Salah satu definisi “kultus” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda. Pengertian ini masih sangat umum dan tidak menjelaskan lebih lanjut beserta batasan-batasannya tentang apa maksud “berlebih-lebihan”; sehingga belum bisa menjadi ukuran mutlak sebagai perbuatan yang tidak baik.
Dalam salah satu tulisannya, Dr. Muhsin Labib menyebut sebuah kelompok agama dominan Saudi yang melarang kita untuk mengkultuskan nabi dalam bentuk: tambahan sayidina dalam selawat, kalimat pujian kepada nabi dan keluarganya, maulid dan ziarah nabi. Hal itu mereka anggap sebagai sesuatu yang bidah dan tindakan “berlebih-lebihan” sehingga dapat menjerumuskan pelakunya kepada kesyirikan.
Tapi di sisi lain, keluarga kerajaan dan emir di negara Teluk tanpa risih digelari—sebelum nama-nama mereka—dengan tambahan sumuw al-amîr (سـمـو الأمـيـر, paduka pangeran), jalâlah al-malik (جـلالـة الـمـلـك, yang dipertuan agung raja), ma’âli walî al-‘ahd (معالي ولي العهد, junjungan putra mahkota), dan namanya diakhiri dengan doa hafizhahullah (semoga Allah melindunginya). Manakah yang kultus? Apakah memuji nabi yang kedudukannya telah ditinggikan Allah termasuk pengkultusan?
Dalam kajian akidah, kenabian (nubuwah) merupakan tema lanjutan setelah pembahasan ketauhidan, sekaligus juga pembahasan pendahuluan sebelum memasuki tema kepemimpinan dan hari akhir. Dalam bahasan ketauhidan kita tahu bahwa tujuan penciptaan manusia bukan hanya terhenti untuk dunia beserta kehidupan materinya saja, tetapi berlanjut terus pada alam yang kekal dengan berbekal spiritual yang lebih tinggi.
Lalu karena kelembutan-Nya, Allah Swt. memberikan panduan dan hukum-hukumnya yang sempurna yang disampaikan oleh para utusannya. Kebutuhan akan pembimbing dan aturan merupakan hal yang rasional, karena sejak lahir pun manusia butuh pembimbing dan undang-undang yang mengatur masyarakat. Hanya saja, manusia biasa memiliki keterbatasan, sehingga undang-undang buatan manusia pun akan mengalami amandemen atau perubahan.
Hanya Sang Khalik yang tahu secara penuh tentang seluruh makhluk-Nya. Karena itulah Dia mengutus para nabi dalam kerangka institusi kenabian. Manusia tidak memiliki hak untuk memilih pemimpin yang tugasnya justru membimbing manusia. Jika manusia tidak memilihnya, maka itupun tidak membuat lebih rendah, karena sifat kemuliaan melekat pada diri mereka yang diberikan langsung oleh Allah Swt. Di antara syarat kenabian yang patut kita ketahui, antara lain:
Pertama, kemaksuman. Artinya seorang nabi harus suci dari segala macam dosa, dan tidak terbatas hanya saat menyampaikan perintah agama. Segala perbuatannya hanyalah kehendak Allah dan diridai-Nya, bahkan ucapannya pun wahyu. Ia tidak mungkin berbuat maksiat, melanggar perintah Allah, berbuat salah, lupa, dan segala hal yang merendahkan.
Kedua, keilmuan. Seorang nabi harus mengetahui semua hukum baik itu untuk kebahagiaan akhirat maupun dunia. Ia tidak mungkin jahil terhadap persoalan apapun yang ditanyakan dan diperlukan manusia.
Ketiga, mukjizat, yakni perbuatan di luar kewajaran yang terjadi dari sebab-sebab tak biasa. Hal itu diperolehnya dari Tuhan dan tidak bisa dipelajari oleh manusia biasa, karena ia bukanlah sihir. Para nabi hanya melakukan mukjizat setelah ada keharusan sebagai pembuktian kenabian.
Selain tiga poin syarat tersebut, seorang nabi harus memiliki sifat sempurna seperti keberanian, kemampuan berpolitik, kepemimpinan, kesabaran, kepandaian, dan kecerdasan. Karena jika ada sedikit saja kelemahan maka ia tidak pantas untuk diikuti dan dapat menjadi pemakluman bagi manusia yang mengikutinya untuk juga berbuat kesalahan dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya kenabian. Kultus pada nabi, dalam arti memuja-muja dengan kekosongan makna, tidak akan terjadi jika kita memahami konsep kenabian.
Setelah memiliki kaidah yang tepat tentang kenabian dan kepemimpinan, maka kita tidak akan menganggap nabi atau imam sebagai Tuhan dan patut mempertanyakan riwayat-riwayat janggal seperti nabi yang tidur dengan seratus wanita dalam satu malam (1), nabi menampar malaikat maut (2), nabi lari sambil telanjang (3), nabi dalam keadaan ragu (4), nabi membakar binatang, nabi melukai dan mengutuk orang tak bersalah, setan datang mengganggu salat nabi dan nabi mencekiknya (5), nabi bermuka masam, dan sebagainya.
Untuk menjelaskan bahwa para nabi manusia biasa, tidak perlu dengan cara merendahkannya. Membaca kehidupan para anbiya yang beristri, makan, dan tidur sudah cukup membuktikan bahwa mereka adalah manusia (basyar). Wallahualam.
http://twitter.com/ejajufri/status/95690021536935936
Bacaan Lanjutan: ‘Aqaid Al-Imamiah (Muhammad Ridha Al-Muzaffar), Hamed Boyad Bedonand (Ibrahim Amini), Lesson from Al-Quran (Mohsen Qaraati)
Baca Juga:
Terkadang mendefinisikan sebuah perbuatan yg terlihat seperti menyembah atau bersujud kepada sesama mahluk bisa dianggap sebagai syirik , padahal jika kita melakukannya dengan niat merendahkan diri sebagai bentuk penghormatan …. bukanlah Syirik … Sujud menyembah ( Sungkem ) kepada orang Tua bukan berarti kita beribadah kepada mereka tetapi sebagai bentuk penghormatan dan adab untuk memuliakan mereka , sedangkan sujud dan menyembahnya kita kepada ALLOH SWT karena memang kita beribadah kepadaNYA dan kita yakin bahwa hanya DIA yg wajib disembah dan memiliki kekuasaan atas kita semua sebagai hambanya
Benar. Kita tidak bisa serta-merta menilai perbuatan lahiriah sebagai syirik dan orangnya sebagai musyrik, karena yg mengetahui adalah si pelaku. Ketika pelaku sudah meyakini bahwa ada kekuatan independen yg memberikan pengaruh selain Tuhan, barulah terjerumus dalam kemusyrikan. Wallahualam.
Betapa rendah ilmu yang kumiliki… Hal yang perlu pengkajian mendalam untuk memahami makna artikel sampean mas Eja… Terima kasih atas artikelnya, dan saya tak mampu berkomentar apapun karena pemahaman yang belum matang…
Waduh, jangan-jangan memang tidak jelas tulisannya. Hm… Singkatnya, kenabian harus dipahami sebelum meyakini nabi. Ini penting agar tidak bias. Kalau belum memahami kenabian jadinya seperti yg ada sekarang ini: yakin bahwa nabi berakhlak mulia tapi juga yakin kalau nabi bermuka masam.
Semoga bacaan lanjutan di atas bisa membantu atau mungkin nanti ada tulisan lain yg terkait. Insya Allah.
Saya masih belum bisa memahami penerapan kemakshuman para nabi [dgn definisi yg Anda sebut pada butir pertama syarat kenabian] dgn ayat2 Al-Qur’an yg menceritakan perbuatan Nabi Adam a.s. yg melanggar larangan Allah swt. sehingga membuat Nabi Adam & istrinya keluar dari surga.
Ayat2 Al-Qur’an yg berkaitan dgn peristiwa tsb menyebutkan redaksi “lupa”, “waswasa/godaan syaithon kpd Adam & istrinya”, “tidak memiliki ‘azm/tekad kuat”.
Tidakkah ayat2 tsb secara eksplisit bertentangan dgn unsur2 kemakshuman yg Anda definisikan? Mohon bantuan penjelasannya. Salam ‘alaykum.
Waalaikumussalam wr. Dalam beberapa kasus para nabi hanyalah meninggalkan apa yg lebih utama dari sebuah anjuran, namun bukanlah syariat. Terlebih peristiwa Nabi Adam a.s. bukan di bumi yg mana belum adanya taklif (pembebanan aturan).
Sekedar catatan, kedudukan para utusan Allah di antara mereka berbeda-beda (Q.S. 2: 253)
1) Sekalipun lokasinya bukan di bumi, Allah telah menetapkan 1 larangan atas Nabi Adam & istrinya; berarti itu 1 beban taklif.
2) Taklif tsb dinyatakan dlm ungkapan larangan (nahy) yg tegas, & berakibat pelanggarnya akan menjadi orang yg zhalim. Jadi, taklif tsb bukan suatu anjuran ke arah tindakan yg lebih utama (yaitu, menjauhi pohon) yg bila dilanggar, maka tidak berakibat kezhaliman pada diri pelakunya. Bahkan akibat pelanggaran tsb cukup serius, yaitu terbukanya saw-atuhuma & diperintahkan keluar dari surga tsb. Sekiranya itu hanya perbuatan yg tidak utama, tentunya tidak akan berakibat serius apalagi disebut sbg zhalim.
3) Dinyatakan pula adanya peran syetan yg menggoda Nabi Adam a.s. dgn bujukan kalimat dusta, tipu daya. Itu berarti tindakan Nabi Adam & istrinya adalah atas arahan pesan2 syetan; mereka berdua mempercayai godaan syetan. Saya tidak melihat di sini Nabi Adam melakukan perbuatan yg tidak utama, tapi lebih jauh bahkan ia melakukan perbuatan kesalahan menyalahi larangan Allah karena mempercayai godaan syetan. Allah pun bertanya retoris, “…tidakkah Aku telah katakan bhw syaithan itu bagi kamu musuh yg nyata?”. Nah, bagaimana bisa mempercayai godaan syetan yg merupakan musuh, lalu melanggar larangan Allah itu disebut sebagai “hanya meninggalkan apa yg lebih utama”? Saya tidak menemukan Al-Qur’an menyebut perbuatan Nabi Adam a.s. itu hanya sekedar “tidak utama”.
4) Apakah sebelumnya, Nabi Adam a.s. belum makshum, dan baru makshum setelah tiba di bumi?
Saya mengharapkan jawaban Bapak utk saya pelajari. Mudah2an bisa memuaskan pikiran saya. Salam ‘alaykum.
Meyakini nabi dalam kerangka kenabian meniscayakan keyakinan akan kemaksumannya, karena mereka adalah utusan yg tugasnya membimbing manusia. Jika memiliki cacat maka tidak layak menyandang gelar kenabian.
Apa yg saya maksud adalah belum adanya beban taklif syar’i. Adam alaihi salam hanya melanggar anjuran yg lebih utama. Seperti perintah “jangan lewat jembatan itu”, tapi ternyata dilewati juga, maka itu bukan dosa. Namun tetap memiliki konsekuensi (taklif irsyadi). Dalam kasus tersebut konsekuensinya adalah dikeluarkan dari surga, bukan dosa. Orang yg maksum akan merasa dirinya berdosa (zalim) meskipun ia hanya meninggalkan apa yg lebih utama.
Kemaksuman yg dimiliki para nabi tidak dipengaruhi oleh teguran atau kecaman, namun justru memperkuat bukti kemaksuman yg dimilikinya karena mereka adalah kekasih dan paling dekatnya Allah Swt. Bahkan malaikat yg terjaga (Q.S. 66: 6) pun bersujud.
Untuk pertanyaan terakhir saya belum bisa menjawab dengan pasti. Ulama berbagai mazhab, khususnya ahli kalam, berbeda pendapat. Ada yg mengatakan sebelum pengutusan sebagai nabi (dalam kasus Nabi Adam, di bumi) memungkinkan untuk berbuat kesalahan kecil (bukan dosa) yg tidak disengaja. Ada pula yg mengatakan tidak mungkin berbuat salah bahkan sebelum pengutusan.
Saya kira pembahasan cukup detail untuk dipelajari tentang kemaksuman ada di Mafahimul Quran karya Syekh Jafar Subhani tentang ishmah (di sini). Beliau membagi maksum dari kesalahan dan maksum dari dosa, tingkatannya (sebagaimana kedudukan nabi bertingkat, maka kemaksumannya juga bertingkat), maksum mutlak dan relatif, potensi (ikhtiar), dsb. Atau Anda juga bisa membaca tanya-jawab tentang kemaksuman di situs Islam Quest di sini dan di sini.
jawabnya nabi adam maksum semenjak d ciptakan.. karena peristiwa nabi adam memakan buah khuldi itu hanyalah untuk sebab / alasan di turunkan nya k bumi dan untuk d jadikan contoh pelajaran untuk anak cucu adam..
karena ALLAH memang sudah berkehendak untuk menurunkan nabi adam sebagai khalifah d bumi.. ini dalilnya..
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(syrah Al Baqarah 30)
1) “Orang yg maksum akan merasa dirinya berdosa (zalim) meskipun ia hanya meninggalkan apa yg lebih utama.”
—> وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ Yang pertama menyebut perbuatan “mendekati pohon tsb” sebagai “zhalim” adalah Allah swt bahkan sebelum perbuatan tsb terjadi. Istilah zhalim dlm istighfar Nabi Adam a.s. adalah mengikuti kategori yg sudah disampaikan oleh Allah sebelumnya. Jadi, istilah “zhalim” dlm doa Nabi Adam bukan karena ia merasa berbuat zhalim setelah meninggalkan yg lebih utama, tapi karena memang dari awal, Allah sudah memberi tahu bhw perbuatan tsb termasuk kategori zhalim.
Apakah perbuatan meninggalkan yg utama juga disebut perbuatan zhalim???
Apakah “mengikuti bisikan syetan” juga disebut sebagai “hanya meninggalkan yg utama”???
2) Bila Nabi Adam makshum, berarti ia dijaga oleh Allah; Bila dijaga oleh Allah, Nabi Adam a.s. mestinya tidak akan tergoda oleh bisikan syetan, yg diinfokan sebelumnya bhw syetan itu musuhnya. Ternyata, Nabi Adam bertindak melanggar larangan Allah karena godaan syetan. Saya melihat kontradiksi definisi makshum/keterjagaan (oleh Allah) dgn ketergodaan (oleh syetan) pada diri Nabi Adam a.s. Bagaimana ini?
3) Seorang nabi tidak mungkin berbuat lupa? وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا
Al-Quran menyebutkan Nabi Adam a.s. “nasiya” = lupa. Bagaimana? Apakah seorang nabi yg makshum tidak mungkin lupa kecuali bhw ia bisa lupa dalam hal memilih perkara yg tidak utama? فَتَشْقَى Ia bisa lupa bhw suatu larangan bila dilanggar bisa membuatnya celaka[!]
4) Seorang nabi tidak mungkin berbuat maksiat. Bagaimana dgn ayat berikut: وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى ? Yang menyebut Adam a.s. عَصَى (bermaksiat) itu adalah Allah, bukan Adam yg merasa bermaksiat dgn tindakannya yg “meninggalkan yg utama”. Bagaimana?
Saya belum membaca tulisan Syekh Ja’far Subhani; cukup berat bagi saya membaca tulisan berbahasa Arab. Tapi saya mohon Anda tidak bosan menanggapi pertanyaan2 saya. Salam ‘alaykum.
Kedudukan nabi dengan manusia biasa itu berbeda, sehingga dikatakan “kebaikan orang-orang baik adalah keburukan bagi orang yg didekatkan”, karena seharusnya ada yg lebih baik bagi mereka. Sesuatu yg bagi manusia biasa itu mubah atau makruh, misalnya, bagi muqarrabin adalah suatu yg seharusnya tidak dilakukan. Orang yg lebih dekat dengan kita akan langsung menerima teguran, kecaman, perbaikan dibandingkan dengan yg jauh. Dalam link yg saya berikan, jika sempat terbaca, juga disebut bahwa jika terdapat perbedaan ayat satu dengan ayat yg lain (karena dalam ayat yg lain disebutkan bahwa mukhlasin tidak tersentuh oleh setan), maka harus menghindari makna lahiriah. Juga disebutkan oleh para ulama bahwa yg dimaksud dalam ayat tersebut adalah derajat keadaman (kemanusiaan), bukan pribadi Adam sebagai seorang nabi, karena jika demikian bertentangan dengan maksud diutusnya nabi dalam konteks kenabian. Wallahualam.
dan di dalam Alquran ane juga belum pernah membaca, mendengar ada ayat yg menjelaskan bahwa” Keluarnya nabi Adam dari surga karena melanggar larangan tersebut” atau mungkin terlewat oleh ane kali yaaa.. mohon di tunjukkan akhi Reza jika sekira nya ada ayat yg berkaitan dengan perihal tersebut.
Ane lebih meyakini bahwa sesungguhnya adam dan keturunannya diciptakan Allah swt sebagai Khalifah di muka bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui.