Saed Qasemi, seorang dosen Universitas Tehran dan pengkaji pemikiran Imam Khomeini, mengatakan bahwa manusia saat ini berada di era yang meyakini akan terjadinya perang akhir zaman. Revolusi yang terjadi di berbagai tempat pada hari ini layaknya letusan gunung berapi yang menumbangkan para pemimpin satu per satu. Alquran meyakinkan kita bahwa kekuatan kecilpun mampu mengalahkan kekuatan besar.
Meski sudah berada di era komunikasi digital, di antara masalah yang muncul dalam revolusi ini adalah kurangnya komunikasi di antara negara-negara dan situasi politik internal yang tidak mendukung. Masih banyak orang yang belum memahami bahasa-bahasa utama, sehingga kita kesulitan dalam memahami situasi satu sama lain. Di samping semua itu, masalah lain adalah mengenai suni-Syiah. Oleh karena itu penting bagi kita untuk membangun pemahaman mengenai musuh bersama (common enemy).
Berbicara mengenai persatuan, Dr. Qasemi menekankan pentingnya memahami filosofi dari sebuah praktik ritual dalam ibadah, khususnya haji. Dalam ibadah haji, kita memiliki banyak kesamaan mulai dari slogan ibadah sampai dengan pakaian. Dalam haji, kita bisa dan harus berbuat baik terhadap semua orang meski mungkin kita tidak memahami bahasa mereka.
Meski di hari-hari awal peserta konferensi sudah berbicara mengenai persatuan, acara yang diselenggarakan oleh Vahdat-e Ummat ini juga membuat saya sedih karena perbuatan segelintir orang. Ketika memasuki waktu magrib, misalkan, peserta dari negeri jiran juga mengumandangkan azan kedua setelah azan setempat. Hal ini dilakukan karena dia meyakini tidak sahnya azan yang dikumandangkan oleh orang Iran. Tidak cukup dengan itu, ketika ratusan orang lain melaksanakan salat Magrib, sekitar tiga atau empat orang peserta membuat salat berjemaahnya sendiri.
Setelah salat, jemaah salat Syiah selalu membaca doa Wahdah. Doa persatuan ini mereka baca sembari saling menggenggam dan mengangkat tangan bersama-sama. Teman satu delegasi mendengar lisan-lisan dari peserta negeri jiran yang mengatakan, “Biar Syiah-Syiah ini masuk neraka!”
Meski tidak ada larangan dari panitia untuk memisahkan diri, tapi tentu hal-hal seperti itu tidak diinginkan. Keesokan harinya saya coba tanyakan ke pimpinan delegasi asal Malaysia itu, mengapa mereka tidak ikut salat berjemaah. Dia menjawab, “Kata ustaz kami rukun-rukun kita berbeda. Jadi kami ikut saja kata ustaz kami.” Sebenarnya pemimpin delegasi asal negeri jiran itu bisa menerima perbedaan dan cukup terbuka, terbukti pada hari-hari berikutnya dia mau untuk salat bersama dan memimpin membaca Quran cetakan Iran yang tentu tidak ada bedanya. Sayang, perbuatan dia tidak diikuti oleh anggota lainnya.
Kita semua yang sedang membangun persatuan tidak menginginkan kesan perbedaan ini. Beberapa ikhwan suni asal Iran, Pakistan, India, Mesir juga ikut salat berjemaah dengan imam salat bermazhab Syiah. Begitu juga dengan ikhwan suni asal Mesir dan India yang menjadi imam juga dimakmumi oleh pengikut Syiah. Persatuan bukanlah suni dengan suni, Syiah dengan Syiah, atau suni menjadi Syiah atau Syiah menjadi suni. Persatuan ialah suni dan Syiah yang berbeda dapat bersatu.
Catatan: Thanks to brother Khizer Shaikh for the photo.
Terima kasih Mas Reza atas sharing-nya. This post and the photo (included) really made my day!
Nice Post , akhi Reza , jangan tinggalkan apapun yang anda alami di Iran untuk dapat anda sharing bersama dalam Blog ini , semoga ALLOH selalu memberikan kesehatan dan kesempatan kepada anda untuk bisa berbagi informasi ini , thanks
Reza ahsan shering anda. For unity ummah . Terus lakukan ane selalu mendukungmu
Weleh weleh.. Begini ya.. Ketika Orang Berilmu memberikan Ilmunya hanya ada 1 Kalimat “Semoga ilmu itu Berguna Untuk Orang Lain”.. 🙂
Tulisan menarik. Tetapi maaf sekali, ada satu hal yang mengganggu penglihatan saya. Mengapa penulisan ‘Suni’ dengan huruf kecil(suni), sedangkan Syiah dengan huruf kapital(Syiah). Itu saja. Trims.
Sebelumnya pernah ada yg menanyakan hal yang sama, dan jawaban saya: Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan “suni” sudah demikian (juga dengan satu huruf n). Sementara Syiah saya hanya mengikuti kelaziman, tanpa ada tedensi tertentu. Saya juga lebih memilih menulis “ahlulbait” daripada Ahlul Bait atau Ahlulbait.