Oleh: Ayatullah Sayid Mahdi Shams al Din
Beberapa tahun yang lalu di bulan Ramadan, saya berkunjung ke sebuah negara Eropa untuk berceramah. Sekitar tanggal 8, 9, atau 10 Ramadan beberapa kawan mendatangi saya. Mereka mengatakan ada seorang pemuda dari Tehran, yang ibunya religius, ayahnya taat, dan dia sebenarnya juga saleh. Dulu dia datang ke Eropa dan sayangnya… sayangnya dia menjadi kristiani (Masihi). Allahu Akbar! Berhati-hatilah, wahai para pemuda. Tidak seorang pun yang dapat menjamin bahwa kita akan terus berada di jalan ahlulbait sampai akhir hidup!
“Apakah Anda berkenan kalau kami mengajak pemuda ini kepada Anda agar Anda bisa berbicara kepadanya?” mereka bertanya. “Tentu saja, bawalah dia. Untuk tujuan itulah saya datang ke sini.” Mereka akhirnya pergi dan beberapa hari berlalu tanpa kabar.
Saya bertanya kepada kawan, “Apa yang terjadi dengan pemuda itu?” Mereka meminta untuk melupakan dan jangan memikirkannya lagi. Saya katakan, “Tidak. Katakan apa yang terjadi?”
“Kami mendatanginya dan dia mengatakan suatu penghinaan dan tidak ingin datang.”
“Lalu apa yang dia katakan?”
“Dia mengatakan tidak suka dengan ulama dan tidak ingin bertemu mereka.”
Saya berkata, “Itu bukan sesuatu yang buruk. Saya sudah mendengar hal seperti itu di banyak tempat. Kurangnya pengetahuan akan melahirkan kata-kata seperti itu.”
Orang yang paling dikasihi dan pengasih kepada masyarakat dan bimbingannya adalah ulama. Jantung ulama berdetak agar ia bisa menjaga seseorang berada di jalan ahlulbait. Tentu ada juga yang tidak jujur; saya tidak berusaha menutup mata. Dalam setiap kelompok dan golongan, selalu saja ada orang-orang seperti itu. Begitu juga di kalangan ulama. Imam Khomeini berkata bahwa jika sebuah negara memiliki banyak dokter (jasmani) maka negara itu tetap tidak akan bertahan lama. Sedangkan ulama adalah dokter ruhani, bagaimana mungkin bisa bertahan tanpa mereka?
Di sini ada dunia, di sana ada akhirat. Orang yang mengatakan tidak ingin bertemu dengan ulama hari ini, sudah pasti jika Imam Mahdi datang esok hari, dia juga tidak ingin menemuinya. Cara dan niatnya sudah jelas. Saya berkata kepada kawan, “Baiklah, mari kita yang menemuinya.”
Ketika malam ke-19 atau 21 bulan Ramadan; saya tidak ingat dengan jelas… Di masjid kami salat dan buka puasa bersama, lalu membaca Doa Jausyan Kabir dan Ziarah Asyura. Mereka mengumumkan ada istirahat 45 menit sebelum saya berbicara dan ibadah lailatul kadar.
Saya berkata kepada kawan, “Sekarang waktu yang tepat. Bisakah kita pergi dan menemui pemuda itu?” Mereka khawatir dia akan bertindak kasar dan menghina lagi. Saya berkata, “Ucapan apa ini? Saya sama seperti Anda, tidak ada bedanya. Mari kita pergi.”
Sebuah mobil datang dan membawa kami ke pusat kota. Karena beberapa alasan saya tidak menyebutkan nama negara ini. Mereka membawa saya ke lantai lima sebuah apartemen dan di sanalah dia tinggal. Saya ketuk pintunya dan kawan saya yang berjumlah tiga orang diri di samping saya. Pintu terbuka dan di hadapan saya berdiri orang yang terlihat santun dan tampan. Dia memandangi saya dan saya bisa membaca apa yang ada di hatinya: “Orang-orang ini tidak bisa meninggalkan aku sendirian!”
Saya berkata kepadanya, “Wahai pemuda, saya telah bepergian ke banyak negara di dunia. Ke mana pun saya pergi, dan jika Anda bertanya kepada mereka tentang ciri-ciri orang Iran, mereka mengatakan orang Iran sangat ramah dan menghormati tamu. Anda orang Iran, saya orang Iran. Keramahan menuntut Anda untuk membiarkan saya masuk. Saya hanya akan duduk selama lima menit lalu pergi.”
Dia melihat saya lalu membiarkan kami masuk. Saya masuk ke sebuah ruangan kecil dengan sofa, lalu duduk. “Wahai pemuda, saya datang bukan untuk menasihati dan membantumu. Menasihati adanya di masjid. Ada sesuatu yang ingin saya tahu dan tanyakan. Jika berkehendak silakan menjawab, jika tidak maka jangan jawab. Pertanyaanku, dengan latar belakang religius di Tehran, bagaimana Anda menjadi kristiani di sini? Saya ingin memahaminya.”
Dia berkata, “Haruskah saya menjawab?”
Saya jawab, “Tidak. Saya sudah katakan Anda tidak harus menjawab jika tidak ingin. Jika lima menit waktu saya habis maka saya akan pergi.”
Saya memandanginya dengan seksama dan dia juga memandangku. Suasana menjadi hening. Kawan-kawan di sekeliling saya bergetar dan menanti apa yang akan dia katakan. Karena sudah menjadi bagian dari pendidikan, saya mempelajari sedikit psikologi dan tahu bagaimana harus bertindak. Kami saling memandang dan akhirnya dia berkata, “Saya akan mengisahkannya.”
Bagaimana kisah pemuda ini selanjutnya? Klik Halaman 2.
Semoga kecintaan keluarga kami kepada AHLULBAIT tidak akan pernah berkurang, sesungguhnya hanya perasaan cinta yang kami miliki.
terimakasih telah mengingatkan.
keren ceritanya….
nice story
luar biasa!!!!………………..terima kasih untuk kisah indah ini
waw..syiah sekali kisahnnye….
iya dong bung abdul, mana pernah sy dgr cerita2 ttg ahlul bayt ketika sy msh seorang sunni
ferick,@.. msh banyak cerita cerita keajaiban lain utamanya ttg penetapan sang imam yg tdk didukung dalil dalil nash dan juga bgmn mulanya pembatasan imam hanya dari turunan Husein……..silakan perbanyak baca buku-buku syiah, utamanya yg bhs arab atau parsi…(yg pasti cerita fiksi penuh keajaiban menakjubkan tsb tdk prnh antum temukan waktu anda msh suni dulu,).
salam,
cerita yg sangat menyentuh, boleh saya meng copas postinganx?
Subhanallah
LIKE THIS MUCH..
Subhanallah….aq tertegun dgn kisah ne
Semoga Allah sll melindungi anak keturunan kita dg ruh islam nya & semakin menguatkan iman islam kita amin…
‘ajib Ja..
ceritera palsu
MashaAllah!
Afwan ustad, sy izin copy arikel ini ya..
SUBHANALLAH …..Allahumma Shalli’ala Muhammad wa Aali muhammad 🌹اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ v اللّهمّ صلّ على محمّد واَل محمّد وعجّل فرجهم وأهلك عدوّهم من الجنّ والاِنس من الأوٌلين والأخرين. *اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّد*🍂 *اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّد*🌿🍃 *اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّد وعجل فرجهم*🌹🍄🌼🌸🌺💐🌷🌻