Asal usul perintah azan dalam Islam menurut ahlusunah dan Syiah memang berbeda. Menurut ulama Syiah, syariat azan diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi ﷺ melalui malaikat Jibril. Sementara menurut ulama ahlusunah, azan berawal dari mimpi salah seorang sahabat yang dibenarkan oleh nabi.
Lalu bagaimana dengan lafaznya? Apakah juga berbeda? Atau, adakah kesamaan di antara keduanya?
Menurut Syiah
Berdasarkan riwayat dari jalur keluarga nabi, para ulama Syiah seperti Syekh Shadūq dan Syekh Thūsī dalam kitab hadisnya menyebutkan jika azan yang disyariatkan adalah sebagai berikut:
Terjemahan | Lafaz |
---|---|
Allah Mahabesar (4x) | اللَّهُ أَكْبَرُ (٤) |
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (2x) | أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (٢) |
Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah (2x) | أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ (٢) |
Marilah salat (2x) | حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ (٢) |
Marilah menuju kemenangan (2x) | حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ (٢) |
Marilah menuju amal terbaik (2x) | حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَلِ (٢) |
Allah Mahabesar (2x) | اللَّهُ أَكْبَرُ (٢) |
Tiada tuhan selain Allah (2x) | لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (٢) |
Seperti yang terlihat, tidak ada syahadat tambahan mengenai ‘Alī bin Abi Thālib sebagai waliullah. Syekh Shadūq menegaskan, “Inilah azan yang sahih; tidak ditambah atau dikurangi… Tidak ada keraguan bahwa ‘Alī adalah wali Allah… akan tetapi hal itu tidak ada dalam azan yang asli.” Syekh Mufīd juga mengatakan bahwa azan hanya terdiri dari 18 kalimat. Sedangkan Imam Khomeini dalam Taudhīh Al-Masā’il menjelaskan, “Kalimat asyhadu anna ‘aliyyan waliullāh bukan bagian dari azan dan ikamah.”
Lalu mengapa muazin Syiah kini menambahkan kesaksian mengenai kewalian ‘Alī? Salah satu teori menyebutkan jika hal tersebut berawal dari berkuasanya Dinasti Safavi. Penguasa berupaya menanamkan keyakinan Syiah secara lebih kuat di masyarakat. Jika tidak melafazkannya akan dicap sebagai sunnī. Ironisnya, sebagian muazin justru “bertaqiyah” untuk menampakan keyakinan Syiahnya.
Penambahan syahadat ketiga itu juga bukan tanpa alasan. Selama Bani Umayyah berkuasa, Sayidina ‘Alī kerap dikutuk dalam mimbar. Karena itu, penegasan atas kewalian Sayidina ‘Alī menjadi penting. Selain itu, ada beberapa riwayat yang mendukung penegasan atas syahadat tersebut, sepanjang tidak diyakini sebagai bagian dari azan. Jika diyakini sebagai bagian dari syariat azan, mujtahid Muhaqqiq Al-Hillī mengatakan, “Sesuatu yang ditambahkan ke dalamnya adalah bidah.”
Oleh karena itu, perbedaan mencolok azan Syiah dengan azan yang biasa kita dengar hanya lafaz hayya ‘alā khair al-‘amal (marilah menuju amal terbaik). Bagaimana pendapat ulama ahlusunah mengenai lafaz itu?
Menurut ahlusunah
Imam Ahmad dan Abū Dāwud dalam musnadnya meriwayatkan asal muasal lafaz azan. Sahabat nabi ﷺ bernama ‘Abdullāh bin Zaid bermimpi sedang dikelilingi oleh seseorang yang membawa lonceng. Bermaksud untuk membeli lonceng untuk memanggil orang salat, orang dalam mimpi itu justru mengajarkan lafaz azan yang biasa kita dengar sebagai berikut:
Terjemahan | Lafaz |
---|---|
Allah Mahabesar (4x) | اللَّهُ أَكْبَرُ (٤) |
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (2x) | أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (٢) |
Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah (2x) | أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ (٢) |
Marilah salat (2x) | حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ (٢) |
Marilah menuju kemenangan (2x) | حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ (٢) |
Allah Maha Besar (2x) | اللَّهُ أَكْبَرُ (٢) |
Tiada tuhan selain Allah (1x) | لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (١) |
Pagi harinya, ‘Abdullāh menceritakan mimpinya kepada Rasulullah ﷺ dan beliau berkata, “Sungguh itu mimpi yang benar, insyaallah.”
Dalam Shahīh Muslim, ada juga riwayat tentang Nabi ﷺ yang mengajarkan azan kepada Abu Mahżūrah. Namun lafaz takbir pada bagian pertama hanya dua kali. Ada juga hadis yang menyebutkan jika lafaz syahadatain diucapkan pengulangan dua kali (tarjī’). Sehingga variasi lafaz azan menurut berbagai mazhab ahlusunah ada yang terdiri dari 15, 17, atau 19 kalimat.
Jumlah itu belum termasuk lafaz tambahan dalam azan subuh. Imam Ahmad dalam musnadnya menceritakan muasal lafaz itu. Suatu ketika Bilāl mengajak nabi salat, namun Rasulullah ﷺ masih tidur. Bilāl berteriak dengan suaranya yang paling keras (bi a’lā shautih), “Al-shalātu khairun min al-naum.” Dalam riwayat Imam Malik, orang yang masih tertidur itu adalah Khalifah ‘Umar. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dikatakan jika lafaz “salat itu lebih baik dari pada tidur” adalah sunah untuk dibaca dalam azan subuh.
Lafaz “salat itu lebih baik dari pada tidur” menurut para ulama termasuk tatswīb, yang berarti “kembali” atau “pemberitahuan setelah pemberitahuan”. Maksudnya, lafaz azan sudah mengajak “marilah salat” namun diulangi lagi dengan lafaz “salat itu lebih baik dari pada tidur”. Dalam Al-Umm, Imam Syāfi’ī tidak menyukai tatswīb.
Kitab ahlusunah juga meriwayatkan mengenai penambahan lafaz azan dalam keadaan kahar atau pandemi seperti saat ini. Lafaz azan tambahan itu seperti shallū fī rihālikum (salatlah di tempat tinggal kalian) atau shallū fī buyūtikum (salatlah di rumah kalian). Menurut ulama ahlusunah, hal tersebut diperbolehkan karena telah dicontohkan oleh para sahabat.
Bagaimana pandangan ulama ahlusunah mengenai lafaz “marilah menuju amal terbaik” yang ada dalam azan Syiah? Imam Baihaqī dan Imam Abū Bakar bin Abī Syaibah dalam kitab hadisnya menyebutkan bahwa lafaz “marilah menuju amal terbaik” merupakan bagian dari azan pertama kali (al-ażān al-awwal).
Disebutkan bahwa lafaz itu dihapus karena bisa membuat orang berpaling dari jihad dan merasa cukup dengan salat sebagai amal ibadah terbaik. Selain itu berbagai hadis lain yang disebutkan di atas, tidak menyebutkan lafaz tersebut. Ulama Saudi, Syekh ‘Abd Al-‘Azīz bin Bāz, mengatakan lafaz itu memang ada dalam riwayat ‘Alī bin Husain dan Ibnu ‘Umar. Namun dia mengatakan, “Membaca lafaz itu keliru, namun azan dan salatnya tetap sahih.”
Sebagaimana telah diulas di atas, tak dipungkiri terdapat perbedaan minor dalam jumlah kalimat azan dalam mazhab ahlusunah maupun lafaznya dengan mazhab Syiah. Namun kedua mazhab besar ini setidaknya memiliki dua persamaan. Pertama, sama-sama terdapat penambahan yang tidak diyakini sebagai bagian dari azan awal ataupun tidak diajarkan oleh Nabi ﷺ. Kedua, baik ahlusunah maupun Syiah, sama-sama bertestimoni bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sebuah kesaksian yang melandasi keislaman seseorang.
⚠ Artikel ini merupakan pengembangan dari artikel sebelumnya yang ditulis pada 1 Januari 2012.