Disebutkan pada bulan Muharam, terdapat sebuah anjuran untuk membaca kisah tentang cucu nabi yang syahid di Karbala, Husain bin Ali. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi wasilah dengan cara meneruskan sebuah kisah tentang akhlak Husain bin Ali yang pernah disampaikan oleh Sayed Ammar Nakshawani. Kisah ini merupakan bukti bagaimana Husain bin Ali telah mempelajari akhlak kakeknya, Rasulullah saw., untuk mencintai pribadi yang bahkan belum dikenal.
Ketika Rasulullah saw. mendapat penghinaan dari kafir Quraisy, malaikat Jibril a.s. datang untuk menawarkan bantuan. Namun Rasulullah saw. menolak bantuan tersebut dengan mengatakan, “Tidak. Aku berharap Allah akan melahirkan dari sulbi mereka orang-orang yang akan bersungguh-sungguh pada persoalan (agama) ini.” Hal ini menujukkan bahwa Rasulullah saw. membedakan mana pelaku dan mana yang bukan. Lebih dari itu, Rasulullah juga memikirkan anak keturunan kafir Quraisy yang saat itu bahkan belum lahir.
Pernah suatu ketika setelah Ali bin Abi Thalib meninggal, seseorang dari Syam melihat Husain bin Ali lalu bertanya, “Siapa namamu?” Imam menjawab, “Husain.”
“Putra siapakah engkau?” tanya orang dari Syam itu. “Putra Ali bin Abi Thalib,” jawab Husain bin Ali. Seketika orang itu menjawab, “Semoga Allah melaknatmu dan ayahmu, Ali.” Bayangkan bagaimana jika setelah ayah kita meninggal, ada seseorang datang lalu melakukan hal yang sama kepada kita? Bagaimana kita akan menjawabnya? Kalimat “Semoga Allah melaknatmu dan ayahmu.” Orang Syam yang berkata itu bernama ‘Asa bin Mustala’.
Mendapat perlakuan itu, Imam menjawab, “Apakah angin negeri ini telah membuat dirimu sakit? Atau mungkin Anda sedang mempunyai perselisihan dengan istri? Apakah Anda punya rumah untuk bersinggah di tempat ini? Apakah tidak ada orang yang menyediakanmu pakaian? Mari datanglah ke rumah saya jika engkau orang asing di negeri ini.” Demi Allah, kata Sayid Ammar Nakshawani, orang Syam itu mulai menangis.
“Wahai Abu Abdillah, saya telah melaknat ayahmu di hadapanmu. Beginikah cara engkau membalas perbuatanku dengan menyediakan rumahmu untukku?” Imam Husain bin Ali menjawab, “Kami adalah keluarga Rasulullah dan beginilah kami berbuat. Orang lain mungkin bisa melecehkan kami, tapi kami membalasnya dengan akhlak baik karena kakek kami diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
Melalui tulisan di bulan Muharam ini saya ingin mengajak mereka yang belum mengenal Husain bin Ali atau tragedi Karbala di hari Asyura, untuk bersama-sama mencari tahu lebih dalam lagi, meskipun peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan peristiwa di Karbala.
Jauh sebelum Perang Nahwrawan di Karbala, salah seorang pasukan yang ditawan oleh Ali bin Abi Thalib sedang bediri. Pasukan yang ditawan itu telah kita kenal dengan baik namanya. Sebelum ditawan, dia telah memerangi Ali bin Abi Thalib pada hari itu. Di tangan tawanan itu ikatan yang sebenarnya tidak terlau kencang tapi mengganggunya. Husain bin Ali sedang melintas di hadapan tawanan itu, lalu tawanan itu berkata, “Husain, aku memohon kepadamu. Tolong bukakan ikatan di tanganku ini karena ia membuat tangganku gemetar. Tolong, bukakanlah…”
Imam Husain mendatangi ayahnya dan berkata, “Wahai ayah, saya punya permintaan.” “Apa itu?” Imam Ali menjawab. “Orang yang di sebelah sana itu, apa ayah melihatnya?” Imam Ali menjawab, “Ya, saya melihatnya.”
“Dia berkata ikatannya menyakiti tangannya. Saya tahu ayah tidak pernah mengikat dengan kencang tapi sepertinya ia kesakitan. Dia meminta saya untuk membukanya. Apakah ayah mengizinkan?” Ali melihat sejenak dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, silakan. Tapi, mengapa engkau ingin melakukannya?”
“Wahai ayah, ketika seseorang meminta kepadaku, bagaimana mungkin aku menolaknya? Saya tidak ingin orang yang meminta merasa malu.”
Ketika kita tahu siapa tawanan yang meminta untuk dibukakan talinya itu, seketika itu pula kita akan mengetahui betapa agungnya akhlak Imam Husain. Imam kembali kepada orang itu dan berkata, “Berikan tanganmu,” dan seketika itu pula Imam Husain membuka ikatan di tangan Syimir bin Dzil Jausyan.
Kenali Imam Husain dan ajak orang lain untuk mencintainya.
Baca Juga:
senang bisa mebaca tulisan-tulisan di blog ini. sehingga saya bisa sedikit tercerahkan tentang apa yang terjadi sebenarnya…
dulu saya hanya mengenal Rasulullah Muhammad, sahabatnya dan anaknya Fatimah Azzahra saya tidak pernah tahu tentang cucu dan keluarganya juga tragedi karbala. lalu di awal tahun 2013 di tahun pertama saya memasuki bangku kuliah ramai di perbincangkan tentang sunni dan syiah, tentang syiah itu sesat dan media pun mengambil peran menebarkan isu yang membuat umat islam saling mengkafirkan. bahkan beberapa teman yang saya kenal sebagai aktivis organisasi dakwah di kamupus saya mengatakan untuk hati2 terhadap mereka pengikut syiah…
saya yang awam ini hanya sedikit terpukul dengan perdebatan ini. ah, jika di suruh memilih sebagai umat Muhammad mana yang akan saya ikuti…??? saya juga baru mendengar tentang sunni yang ternyata sunnilah mashab yang selama ini saya pratikan dalam beribadah. saya hanya tahu saya seorang muslim umat Muhammad…
Terima kasih setidaknya tulisan ini bisa menjawab beberapa pertanyaan saya sehingga menghindarkan saya dari prasangka 🙂
Terima kasih atas apresiasinya. Saya pikir menarik jika pengalaman tersebut dituliskan.