Oleh: Sara Weissman
Dari setelan pakaian pebisnis sampai dengan kaos grup musik Gothic, kita tahu bahwa sebuah pakaian lebih dari sekedar kain. Apa yang kita pilih untuk kenakan adalah identitas tentang siapa diri kita, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita memilih untuk mewakili diri sendiri. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana kita menempatkan hati kita di bagian sisi pakaian, atau lebih tepatnya, sebuah bentuk ketaatan beragama di kepala. Konsep jilbab yang digunakan wanita muslim lebih sederhana dari yang kita lihat.
Tantangan sebagai editor untuk bulan ini adalah memakai jilbab selama satu hari. Hijab, yang secara bahasa berarti “penutup”, adalah etika kesopanan bagi wanita muslim di masa dewasa. Syarat mengenakan hijab adalah menutup sebagian besar tubuh termasuk rambut dan menghindari parfum serta pakaian ketat, transparan, atau mencolok.
Pilihan untuk mencoba memakai jilbab selama satu hari didasari banyak pengalaman internal dan eksternal. Mengingat fenomena mengerikan dan relatif baru seperti Islamophobia, saya ingin melihat apakah masyarakat memperlakukan saya dengan berbeda. Lebih dari itu, ia merupakan semacam cara untuk merefleksikan sebuah momentum sederhana ke dalam sesuatu hal yang lebih besar; sebuah amalan berarti bagi jutaan orang dan sebuah gagasan yang bisa mereka sampaikan tentang apa yang wanita yakini.
Sedikit latar belakang
Sebelum memakai jilbab, saya ingin lebih memahami dari mana sumber awal gagasan jilbab. Ada beberapa rujukan tentang jilbab dalam Alquran, seperti surah Al-Ahzab ayat 59 yang mengatakan: “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Hal demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Di tempat lain, surah An-Nur ayat 31, dikatakan, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘… hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka…'” dan seterusnya.
Setelah membaca paragraf di atas, batin feminisme Amerika Anda mungkin sedikit kesal. Saya juga. Faktanya, ayat itu sedikit mengeluhkan tentang dominasi karakteristik patrilineal (dalam kehidupan), sebuah hal yang juga saya perjuangkan ketika berdiskusi tentang kesopanan wanita dalam agama saya. Tapi banyak wanita muslim justru merasa berbeda. Bahkan mereka merasakan sebaliknya; merangkul jilbab sebagai sebuah kebebasan; berlawananan dengan ekspresi keterpaksaan terhadap iman mereka.
“Bagi saya, jilbab lebih dari sekedar kesopanan; ia membebaskan,” kata Sara Khalil, 25 tahun. Lahir di Arab Saudi, Khalil tinggal di Kanada dan menggunakan jilbab sejak tahun 2005. “Jilbab membuat saya menerima diri sendiri sebagai seorang individu di luar batas-batas kecantikan fisik dan daya tarik, dan kepercayaan diri yang independen dari penilaian orang lain,” katanya.
Samara Gabriel, yang masuk Islam pada tahun 2010 dan menjalankan blog bernama ImInItForTheScarves.com, memiliki pandangan yang serupa. “Tubuhku adalah hal pribadi. Milik saya,” katanya. “Tidak untuk dibagikan kepada dunia. Saya berpakaian untuk menyenangkan Tuhan, bukan laki-laki di jalanan.”
Keyakinan Gabriel ditegaskan kembali oleh sebuah insiden dengan editornya, ketika dia bekerja untuk sebuah surat kabar lokal. “Editor itu dengan marah berkata ‘Bagaimana kalau saya INGIN melihat kamu?’ Seolah-olah dia berhak atasnya. Itu adalah contoh tepat mengapa saya cinta untuk memakainya. Saya tidak merasa perlu lagi untuk mengibaskan rambut, memamerkan payudara atau bokong saya untuk menarik perhatian. Saya suka (lagu) Stupid Girls-nya Pink sebagai contoh dari maksud saya,” katanya.
Zara Asad, 19, menjelaskan bahwa jilbab juga merupakan ekspresi perjuangan spiritualnya. “Ia menutupi, kain yang melindungi hati saya dari kotoran yang masuk,” ujar Asad. “Ini perisai saya. Setiap hari adalah pertempuran melawan diri sendiri dan berjuang memperbaiki gangguan di sekitar. Ia merupakan bagian penting dari diri saya.” Asad mulai memakai jilbab ketika dia berusia 17 tahun. Meski ibu dan saudarinya yang berasal dari Pakistan memakai, dia sempat takut dengan apa yang teman-teman dan masyarakat dominan kulit putih, New Jersey, pikirkan. Tapi setelah memakai jilbab, Asad tak akan melepaskannya. “Ketika pertama kali memakai jilbab, saya merasa sebagai seorang muslim untuk pertama kalinya di depan publik,” katanya. “Saya seperti bisa bernapas untuk pertama kalinya.”
Hal lain juga terkait dengan identitas yang berasal dari jilbab. “Jilbab kami adalah penutup yang sopan sekaligus lambang identitas,” kata Rania Abuisnaineh, wanita berusia 20 tahun dari Minnesota dengan keluarga yang berasal dari Hebron. “Orang segera mengenali kita sebagai muslim ketika melihat kita mengenakan jilbab, sama seperti mereka mengenali pria Yahudi dari yarmulke atau seorang Sikh dari serbannya.” Namun bagi dia dan lainnya, makna jilbab lebih dari sekedar identitas dan kesopanan, tetapi keyakinan bahwa ia adalah hukum Tuhan. “Ketika orang-orang bertanya mengapa saya memakai jilbab, jawaban pertama saya selalu: ‘Karena ini perintah Allah; dan Dia tahu apa yang terbaik bagi makhluk-Nya lebih dari yang makhluk tahu bagi dirinya sendiri,” ujar Abuisnaineh.
Reaksi-reaksi terhadap jilbab dalam dunia modern dapat beraneka ragam dan beberapa muslimah dapat melihat putusnya hubungan (ketidaksinkronan) antara siapa mereka sebenarnya dan seperti apa mereka diterima (di masyarakat). Shameela, lahir di India dan sekarang tinggal di Qatar, telah melihat bagaimana persepsi ini dikalahkan. Sebagai salah satu dari sedikit muslim di kotanya, dia mengenakan jilbab sejak usia 12 dan berkata bahwa ketika kuliah, teman-temannya melihat sisi baru muslim melalui aktivitasnya di universitas. “Mereka jadi tahu bahwa jilbab bukanlah simbol penindasan, dan memakainya tidak membuat wanita menjadi lebih rendah.” Hind Yousef Khalifa, penduduk yang tinggal di Abu Dhabi, menjelaskan hal ini. “Jilbab tidak menghentikan wanita dari melakukan segala aspek kehidupan sehari-hari,” ungkapnya. “Kami belajar, mengemudi, bekerja, jalan bersama teman, kami juga relawan, melakukan pekerjaan masyarakat, dan sangat aktif di masyarakat.”
Sehari bersama jilbab
Dengan semua kata-kata perempuan tersebut di pikiran saya, pada Rabu pagi selama istirahat musim dingin saya memutuskan untuk memakai jilbab. Saya berdiri di depan cermin, menatap kain merah marun tergenggam di satu tangan dan tiga peniti di tangan lainnya. Mengikuti cara-cara pemakaian dari YouTube, perlahan-lahan saya terbungkus sampai akhirnya kain itu menyerupai jilbab. Saya melihat cermin, merasa bangga juga merasa sedikit canggung dalam balutan jilbab marun yang melekat dan terpantul pada cermin yang memandang balik.
Dengan gugup, saya keluar hari itu seperti biasa. Saya mengantar keluarga ke dokter, melihat foto-foto tua bersama ibu, dan menghabiskan sisa hari di Fashion Island, mencari kado Chanukah dan jalan bersama nenek. Tapi, saya merasa berbeda. Meski ini bukan agama saya, tapi tiba-tiba saya merasa harus merefleksikan apa yang jilbab ini tampilkan. Saya mencoba jalan lebih teratur, tersenyum pada orang asing, dan menyelipkan kata “tolong” dan “terima kasih” lebih banyak di setiap kalimat kepada pegawai toko Macy’s. Meski merasa berbeda, entah bagaimana memakai jilbab membuat saya merasa lebih nyaman. Mengingatkan saya pada pagi-pagi ketika memakai sweter longgar kesayangan, yang membuat saya merasa sangat santai dan relaks dalam bergerak. Ada ketentraman tersendiri dalam perasaan, seperti tidak harus terlihat menarik bagi setiap orang.
Pada saat yang sama, memakai jilbab menarik perhatian yang tidak diinginkan. Berjalan sepanjang Fashion Island menghasilkan tatapan panjang, sebagian besar penasaran, beberapa lainnya permusuhan. Seorang pria terus menatap setelah saya melihat matanya, sementara seorang wanita pelayan toko, berbicara dengan pembeli lainnya, berbicara singkat dan sama sekali tidak melihat mata saya. Tapi, hal yang menakjubkan adalah jumlah tatapan aneh itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah senyuman. Sepanjang hari, saya mendapat senyum lebar dari orang yang tak dikenal.
Saya ingin katakan bahwa saya mencapai beberapa kesimpulan yang luar biasa setelah merenungkan pengalaman dan melepas jilbab pada malam itu. Apa yang saya pakai lebih (dari sekedar) sederhana, tapi saya masih memikirkannya. Selang satu hari, saya tidak menganggap bahwa saya tahu bagaimana seorang wanita mengenakan jilbab: bagaimana rasanya, apa yang mereka yakini, atau bagaimana mereka diperlakukan. Namun, saya mengakhiri hari dengan terkesan kepada para wanita yang ingin menyembunyikan bagian dirinya tapi pada saat yang sama bertahan, demi Tuhan dan agama mereka.
Akhirnya, pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah pakaian dapat berupa kain atau ia dapat merefleksikan keinginan pemakainya. Bagi wanita muslim, jilbab adalah pengingat bahwa penggunannya selalu bercita-cita ke arah yang lebih baik dalam menjalankan agama. Pesan yang saya dapatkan dari sehari bersama jilbab adalah kita dapat mengubah pakaian, tapi yang lebih penting adalah pakaian dapat mengubah kita. Pertanyaannya adalah apa yang ingin kita tampilkan dari pakaian itu?
Penerjemah:
- Ali Reza Follow @ejajufri
- Dewi Antariksa Follow @DewiZenith
Sumber: Hijabi for a Day, ditulis oleh putri dari Lee (Tzvi) Weissman untuk sebuah surat kabar komunitas Yahudi.
Baca Juga: