“Bagaimana kalau besok saya mati?” Banyak dari kita tidak senang mendengar kalimat seperti itu, apalagi jika yang mengucapkannya adalah kerabat. Padahal memang demikianlah sifat kematian; ia tidak mengenal waktu karena tidak perlu menunggu besok. Juga tidak mengenal usia karena bisa mendekati yang tua dan muda. Ia juga tidak mengenal tempat. Ada yang tewas karena peluru nyasar bahkan kesetrum saat berjalan di trotoar. Ada pula yang tewas akibat jembatan putus di Kalimantan yang berasal dari Jawa.

Hal apa yang paling dekat, tanya Imam Ghazali. Kematian adalah jawabnya. Ia begitu dekat bagi makhluk apa saja tanpa mengenal warna kulit, bentuk fisik, kualitas akhlak, agama, apalagi label mazhab. Bahkan ateis yang menolak Tuhan pemberi kehidupan tidak mampu menolak kematian. Tapi kita relatif tidak senang mendengar kenyataan melalui pertanyaan itu. Kita akan mengatakan, “Ah, jangan bicara seperti itu.”

Mengapa kita cenderung takut dengan kematian? Syekh Qaraati pernah memberi analogi perjalanan jauh. Jika kita ingin pergi ke luar negeri yang jauh dan tidak menyiapkan bekal yang cukup seperti pakaian, uang, kompas, dan peta, maka akan muncul dalam diri kita rasa khawatir dan takut. Tapi jika kita pergi ke negeri yang tidak kita kenal namun memiliki bekal cukup maka akan muncul kesiapan dan rasa tenang. Begitu juga halnya dengan bekal kematian.

Setelah bekal barulah kita coba melihat makna kematian melalui hadis qudsi yang dikutipkan dalam buku Jalaluddin Rakhmat.[1] Ada seorang raja zalim yang sakit. Para tabib meminta raja agar mengucapkan salam perpisahan, sebab ia tidak bisa disembuhkan kecuali dengan sejenis ikan. Sekarang ini bukan musim ikan itu muncul ke permukaan laut. Tuhan mendengar itu dan memerintahkan malaikatnya untuk menggiring ikan-ikan agar muncul di permukaan. Raja akhirnya dapat memakan ikan dan sembuh.

Pada saat yang sama ada seorang raja adil yang sakit. Para tabib juga mengatakan bahwa obat dari penyakitnya adalah ikan yang sama. Tapi jangan khawatir karena sekarang ini musim ikan itu muncul ke permukaan laut. Tapi Tuhan memerintahkan para malaikat untuk menggiring ikan-ikan masuk ke sarangnya. Raja yang adil itu pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Di alam malakut sana, para malaikat bingung seperti kita juga. Mengapa doa raja adil tidak terpenuhi, sementara doa raja zalim dipenuhi? Kemudian Tuhan berkata, “Walaupun raja zalim itu banyak berbuat dosa, pernah juga dia berbuat baik. Demi kasih sayang-Ku, Aku berikan pahala amal baiknya yang belum Aku balas supaya dia datang kepada-Ku hanya dengan membawa dosa-dosanya. Demikian juga raja yang adil itu, pernah juga dia berbuat buruk. Menjelang kematiannya, masih ada dosa yang belum Kubalas. Maka Aku tolak doanya untuk mendapat kesembuhan, supaya bila dia datang kepada-Ku, ia hanya membawa amal salehnya.”

Catatan: Ditulis dua hari setelah wafatnya hababah Syarifah Zenah binti Muhammad Alatas. Alfatihah. This article to be updated in the next few hours

Gambar: © Empathie—

Baca Juga

Satu respons untuk “Berjalan Bersama Kematian

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.