Beberapa mahasiswa Indonesia mendeklarasikan tanggal 12 Mei sebagai Hari Kebangkitan Mahasiswa.[1] Pada tanggal tersebut tahun 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak di dalam kampus di saat mereka menuntut turunnya rezim Soeharto.[2] Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, pada tanggal 7 Desember 1953 (16 Azar 1332 hijriah syamsiah) tiga mahasiswa Universitas Tehran tewas ditembak polisi rezim Syah di area kampus. Saat itu demonstrasi mahasiswa ditujukan atas berlanjutnya hubungan Iran dengan Inggris dan Amerika Serikat. Bagian sejarah berikut saya terjemahkan dari Tehran Bureau.
Sejak tahun 1934, kampus dan universitas di Iran menjadi sarang aktivitas politik dan protes. Iran relatif menikmati kebebasan politik dan pers antara tahun 1941 dan 1953. Di antara organisasi politik yang utama adalah Partai Tudeh; partai yang beraliran komunis pro-Soviet namun dibalut dengan semangat nasionalisme. Untuk meredam pengaruh Partai Tudeh, Mehdi Bazargan yang saat itu masih menjadi dekan Fakultas Teknik Universitas Tehran membantu pendirian Anjoman Eslami Daneshjâyân (Asosiasi Mahasiswa Islam). Di masa yang sama, beberapa mahasiswa juga mendirikan Sosiyâlist hâ-ye Khodâparast (Para Sosialis Penyembah Tuhan), yang memperjuangkan keadilan sosial berbasikan sosialisme minus dialektikal materialisme. Kelompok politik lain seperti Jebhe Melli (Barisan Nasional) juga mendapatkan pendukung di universitas.
Kudeta yang dilakukan CIA dan MI6 pada tanggal 18 Agustus 1953 untuk menggulingkan pemerintahan Dr. Mohammad Mosaddegh membuat Syah Mohammad Reza Pahlavi kembali ke tampuk kekuasaan. Segera setelah kudeta terjadi, suasana yang sangat represif dan menindas terjadi di Iran. Kelompok universitas semakin meningkatkan protes melawan kudeta anti-nasionalis yang disponsori pihak asing.
Pada 15 November 1953, pemerintahan Syah Pahlavi mengumumkan bahwa Richard M. Nixon, wakil presiden AS, akan mengunjungi Iran pada tanggal 9 Desember 1952, untuk merayakan kejatuhan pemerintahan Mosaddegh dan kembalinya kekuasaan monarki. Kunjungan Nixon juga menyimbolkan dukungan penuh Syah untuk Amerika Serikat. Pada masa itu, semangat anti-Amerika rakyat Iran semakin menguat. Pada tanggal 5 Desember 1953, pemerintahan Syah juga secara resmi memulihkan hubungan diplomatik dengan Inggris.
Pada tanggal 6 Desember 1953, mahasiswa Universitas Tehran melakukan demo atas kunjungan Nixon, terlebih rencana Universitas Teheran untuk menganugerahi gelar doktor kehormatan di bidang hukum untuknya. Mereka meneriakkan “Minyak milik kita!”, “Kematian bagi Syah!” Pasukan Syah bernama Gârd-e Jânbâz menyerbu kampus dan menyerang mahasiswa. Demonstrasi memenuhi jalanan dan para tentara melukai dan menangkap para mahasiswa.
Pagi hari tanggal 7 Desember 1953, pasukan memasuki Fakultas Teknik, pusat protes, untuk mencegah demonstrasi lanjutan. Ketika tentara menangkap dua mahasiswa, seorang mahasiswa melompat ke atas meja dan meneriakkan pertolongan. Dekan Fakultas Teknik memprotes gangguan yang dilakukan tentara dan memerintahkan wakilnya untuk membunyikan bel yang membuat para mahasiswa berkumpul di aula. Menurut Dr. Abedi, 68 peluru ditembakkan. Tiga mahasiswa—Mostafa Bozorgnia, Ahmad Ghandchi, Mehdi Shariatrazavi—tewas. Dr. Mostafa Chamran (1932-1981), Menteri Pertahanan Iran pertama setelah revolusi Islam, yang saat itu menjadi mahasiswa Fakultas Teknik, menceritakan::
Aku bisa mendengar suara senjata mesin. Tiba-tiba keheningan yang mengerikan dan menyakitkan mengguncangku. Lalu, aku mendengar suara kesakitan (mahasiwa) yang terluka. Aku masih bisa membayangkan Fakultas Teknik pada hari itu dan hari berikutnya. Mengapa mereka menghujani universitas dengan peluru? Mengapa dan bagaimana tiga sahabat terbaik kami, Bozorgnia, Ghandchi, dan Shariatrazavi, menjadi syahid?
Harian Etela’at mempublikasikan laporan penyebab tewasnya tiga mahasiswa tersebut. Mostafa Bozorgnia tewas akibat peluru yang menerjang dada bagian kanan dan menembus ke tangan kirinya. Dia juga luka akibat tusukan sedalam 15 sentimeter. Shariatrazavi tewas akibat senjata tajam yang menghancurkan tulang paha kanannya. Dia juga terkena peluru di tangan kanannya. Ahmad Ghandchi, tewas akibat peluru di bagian perut dan menghancurkan organ dalamnya. Ghandchi juga mengalami luka bakar. Peluru menghancurkan pipa air panas yang mengenai tubuhnya.
Jendral Fazlollah Zahedi dari pemerintahan Syah mengklaim bahwa perintah tebak diberikan karena rasa emosi dan gelisah yang ditimbulkan dari teriakan mahasiswa. Meski demikian, pejabat yang sama kemudian dipromosikan karena “jasa” yang diberikan kepada negara! Pemerintahan Syah melarang peringatan wafat (tahlil—pent.) pada hari ketiga dan ketujuh setelah wafatnya seorang Syiah. Tapi karena tekanan publik, peringatan hari ke-40 diadakan di Emamzadeh Abdollah, tempat Bozorgnia dan Ghandchi dimakamkan, namun tidak diperbolehkan adanya ceramah. Untuk menenangkan keluarga tiga mahasiswa, Syah menawarkan biaya perjalanan ke Irak untuk mengunjungi makam Imam Husain, cucu nabi saw. dan imam Syiah ketiga, yang menjadi simbol para syuhada. Keluarga menolak tawaran tersebut dan menulis surat protes.
Meskipun rezim monarki mencoba menghapus peringatan 16 Azar, namun tanggal tersebut tidak akan pernah dapat dilupakan dan ditetapkan sebagai Hari Mahasiswa (روز دانشجو) sekaligus simbol perjuangan mahasiswa Iran. Setiap tahunnya sampai hari ini, kelompok mahasiswa baik dari kelompok pro-pemerintahan maupun anti-pemerintahan melakukan demonstrasi, untuk menuntut perubahan maupun mengecam negara-negara agresor seperti Amerika Serikat dan Israel. Terkait tiga mahasiswa tersebut, Dr. Ali Syariati mengatakan:
Ketiga tetes darah di wajah universitas kita masih begitu segar dan hangat. Aku berharap dapat menutupi tiga api Ilahi dengan debu tubuhku yang terbakar. Tapi tidak, aku harus tetap hidup dan menjaga nyalanya di dadaku.