Sayid Rizvi dan Mencaci Para Sahabat

Oleh: Sayid Muhammad Rizvi

Dalam khutbah kedua kali ini, saya ingin berbicara tentang hubungan antar-sesama muslim. Ia berkaitan dengan bahasa yang digunakan ketika berdialog, berdebat, atau berdiskusi dengan sesama muslim. Tema ini juga berkaitan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatullah Khamenei yang melarang penggunaan bahasa kasar terhadap istri dan sahabat nabi.

Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa fatwa ini bukanlah perkara atau aturan baru dalam mazhab, tetapi sudah ada sejak lama. Fatwa ini lebih kepada peringatan yang tepat pada masanya, sembari mengingatkan kepada hal-hal yang terjadi saat ini (kekacauan yang dilakukan Yasser Al-Habib dan fitnah Wahabi).

Fatwa yang sama juga telah dinyatakan sebelumnya oleh Ayatullah Sistani, khususnya dalam konteks konflik Irak. Kita mendapati bahwa perwakilan Ayatullah Sistani dan marjak lain di Najaf sangat menekankan pada hal ini. Mereka mengatakan bahwa ini adalah perbuatan ekstrimis minoritas di kalangan Wahabi untuk menciptakan ketegangan dan fitnah di kalangan suni-Syiah di Irak. Syiah juga telah berulang kali diingatkan untuk bersabar dan tidak terpancing provokasi yang musuh diciptakan.

Kita juga melihat dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini, dalam jawaban yang disampaikan Syekh Wahid Khurasani di Qum dalam pernyataannya tentang apa pandangan fikih Syiah terhadap muslim suni. Baru-baru ini, setelah fatwa Imam Khamenei, Ayatullah Makarim Syirazi dengan nada yang keras juga menyatakan perkara yang sama. Jadi apabila kita melihat fatwa-fatwa tersebut, jelas bahwa hal ini bukanlah perkara baru tetapi merupakan pandangan standar para pemimpin, mujtahid, dan fukaha Syiah sepanjang zaman.

Bagaimanapun juga fatwa ini tidak melarang kita untuk berdiskusi atau berdebat terkait dengan perbedaan suni dan Syiah. Ia bukan suatu isu untuk tidak lagi membicarakan tentang perbedaan teologi dan fikih yang ada, tetapi lebih kepada bahasa yang digunakan. Anda dibolehkan untuk berdebat tentang semua itu, tetapi jaga bahasa kalian. Gunakanlah gaya bahasa yang sopan, beradablah, dan ilmiahlah ketika mengkritik lawan bicara. Jangan gunakan perkataan yang kotor dan kata-kata cacian. Inilah pesan utama yang coba disampaikan para pemimpin dunia Syiah.

Allah Swt. berfirman dalam surah An-Nahl ayat 125: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah (wa jadiluhum) mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ayat ini tidak melarang bermujadalah, debat, berargumen, berdiskusi; tidak ada masalah dengan hal itu. Tapi pastikan semua itu dilakukan dengan cara yang penuh hikmah dan nasihat yang penuh dengan kebaikan dan dengan cara yang paling baik.

Begitu juga jika kalian membaca surah Al-An’am ayat 108, Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu memaki (tasubbû) sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

Janganlah kalian menggunakan kata-kata cacian terhadap tuhan yang mereka sembah selain Allah. Jika tidak, apa yang mereka lakukan? Mereka akan membalas dengan mencaci Allah. Ayat Quran ini sangat jelas. Bi ghairi ilmin. Mereka tidak sadar bahwa mereka sendirilah yang sedang mencaci Tuhan mereka.

Jadi penggunaan atau melakukan sab dilarang. Perlu saya sebutkan bahwa perkara mencaci dan melaknat adalah isu yang berbeda. Walaupun begitu, cara pelaksanaannya atau metodenya amatlah penting. Kita sudah sering kali membicarakan hal ini tentang tanggung jawab kalian dalam membahas isu yang kontroversial ini.

Saya akan berikan contoh tentang dialog yang sangat terbuka tapi bersahabat, dalam hal Syiah-suni adalah buku Al-Murajaat, yang merupakan surat-menyurat antara ulama Syiah Lebanon dengan ulama suni seorang rektor Al-Azhar ketika itu. Ini terjadi satu abad yang lalu dan jika kita melihat surat-menyurat itu dan jawaban dari kedua belah pihak mereka sangat berterus terang dalam isu yang dibicarakan dan tidak menahan diri dalam berhujah tentang akidah mereka. Tapi mereka tetap menghormati, bersahabat dan beradab dalam berhujah. Inilah yang patut kita contoh ketika berbahasa dengan muslim lainnya.

Semoga Allah Swt. memberi kita kebijaksanaan untuk melakukan apa yang kita perbuat dengan cara yang benar serta mendapat rida-Nya. Salawat!

Penerjemah ke Bahasa Melayu: Shia-Explained.com

12 respons untuk ‘Sayid Rizvi dan Mencaci Para Sahabat

  1. cara anda memberikan contoh berdiskusi dan berdebat yang baik pada artikel di atas dgn merujuk pada dialog sunni-syiah Al-Musawi sbgi contohnya sudah menunjukan indikasi mempromosikan mahzab dusta andA, yang berhasil mempengaruhi masy. awwam dengan dialog imajiner palsu yang dimenangkan oleh syiah… naudzubillah.. perlu anda ketahui!!! Al-Musawi si pencaci sahabat nabi dan yg meyakini Al-Qur’an telH BERUBAH di ayat 33 Al-Ahzb dlm dialognya itu tidK lebih adalah seekor sapi yang mencoba menggunakan akal manusia untuk berpikir.. si kazzab besar yang ilmunya saat ini sedang turun kepada orang2 seperti anda…!!!

    1. bos, klo belum apa2 ente sudah menuduh berdusta, apalagi tanpa dasar
      itu menunjukkan bahwa ente masih belum pantas untuk ikutan berdiskusi 🙂

    2. Nah, kalau berdiskusi yang seperti Bapak “Awal Mahigan” inilah yang dilarang.Mari kita maklumi, mungkin ia memang kurang berilmu..

  2. dahulukan islam di atas mahzab ======>>> judul yang bagus, sayang… ARTIKELNYA masih tetap mnggunakan pola kuno, sAMBIL MENYELAM MINUM AIR, sambil dusta promosiin Syiah..

    1. Sejak kapan label dakwah menjadi milik Anda dan orang semacam Anda sedangkan kelompok lain dikatakan promosi? Apakah mubalig, kiai, ustaz di Amerika juga Anda katakan promosi Islam atau islamisasi rakyat Amerika (sebagai padanan kristenisasi)? Blog ini blog perkenalan mazhab, bukan pensyiahan yg suni atau pensunian yg syiah.

      Kalau Anda belum pernah membacanya, saya sarankan jangan banyak berkomentar. Buku surat-menyurat dengan Syekh Salim Al-Bishri (Rektor Al-Azhar) justru menjadi salah satu dasar pengakuan mazhab Syiah Jafari oleh Al-Azhar. Baca di sini.

      Hanya yang berpikiran sempit yang menganggap bahwa dialog adalah urusan menang-kelah. Dialog adalah proses bertukar pikiran dan membuka kejelasan. Toh, kenyataannya Syekh Salim Al-Bishri tetap seorang ahlusunah.

  3. saya adalah orang awam yg baru mengenal islam…. setelah saya baca cmmnt para sahabat_sahabat…..saya merasa sedih apa ini akhlak yang di maksud dengan ajaran islam…..

    1. Mohon maaf atas komentar yg ada blog ini sehingga merisaukan. Terkadang perilaku pengikut tidak mewakili keyakinan. Ada tulisan lain terkait dengan hal tersebut, klik di sini.

  4. iya.., saya memang tak pandai berdiskusi… dan akhlak saya bukan berkata-kata tanpa tahu asal muasalnya…buku dialog Al Murajat diterbitkan setelah kurang lebih 20 tahun meninggalnya Almarhum Syekh Bisri, bisa anda tunjukan kepada saya bahwa buku itu mendapat pengakuan dari Syekh Bisri ? buku itu ditulsi secara sepihak dengan banyak kedustaan… buku itu lebih tepatnya buku “TANYA JAWAB” BUKAN “DISKUSI/DIALOG”, karena Syekh Bisyri oleh Al-Musawi digambarkan seperti seoranhg anak murid yang baru duduk belajar agama, sehingga setiap Al-Musawi menyebutkan Dalil-dali yang lemah, dhoif, dan palsu dalam kajian Ulumul Hadist, Syekh bisyri hanya ngangguk dan mengiyakan…naudzubillah…pertanyaan saya buat anda ? bisa anda tunjukkan kepada saya pernyataan Syekh Bisri bahwa dialog surat menyurat itu pernah terjadi ? bisa anda jawab pertanyaan saya : MENGAPA BUKU ITU BARU DITERBTKAN SETELAH LAMA BELIAU MEINGGALKAN DUNIA INI ? SEPINTAR-PINTAR KELEDAI MELOMPAT AKHIRNYA JATUH.. DAN KEPALSUAN BUKU INI DAN JAWABANNYA TELAH TERBANTAHKAN OLEH RISALAH YANG BERJUDUL “SUNNI YANG SUNNI”. jika Al-Musawi adalah Keledai yang pandai melompat, maka anda adalah keledai yang sama sekali tidak pandai melompat… anda baca kembali buku itu dan anda hanya akan menemukan tanya jawab bukan diskusi… so pernyataan anda “Hanya yang berpikiran sempit yang menganggap bahwa dialog adalah urusan menang-kelah. Dialog adalah proses bertukar pikiran dan membuka kejelasan. Toh, kenyataannya Syekh Salim Al-Bishri tetap seorang ahlusunah.
    saya jawab : “Hanya yang berpikiran sempit yang menganggap bahwa dialog adalah tanya jawab layaknya Murid dan Guru. Dialog adalah proses bertukar pikiran dan membuka kejelasan. dan ia harus disaksikan oleh para saksi. bukan mengarang-ngarang surat-menyurat, kalau pun ada surat-menyurat itu, maka seharusnta dialog itu diterbitkan ke sebuah ketika lawan dialog itu masih hidup agar dapat mengkonfoirmasikan kebenarannya bukan saat beliau sudah tiada.

    perkataan anda : Toh, kenyataannya Syekh Salim Al-Bishri tetap seorang ahlusunah…. iya.. dan beliau tidak pernah berbicara tentang syiah sedikitpun dan dialognya dengan Al-Musawi ?????? karena ia tidak dungu!!! tp ia adalah orang berilmu yang mampu menjelaskan KESESATAN SYIAH….

    1. tolong mas atau mba awal mahigan dijelaskan di mana letak sesatnya syiah? apakah org yg bersyahadat bs dibilang sesat atau kafir? hati2 lho nanti berbalik kpd anda.. lalu apa mas atau mba ini seorang ahlussunnah? ahlussunnah yg mana? diantara mazhab ahlussunnah sendiri masih byk perbedaannya kan, lalu yg paling benar yg mana..?? bisa tunjukkan apa ada kata2 ahlussunnah wal jama’ah dlm Al Qur’an atau Hadits? kpn munculnya ahlussunnah? yg sy tau jauh setelah Rasulullaah SAW wafat…. apakah anda tau siapa gurunya imam hanafi dan imam maliki? imam Ja’far Shiddiq as lah guru mereka, dan dr ajaran imam Ja’far inilah syiah imamiyah berpegang.. krn beliau merupakan Itrah Rasulullaah SAW yg kita wajib berpegang kpd mereka… sedangkan siapa kah imam2 mazhab ahlussunnah? mrk bukan Itrah Rasulullaah SAW…

  5. Maaf mau tanya kalau tentang laknat melaknat,kalau nggak salah dalam doa tawasul ada artian kata ttg melaknat mereka yang merampas hak(dari awal sampai akhir),di bagian2 akhir doa tawasul.yg saya tanyakan pertama,arti kata laknat itu merujuk pada siapa?cz yg saya tau(dari dangkalnya ilmu saya)sebaik2 doa adalah doa yg baik,walaupun memang “hak” tersebut memang dirampas)yg kedua, seberapa besar keutamaan doa tawasul tersebut? sungguh ini pertanyaan muncul karna kekurangtahuan&keingintahuan Saya. mksh ats tanggapannya…

    1. Laknat ditujukan kepada orang yg memang layak dilaknat, sebagaimana dijelaskan Alquran. Ada hal yg ingin saya sampaikan terkait laknat. Laknat dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kutuk. Kutuk sendiri diartikan sebagai menyumpahi (makian, nista, dsb). Hal ini berbeda dengan makna yg disebutkan dalam Lisanul Arab, yakni harapan agar si la’in dijauhkan dari kebaikan dan rahmat Allah. Sementara makian atau penistaan jelas dilarang dalam Alquran.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.