Saya tidak ingin melewatkan kesempatan jika teman-teman mahasiswa Iran mengadakan tur ke tempat bersejarah. Alasan klise pertama, karena kesempatan itu belum tentu datang dua kali. Tidak lama berada di negeri para mullah, saya juga ingin menginjakkan kaki di sedikit sudut negeri Persia; tidak hanya kelas dan asrama. Alasan penting kedua tentu karena biayanya jauh lebih murah jika harus berangkat sendiri. Jika ingin dicari kekurangannya, maka ia adalah tidak ditemukannya tantangan dan kesulitan dalam perjalanan.
Hari ini (29/3) bersama empat puluh mahasiswa lain dari sedikitnya lima negara, kami berangkat menuju ke sedikit lebih utara bagian Iran. Pukul 7.30, bus yang mengantarkan kami bergerak dari kota Qazvin. Qazvin sendiri sebenarnya sebuah kota yang sudah berada di bagian utara Iran. Namun karena letaknya yang tertutup oleh barisan pergunungan Alborz, membuat angin laut dari utara Iran tidak sampai untuk membuat udara Qazvin lebih lembab. Sehingga selama perjalanan di jalan bebas hambatan Qazvin-Rasht, yang terlihat hanyalah perbukitan kering berpasir.
Tidak hanya berpasir, pegunungan yang membatasi Provinsi Qazvin dengan Provinsi Gilan juga berbatu. Tapi bukit berbatu itu tidak menghalangi kehendak manusia untuk menembusnya. Bulan Januari yang lalu, bersama ayah, kami melewati Tohid Tunnel sepanjang tiga kilometer di Tehran yang merupakan terowongan terpanjang ketiga di Timur Tengah. Sedangkan di jalan bebas hambatan ini, terdapat sepuluh terowongan terpisah yang melobangi gunung dengan total panjang 5,5 kilometer.[1]
Kurang dari satu setengah jam, kami berhenti untuk sarapan di sebuah taman di daerah Manjil. Tempat pemberhentian ini persis di samping Danau Sefid-Rud yang di kelilingi bukit dengan “hiasan” 171 turbin angin. Meski memiliki cadangan minyak terbesar keempat di dunia,[2] Iran sadar bahwa bergantung kepada minyak sebagai sumber energi dan sumber pendapatan ekonomi bukanlah cara yang bijak.[3] Sebagai anggota Global Wind Energy Council, Iran juga berusaha untuk menjadikan tenaga angin sebagai sumber utama energi negaranya; selain juga meneruskan eksplorasi gas alam dan pengayaan uranium.

Melanjutkan perjalanan, hawa(*) dan suasana serupa Indonesia semakin terasa. Jalan bebas hambatan yang dilalui, diiringi dengan sungai jernih bewarna kehijauan. Perbukitan yang tadinya kering, mulai dihampari dengan rerumputan, dihiasi pepohonan hijau segar khas awal musim semi, dan diselimuti kabut tebal.
Pukul dua belas, kami tiba di tujuan utama, Qal’e Rudkhân. Kastel Rudkhan merupakan istana dengan 42 menara yang terbuat dari batu abad pertengahan dan berada di dua puncak gunung—masing-masing dengan tinggi 715 dan 670 meter—dengan luas sekitar 22.300 m². Menurut peneliti, kastel ini dibangun pada masa Dinasti Sasaniyah sezaman dengan masuknya Islam ke Iran. Di era Dinasti Seljuk, bangunan diperbarui dan menjadi komplek basis militer mazhab Ismailiah.
Di papan informasi depan kastel disebutkan bahwa nama lain tempat tersebut adalah Hesâmi, Segsâr, Šalšâl, dan Hezâr Pele. Nama yang terakhir disebut memiliki arti “Seribu Anak Tangga”, dan memang benar bahwa untuk mencapai ke puncak gunung pengunjung mesti melewati anak-anak tangga tersebut. Kesulitan di tambah dengan kondisi cuaca pada waktu itu sangat berkabut. Tapi juga menjadi sedikit ringan karena banyaknya pengunjung yang sedang berlibur tahun baru.
Dalam sejarah kastel ini, para musuh tidak pernah berhasil menaklukkannya. Tapi sekarang, para pengunjung berhasil memasukinya setelah berhasil mengeluarkan energi yang cukup besar dan uang 15.000 Rial untuk tiket.
Referensi:
[2] “CIA – The World Factbook”. Cia.gov. Diakses 29 Maret 2013.
[3] Khamenei, Ali. “Meraksi Ancaman Zionis.” Khamenei.ir. 21 Maret 2013. “…Pengaruh yang ditimbulkan oleh embargo juga lebih banyak disebabkan oleh ketergantungan ekonomi kita pada sektor perminyakan. Karena itu, ke depan, pemerintah mendatang harus memprioritaskan ekonomi tanpa mengandalkan minyak…”
Tidak pernah tau kalau Mas Reza ada di Iran selama ini. wow. Salam terhangat untuk seluruh saudara saudara di sana.. 🙂