Kematian merupakan tema yang sulit untuk dibicarakan apalagi jika berkaitan dengan ibu. Rasulullah saw. pernah menggambarkan bahwa satu tarikan nafas ibu tidak bisa terbalas oleh kebaikan seseorang. Itu sebabnya cinta ibu tidak dapat dinamai cinta karena cinta itu bisa layu sedang cinta ibu tidak pernah layu. Pengorbanannya pun tidak bisa dinamai pengorbanan, karena pengorbanan itu terselip dicelanya rasa sakit. Tetapi ibu, ketika berkorban untuk anaknya, begitu dia memandang mata anaknya maka tidak lagi dia merasa sakit.
Jangan duga hanya anak kecil yang menangis ditinggal ibunya. Orang dewasa, bahkan Rasulullah saw. pun menangis ditinggal ibunya. Di dalam suatu riwayat dikatakan bahwa satu ketika Rasulullah bersama sekian sahabat melalui tempat dikuburkan ibunya, dekat Madinah, di Abwa. Ketika beliau singgah para sahabat menjauh. Tiba-tiba terdengar suara tangis yang keras. Sayidina Umar yang mendengar itu takut. Ada apa nabi menangis? Setelah kembali beliau berkata kepada Umar, “Tangisku menakutkan engkau?” “Benar, wahai nabi.” Beliau saw. lantas menjawab, “Saya mengenang ibu.”
Apa yang dinamai cinta ibu itu berbeda dengan cinta ayah. Cinta ayah itu emosi, sedangkan cinta ibu itu naluri. Itu kata ilmuwan. Betapapun buruknya perlakuan seorang anak kepada ibunya, dia tetap cinta, karena cinta melekat pada dirinya. Itu juga sebabnya kita yang ditinggal oleh ibu telah kehilangan salah satu sebab penting untuk masuk surga. Karena rida Allah adalah rida orang tua khususnya ibu. “Rugi seseorang yang ibunya masih hidup dia tidak dapat kesempatan untuk masuk surga,” kata nabi saw.
Itu sebabnya saya katakan, kalau kita berbicara tentang kematian ibu maka terlalu rumit. Orang tetap dekat kepada ibunya walau dia sudah dewasa. Lihat saja anak-anak kita, walaupun sudah punya rumah, sudah punya tempat tidur sendiri, dia masih datang pada ibunya. Tetapi kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Seandainya ada yang hidup panjang, maka wajar sekali yang hidup abadi itu Rasulullah saw. Hanya saja bagi kita yang ditinggal oleh siapapun yang meninggal, selama kita yakin bahwa dia telah mengabdi dan memberi, maka kita yakin bahwa dia tidak mati. Dia hanya pergi. Dia masih ada, hanya tidak di sini. Kita masih bisa berhubungan dengannya. Bahkan banyak ibu yang menegur anaknya walau dia sudah tidak di sini. Dia menegur melalui mimpi.
Jadi kematian bukan ketiadaan. Itu sebabnya kita membaca Fatihah. Itu sebabnya kita menyebut nama-nama (dalam doa). Karena kita tidak ingin siapa yang kita cintai itu menerima kiriman yang bersifat umum. Kita ingin mengirim (doa) kita tujukan kepada dia dan dia tahu siapa yang mengirimnya. Kita tidak mau (cukup dengan) lil muslimîna wal muslimât. Tapi kita sebut nama-nama itu. Cukup banyak dalam kitab karya ulama kita yang menganggap sangat penting untuk menyebut nama-nama itu. Bahkan dalam kisah yang ditemukan dalam kitab tasawuf, ada beberapa ulama kita, orang tua kita yang melalui mimpi menegur kenapa si fulan tidak pernah mengirim doa dan Fatihah kepada saya.
Karena kita yakin bahwa kepergian manusia karena kematian itu tanda menuju kebahagiaan. Kematian itu—bagi orang-orang yang dekat kepada Allah—adalah rahmat dan ketenganan buat dia. Nabi pernah melihat satu jenazah lewat di hadapan beliau lantas bersabda, “Mustarih aw mustarah.” Ditanya oleh sahabat apa artinya? “Kalau seseorang itu baik maka dia tenang. Tapi kalau orang itu jahat, maka dia memberi ketenangan kepada orang lain.”
Jadi karena kita yakin bahwa tempatnya di sana lebih baik dari di sini maka kita legowo melepasnya. Kita rida karena Allah, kita optimis bahwa Allah rida terhadapnya. Wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Itu yang menenangankan setiap orang ditinggal oleh kekasihnya atau siapapun dia. Itu optimis yang ditanamkan oleh agama kepada orang-orang yang yakin akan rahmat dan kasih sayang.
Kalau tidak ada itu wajar menangis tanpa henti; wajar menggerutu; wajar menolak ketetapan Tuhan. Tapi karena ada hal itu kita yakin bahwa tempatnya di sana jauh lebih baik dari di sini. Karena itu orang yang ditinggal oleh kematian siapa yang dikasihinya janganlah egois. Lepaskan dia. Biarkan dia berangkat dan tetap jalin hubungan dengannya antara lain melalui pembacaan doa dan mengirim Fatihah. Berbuat baik kepada temna-temannya. Melanjutkan cita-cita dan perjuangannya. Itulah yang menjadikan siapa yang meninggalkan pentas dunia ini tetap hidup di sisi Allah.
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bermanfaat. Sekali lagi saya ingin secara khusus kita membaca Alfatihah untuk almarhumah. Mudah-mudahan mendapat tempat sesuai dengan kebesaran dan rahmat Allah, bukan sesuai dengan amalan beliau. ‘Alâ hadzihin niyyah wa li kulli niyyatin shâlihah, alfâtihah…
Catatan: Disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab dalam acara tahlil khatam Quran hababah, almarhumah Syarifah Zenah binti Muhammad Alatas.
Baca Juga
Izin Share ya Ustadz…