Tidak seperti biasa, saya cukup terburu-buru untuk pulang ke rumah pada hari ini (12/6). Lebih tepatnya menuju masjid dekat rumah. Hal ini karena Ustaz Husin Alatas, pengasuh Radio Silaturahim, akan mengisi ceramah bakda Magrib. Seperti yang sudah diduga, saya terlambat sekitar tiga puluh menit. Tapi saya bertekad, saya harus menuliskan sesuatu dari pembicaraannya—sesuai dengan ingatan dan pemahaman saya—karena saya tidak ingin sesuatu yang bermanfaat hanya dikonsumsi oleh diri sendiri lalu menguap begitu saja.
Sebelum lanjut, saya ingin cerita latar belakang bagaimana Ustaz Husin bisa ceramah di masjid dekat rumah. Dengar cerita, masjid yang baru direnovasi ini mulai kedatangan kelompok pengajian yang mudah sekali mengatakan haram, bidah, syirik, sesat. Muncul keresahan dan khawatir terjadi benturan, ada warga yang kemudian mengundang Ustaz Husin yang dikenal vokal menyuarakan persatuan umat. Keresahan akibat benturan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
Baik, ketika saya sampai dan duduk di selasar masjid, Ustaz Husin sedang membacakan surah Albaqarah ayat ke-129 yang berisikan doa: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Alquran sebagai penutup dan penjelas kitab-kitab sebelumnya tidak hanya berisikan petunjuk akan kebenaran, tetapi juga sebagai mîzân (QS. 4: 17). Mizan atau neraca ini berfungsi sebagai tolak ukur kebenaran. Ustaz Husin memberikan contoh terkait dengan hadis. Menurutnya, hadis cenderung bersifat subjektif. Klaim sebuah hadis untuk dijadikan sebagai ukuran kebenaran sangatlah sulit. Meskipun ilmu pendukungnya banyak, tetap saja hadis menjadi ladang bagi perbedaan pendapat. Ahli hadis yang satu bisa berbeda bahkan saling menyalahkan ahli hadis yang lain.
Jika kita ingin menggunting sebuah kertas tanpa garis penghubung, maka kemungkinan hasilnya akan lurus kecil. Orang yang melihat dari titik A mengatakan sudah lurus, tapi orang yang melihat dari titik B mengatakan belum lurus. Sehingga sulit untuk dipertemukan. Karena itulah dibutuhkan sebuah garis yang berfungsi sebagai penyambung, dan inilah salah satu fungsi Alquran.
Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk membaca dan menghapal Alquran. Tentu hal tersebut bagus, tapi sayangnya tidak berlanjut pada pemahaman dan pengamalannya. Selain itu, sedari kecil juga kita sudah sering diperdengarkan oleh hadis-hadis yang cenderung subjektif tadi. Sehingga hasilnya kita pun lebih senang membahas hal-hal fikih yang sudah tentu sebagai akibatnya memunculkan perbedaan. Kurangnya pemahaman akan Islam yang luas, membuat kita lebih keras terhadap orang yang berbeda pendapat. Tentunya, perbedaan ini lahir karena sebenarnya kita belum mendapatkan ilmunya.
Pada zaman Al-Makmun (?), ada seorang ulama yang mengkritiknya dengan kata-kata yang penuh dengan hinaan dan cacian. Setelah selesai ulama itu berkata kasar, khalifah balik bertanya, “Apakah engkau merasa lebih baik daripada Musa alaihi salam? Apakah saya lebih buruk daripada Firaun?” Ulam itu menjawab, “Tidak.” Lalu khalifah itu berkata, “Allah telah memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Firaun dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. 20: 44)
Allah tahu bahwa Firaun—meskipun diajak dengan bahasa lemah lembut—tetap tidak akan kembali beriman. Hanya saja justru hal tersebut yang akan menjadi hujah akan kezalimannya. Bayangkan jika Musa atau ulama tersebut datang dengan bahasa kasar, tentu Firaun akan berkata, “Bagaimana mungkin saya mau menerima ajakannya, sementara dia berkata kasar?” Sehingga dalam ayat yang disebutkan pertama tadi, selain ilmu yang diwakili oleh Alquran, seseorang juga harus memiliki hikmah, yakni kebijaksanaan dalam menyampaikan ilmu-ilmu tersebut.
Ada pengalaman yang disampaikan Ustaz Husin terkait dengan perbedaan penerimaan hadis yang menyebabkan perbedaan fikih serta bagaimana menyikapinya. Ketika Ustaz Husin berada di sebuah daerah dekat Mekah, beliau diminta untuk menjadi imam salat Magrib. Ketika itu beliau membaca basmalah dengan keras (jahr). Usai salat, salah seorang warga Mekah yang menjadi makmum protes. “Kenapa Anda membaca basmalah dengan keras?!”
Ustaz Husin menjawab, “Keras atau tidak, keduanya ada dalam hadis.” Orang Mekah itu tidak terima, “Tidak! Itu bidah!” Ustaz Husin berkata, “Untuk apa kita meributkan hal seperti ini?” Orang itu tetap bersikeras untuk mengatakan bahwa basmalah tidak boleh dikeraskan, “Karena ini sunah!”
Ustaz Husin mengatakan, “Anda ingin penjelasan? Baiklah, selama dalam perjalanan nanti akan saya jelaskan.” Ustaz Husin kemudian meminta orang Mekah itu untuk membuka Alquran dan melihat surah Alfatihah. Jumlah ayat dalam surah Alfatihah ada tujuh ayat, dan ayat pertamanya adalah basmalah. “Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Alquran yang agung.” (QS. 15: 87) Para mufasir sepakat bahwa tujuh ayat yang dibaca berulang adalah Alfatihah, sehingga jika basmalah tidak dibaca maka ia hanya menjadi enam ayat.
“Sekarang, hadis yang meriwayatkan tentang basmalah ada dua: mengeraskan bacaannya dan tidak. Hadis ini ada dalam satu kitab yang sama. Lalu, mana dari kedua hadis tersebut yang lebih sesuai dengan Alquran?” tanyanya.
Setelah diberikan penjelasan seperti itu, Ustaz Husin kembali bertanya, “Apakah kata ‘amin’ bagian dari Alfatihah? Jika tidak, mengapa Anda membacanya dengan keras? Lalu, berapa orang yang meriwayatkan hadis tentang membaca ‘amin’? Perlu diketahui bahwa kata amin bukan berasal dari bahasa Arab asli, tetapi diadopsi dari bahasa Ibrani. Saya tidak akan menyalahkan Anda karena membaca amin. Lalu mengapa Anda merasa sempit ketika ada orang lain yang membaca basmalah dengan keras?”
Lain cerita, ketika seseorang datang ke Afganistan yang di sana banyak bermazhab Hanafi. Ketika menjadi makmum dan imam selesai membaca surah Alfatihah, orang tersebut dengan lantang membaca amin. Sen-di-ri-an! Karena dalam mazhab Hanafi, membaca amin bukanlah sunah. Jika kita hanya ingin berbicara mengenai perbedaan, maka perbedaan tidak hanya terdapat di antara suni atau Syiah, tapi juga di antara pengikut Syiah dan di antara pengikut suni.
Pada bagian sesi tanya-jawab, ada beberapa pertanyaan yang menarik terkait dengan pembahasan Quran dan hadis. Jika kita hanya merujuk pada Alquran yang bersifat global, bagaimana dengan penjelasan dan rincian terkait dengan hukum perbuatan? Misalkan terkait dengan tata-cara salat? Menurut Ustaz Husain, hal pertama harus kita ketahui bahwa Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. 54: 17) Firman Tuhan tersebut lebih banyak berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan dan pelajaran dari umat terdahulu. Sementara ayat terkait dengan hukum amaliah hanya berkisar 500 ayat. Sehingga Alquran lebih mampu menambah keimanan kita pada Tuhan yang esa.
Hal kedua ialah, hadis berbeda dengan sunah. Kritik kita terhadap sebuah hadis tidak menjadikan kita termasuk pada golongan inkar sunah. Golongan yang terakhir disebut ini muncul karena ketidakmampuan dalam menilai hadis, baik sanad maupun matan, sehingga mereka melepaskan semuanya. Sebab sunah amaliah yang kita gunakan haruslah yang mutawatir.
Catatan: Bersambung, insya Allah.