Bagaimana mungkin ada orang yang terlihat alim, berpakaian layaknya ulama, merasa dekat dengan agama tapi berlaku kasar? Lalu menuduh orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya sebagai ahli bidah? Bahkan ada yang sampai melakukan aksi teror bom? Perlahan, orang seperti ini justru membuat masyarakat menduga: janga-jangan agamalah penyebab perbuatan mereka itu. Di sisi lain, masyarakat awam terkecoh dengan penampilan lahiriah mereka yang terkesan saleh.
Ada sebuah buku berjudul Al-Jihad Al-Akbar. Buku ini isinya kumpulan ceramah Ayatullah Khomeini sewaktu dia diasingkan ke Irak. Dalam salah satu ceramahnya, dia mengkhawatirkan para ulama, mubalig, ustaz yang melupakan penyucian diri dan pengajaran akhlak. Beliau bilang, “Waspadalah jika kalian mengira telah menunaikan kewajiban penting dengan mempelajari ilmu syariat dan merasa telah menunaikan kewajiban. Padahal jika jiwa kalian tidak mematutkan diri dengan keikhlasan, maka semua ilmu itu sama sekali tidak bermanfaat!”
Sejalan dengan itu, Habib Ali Zain Al-Abidin Al-Jifri pernah berceramah tentang hal serupa. Yaitu soal keikhlasan dalam meraih ketakwaan. Menurutnya, ada sebuah cara bagi kita untuk mengenal iblis. Yaitu kalimat: “Aku lebih baik darinya (anâ khairu minhu). Engkau menciptakanku dari api dan Engkau menciptakannya dari tanah.” Itulah tolak ukur iblis. Tetapi tolak ukur umat Muhammad saw. adalah bertambahnya ketenangan, kerendahan hati, kasih sayang, dan meningkatnya kebaikan terhadap makhluk lain.
Orang yang sampai pada tingkat pengetahuan dan keterikatan dengan agama—misalnya, pengetahuan membaca Quran, memahami syariat, atau terpanggil untuk bangun malam dan puasa di siang hari—tanda-tanda itu bukan dilihat dari penampilan. Tapi yang dilihat adalah hasilnya yaitu akhlak dan amalannya.
Ada ikhwan kita yang semakin terikat dengan agama, wajahnya malah semakin dihiasi dengan amarah. Semakin kasar terhadap orang lain. Semakin memandang hina masyarakat. Semakin kasar sama keluarganya sendiri yang kurang dekat dengan agama. Ketiadaan akhlak merupakan tanda dari kebohongan atas semua ibadah dan ilmu yang dimiliki.
Kenapa semua itu bisa terjadi? Dari mana asalnya? Bagaimana bisa perilaku orang yang dekat dengan agama seperti ini? Penyebabnya itu adalah kurangnya ikatan dan hubungan antara menjalankan amalan agama dan mencari pengetahuan dengan keikhlasan dalam melakukannya. Kita seharusnya sadar ada interaksi dengan Allah dengan menyadari karunia-Nya. Karenanya kita harus merenungi diri sendiri, tafakur, dan mencoba mencari kebenaran di dalam hati kita.
Misalkan kita keluar dari masjid atau selesai dari sebuah majelis. Di jalan, kita bertemu sekelompok pemuda yang nakal. Mengeraskan volume musik tidak baik dan menggangu masyarakat. Bagaimana sikap kita?
Apakah memandang dengan kasih sayang dan berkata dalam hati, “Orang ini belum mendengar apa yang kami dengar. Ya Allah, sebagaimana Engkau memperdengarkan kepada kami, perdengarkan juga kepadanya dan berikan kepadanya keberhasilan.” Lalu mengucapkan salam kepada mereka dan berjalan dengan tenang?
Atau karena sudah mendengarkan ceramah ustaz, jadi merasa memiliki sedikit ketakwaan dan kesalehan dalam diri kalian; sudah belajar banyak, sudah salat berjemaah, lalu melihat sekelompok pemuda dengan pandangan kasar lalu berteriak “A’udzubillah minasy syaitan! Perbuatan apa ini?!”
Kira-kira manakah yang berpengaruh baik dan membekas di hatinya? Inilah perbedaan antara ilmu rabbani, ilmu muhammadi dengan ilmu iblisi.
Alhamdulillah … Mohon untuk lebih sering memposting ya akhi … karena setiap artikel yg saya baca diblog ini sungguh banyak menambah wawasan keislaman dan Inspirasi setiap hari .. Islam apapun dan siapapun mazhabnya … jika kita yakin nabi kita satu , Al-Qur’an kita satu … Maka mustahil akan banyak perpecahan , kecuali memang kita terlalu mudah diadu domba oleh musuh islam ..
teriimakasih terimaksih terimakasih . . . . . .
PANJANG UMUR ………YA AKHI…..
TERUS BERBAGI INFO YANG BERMANFAAT