a.s. berkata, “Kebenaran tidak dikenali dari manusia. Kenalilah kebenaran itu sendiri niscaya engkau akan mengenal siapakah yang berada di pihak yang benar.” Wallahualam.

4 respons untuk ‘Apa dan Siapa dalam Pembicaraan

  1. Egoismelah yg membuat kita sulit untuk menerima. Merasa paling benar dan terkungkung didalam fanatisme sehingga sulit untuk menerima hikmah, apalagi dari orng atau kelompok, mazhab pemikiran yg berbeda dgn kelompok, mazhab pemikiran yg dianutnya.

Tinggalkan Balasan ke yodi Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.