Ketika kita berkunjung ke sebuah negara lalu kembali ke negara sendiri sambil menceritakan apa yang kita alami di negara tersebut, cerita kita tetap tidak bisa mewakili keseluruhan lahir-batin negara yang Anda kunjungi. Hal yang sama juga terjadi ketika, misalnya, seorang asing mengunjungi negara Indonesia—lalu kembali ke negaranya lalu menceritakan hal-hal baik dan buruk tentang (rakyat) Indonesia—atau saya sebagai orang asing mengunjungi negara Republik Islam Iran.
Terkadang untuk mengenali sebuah negara asing tidak selalu terkait dengan berapa lama kita tinggal di negara tersebut. Misalkan, seseorang yang tinggal di Iran selama sepuluh tahun tidak selalu berarti bahwa dia lebih tahu dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di Iran selama tiga tahun. Karena bisa jadi seseorang yang tinggal lebih lama tidak banyak berinteraksi atau memiliki interaksi yang terbatas dengan sendi kehidupan rakyat Iran.
Selama berinteraksi dengan rakyat Iran pun tidak menjadi jaminan bahwa kita mengetahui sepenuhnya tentang Iran; sebuah negeri yang memiliki kisah peradabannya sendiri selama ribuan tahun. Kita bertemu dan berbicara dengan sangat sedikit rakyat Iran yang masing-masing dari mereka memiliki pandangannya sendiri tentang kehidupan di negara mereka. Kita tidak menemukan satu pandangan yang sama dari puluhan juta rakyat Iran yang hidup saat kita berada di sana; belum termasuk ratusan juta orang yang telah meninggal dan generasi yang akan hidup di masa mendatang.
Saya bertemu dengan orang-orang yang sangat cinta dan bangga dengan negerinya; percaya kepada pemimpinnya; dan siap mengorbankan jiwanya untuk mempertahankan tanah air; sekalipun Iran memiliki segenap masalah. Saya juga bertemu dengan orang-orang yang sama sekali tidak percaya dengan pemimpinnya; meyakini bahwa tidak ada kebebasan dan demokrasi di negerinya; dan bahwa negara-negara lain seperti Indonesia, misalnya, memiliki kondisi dan kehidupan yang lebih baik.
Kelompok yang disebut kedua tersebut—yang mengatakan bahwa kondisi Iran lebih buruk daripada negara lain seperti Indonesia—misalkan, sebenarnya juga tidak sepenuhnya tahu dan memiliki informasi cukup tentang negara lain. Mereka hanya melihat sedikit dari kebaikan dan mengabaikan masalah-masalah yang dimiliki negara lain seperti Indonesia; yang belum tentu dimiliki Iran. Kitapun yang melihat Iran dengan kagum terkadang tidak melihat kompleksnya masalah-masalah yang dimiliki Iran.
Ketika saya menceritakan tentang apa yang saya alami selama di Iran, sangat mungkin semuanya berubah ketika saya sudah tidak lagi berada di negeri Persia ini. Saya menceritakan apa yang saya alami lalu mengambil hal-hal yang baik dan tidak meniru hal negatifnya.
Qazvin, Mei 2013
Benar sekali… dan itulah bedanya catatan gaya traveling dg analisis. Catatan perjalanan mencatat apa adanya. Dan pembaca pun seharusnya membaca dg apa adanya, tdk membuat generalisasi. Kadang orang menulis analisis hanya berdasarkan kata2 orang saja; misal kebetulan org Indonesia pernah ke Iran lalu bertemu dg seseorang yg memaki2 presiden (dan orang kayak gini berkali2 saya temui di Iran), lalu dia bikin analisis bahwa rakyat Iran tak percaya lagi pada sistem. Utk analisis kan perlu triangulasi data; obrolan dg warga lokal musti disandingkan dg data – literatur yg lebih valid. Misal, turn out vote pemilu, itu bisa jadi standar apakah rakyat Iran masih percaya pada sistem atau tdk.