Dalam berbagai kesempatan, banyak ragam cara manusia mengekspresikan perasaannya. Ketika bertemu dengan orang yang memiliki karismatik, ia akan tunduk karena perasaan segan. Menyaksikan idolanya di panggung, sambil melambaikan tangan ia akan berteriak dan melompat. Menyambut hari kasih sayang atau tahun baru, ia akan bahagia dan senyum dicampur tawa. Tapi semua kesempatan tersebut bisa diekspresikan dengan menangis. Menangis merupakan bahasa universal baik sebagai bentuk ekspresi syukur maupun kesedihan.
Berbeda dengan kebanyakan, sebagian muslim menyambut tahun baru justru dengan ekspresi kesedihan. Kesedihan dan ratapan yang dalam bahasa Arab berarti ‘aza, berubah menjadi Azadari (عزاداری) dalam bahasa Persia yang berarti bersedih dan meratap. Perlahan, kata ini menjadi istilah khusus untuk mengenang wafatnya cucu nabi, Imam Husain, di awal tahun baru hijriah. Selain bahasa tangisan, ada begitu banyak ekspresi kesedihan lain yang dipengaruhi oleh masing-masing kultur.
Ada pembacaan syair elegi yang disebut dengan marsia (مرثیہ), penampilan drama tradisional yang disebut dengan ta’zieh (تعزیه), pembacaan doa ziarah dan juga matam. Matam merupakan ekspresi kesedihan dengan cara memukul dada; mirip memukul kening sebagai ekspresi ketika kita lupa akan sesuatu. Ada banyak riwayat yang dijadikan sandaran untuk bersedih pada awal Muharam, di antaranya sabda nabi saw., “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali mata yang menangisi tragedi Husain dengan sungguh-sungguh…”
Pagi menjelang siang ini, saya keluar dari asrama menuju Azadi Square. Kata teman saya yang ahlusunah, di sanalah pusat Azadari kota Qazvin. Bus yang saya tumpangi menurunkan seluruh penumpang lebih awal di Mir Amad Square, karena jalanan menuju pasar sudah mulai ramai. Para penumpang bus berjalan beberapa kilometer untuk sampai ke pusat Azadari. Di pinggir jalan, sudah banyak orang yang menawari makanan atau minuman gratis khas Muharam yang disebut dengan nazri. Air mancur sudah berubah menjadi merah sejak beberapa hari yang lalu. Meski sudah melihat beberapa pawai, tapi saya merasa suasananya belum terlalu ramai.
Saya terus mengikuti pawai yang menyusuri jalan Peyghambariyeh, melewati museum Safavi, makam empat nabi, dan bangunan dari masa dinasti Qajar. Ternyata Azadi Square bukanlah pusat. Pawai Azadari ini seperti tak berujung! Saya terus berjalan melewati jalan Shohada dan Sepah, melewati Masjid Jami Atiq, hingga perempatan Montazeri dan Rah Ahan. Pawai ini dipenuhi manusia yang menyaksikan Azadari yang ditampilkan oleh setiap hussainia. Hampir seluruh warga kota ini memang menjalankan anjuran untuk tidak berdiam di rumah dan meninggalkan urusan keduniaan pada tanggal 10 Muharam.
Azan yang menandakan waktu zuhur tiba menghentikan kegiatan. Masing-masing kelompok pawai dari setiap hussainia mengumandangkan azan, untuk kemudian melakukan salat Zuhur berjemaah. Suhu di bawah sepuluh derajat ditambah kesendirian, menambah dingin udara yang saya rasakan. Saya segera kembali ke asrama setelah sebelumnya sejenak ziarah ke makam empat nabi. Di tengah jalan menuju pulang, saya melihat seorang wanita tua sedang salat sendirian di antara orang-orang yang lalu lalang.
https://www.instagram.com/p/Sc065Phsas/