Selain pembayaran zakat, kewajiban sosial lain yang digariskan dalam Alquran namun jarang terdengar adalah khumus. Kalau Anda masih ingat, setelah penyerangan terhadap pengikut Syiah di Sampang terjadi, kembali muncul beberapa tuduhan terhadap mazhab ini yang di antaranya terkait dengan khumus. Kelirunya, khumus yang diwajibkan Allah dianggap sebagai fee sebesar 20% untuk biaya jihad fi sabilillah.[1] Tuduhan ini sengaja dibuat untuk menakut-nakuti pemerintah beserta warga awam karena kini—sebagaimana yang kita ketahui—kata jihad menjadi istilah yang dikonotasikan dengan terorisme.
Padahal dalam surah Al-Anfal ayat empat puluh satu disebutkan bahwa khumus yang secara bahasa berarti “seperlima” harus diberikan kepada Allah, rasul, kerabat rasul, anak yatim, dan ibnu sabil. Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit berbagi pengalaman pertama membayar khumus beberapa tahun lalu, seraya mengawalinya dengan sedikit sejarah dan landasan fikih dalam Syiah.
Sejarah dan hukumnya
Khumus merupakan salah satu aspek yang diperkenalkan oleh kakek nabi, Abdul Muthalib, setelah beliau menemukan kembali sumur zamzam bersamaan dengan harta karun milik keluarga kakeknya, Nabi Ismail alaihisalam. Dalam mimpinya beliau diperintahkan untuk membagikan seperlima temuannya tersebut di jalan Allah yang kemudian berlanjut dalam tradisi keluarga nabi. Karenanya khumus pertama kali bukan diambil dari rampasan perang tetapi dari harta karun.[2] Dalam sahih Muslim kita temui kewajiban khumus untuk harta karun atau pendaman (wa fî ar-rikâz al-khums).
Khumus menjadi jarang terdengar kajiannya, apalagi kewajibannya, karena ayat yang memerintahkan hal tersebut turun di kala Perang Badar. Mayoritas ulama ahlusunah mempersempit makna dan menafsirkan kata ganimah—atau ghanimtum dalam ayat tersebut—semata sebagai hasil rampasan perang. Karena perang tidak terjadi maka kemudian khumus hanya disebut di kala kita mengkaji teori sumber pendapatan negara dalam kajian ekonomi makro islami.
Menurut para ahli bahasa, ganimah bukan hanya sesuatu yang diperoleh dari medan perang atau hasil rampasan perang. Dalam keuangan syariah, kita mengenal kaidah al-ghunmu bil ghurmi yang berarti setiap perolehan keuntungan mesti diiringi sebuah risiko. Para ulama Syiah malah mendapati dalam banyak riwayat bahwa kata tersebut mutlak berarti (segala) sesuatu yang diperoleh seseorang. Bahkan dalam surah An-Nisa ayat 94, kata maghânim digunakan sebagai perolehan keuntungan dalam bentuk pahala. Ayatullah Ja’far Sobhani mengatakan, “Jika pengertian kata itu bersifat umum, maka penggunaannya tidak dalam kasus khusus adalah untuk mengkhususkan pengertiannya dan mempersempit keumumannya… dan penggunaan kata itu untuk menyebut harta rampasan perang tidak dapat diabaikan.”[3]
Charity brings peace. Giving a little tzedaka/sadaqah/charity every day teaches our hearts and hands to give. http://t.co/uP93Vh2qpp
—
Lee Weissman (@JihadiJew) November 12, 2013
Disebutnya beberapa kata dalam hadis, seperti ‘ujamâ, rikâz, suyûb, arâm, menyiratkan bahwa nabi saw. memerintahkan untuk mengeluarkan khumus dari segala sesuatu yang diperoleh seseorang. Dengan kajian hadis dan sejarah, para ulama Syiah menyimpulkan beberapa hal yang wajib dikeluarkan khumus-nya, di antaranya: harta pampasan perang, barang tambang, harta karun yang mencapai nisab, hasil penyelaman barang berharga, harta milik yang bercampur harta haram, dan kelebihan pendapatan selama satu tahun yang disebut sebagai mata pencarian.[4]
Aplikasi perhitungannya
Karena itulah, wajib bagi setiap pengikut fikih ahlulbait untuk memiliki tahun khumus untuk menghitung kelebihan harta dari hasil usaha yang diperoleh setelah dikurangi segala kebutuhan dalam setahun. Tahun khumus ini bisa ditetapkan dari awal mulai menerima gaji atau awal membuka usaha, misalnya 25 Agustus atau 25 Ramadan. Maka kewajiban khumus-nya satu hari sebelum tanggal tersebut pada tahun-tahun berikutnya dilihat dari kondisi keuangan yang diperoleh dari hasil usahanya atau gajinya. Khumus ini tidak ada batas minimal, oleh karenanya berapapun jumlah sisa uang yang ada maka wajib untuk dikeluarkan seperlimanya.
Sementara barang, jika memang merupakan kebutuhan maka tidak dikenakan khumus, namun jika merupakan kelebihan maka yang berikutnya wajib dikeluarkan khumus-nya. Misalkan seseorang butuh dan sudah memiliki satu mobil, namun dia membeli lagi, maka mobil kedua ini yang merupakan kelebihan, wajib untuk dikeluarkan khumus-nya sebesar seperlima dari harga mobil tersebut. Tentunya jika uang pembelian mobil tersebut didapatkan dari hasil usaha. Jika hasil pemberian, hadiah, maskawin, warisan, maka tidak ada kewajiban khumus.
Meski demikian, uang atau harta yang sudah dikeluarkan khumus-nya tidak wajib untuk di-khumus-i lagi sekalipun tetap ada sampai beberapa tahun berikutnya. Jadi uang yang terkumpul pada tahun pertama hanya wajib dikeluarkan sekali saja di akhir tahun tersebut dan tahun berikutnya hanya wajib mengeluarkan khumus dari uang simpanan tahun kedua, dan begitu seterusnya. Misalkan, saya punya dua rekening di mana rekening pertama dananya berasal dari upah paruh waktu sementara rekening kedua dananya berasal dari gaji. Setelah melewati satu tahu khumus, jumlah rekening A sejumlah Rp 2.000.000,- dan rekening B sejumlah Rp 5.000.000,-
Dana mengendap di kedua rekening tersebut yang merupakan sisa dari hasil usaha digabungkan baru dikalikan 20 persen. Sebagaimana yang sudah dikatakan, kewajiban ini hanya sekali saja. Sehingga, jika total saldo tersebut sejumlah Rp 7.000.000 berarti jumlah khumus sebesar Rp 1.400.000. Jika total dana mengendap pada tahun berikutnya sejumlah Rp 15.000.000,- maka saldo yang akan dikeluarkan khumus-nya harus dikurangi Rp 5.600.000, yakni sebesar Rp 9.400.000,- yang baru didapat pada tahun berikutnya tersebut. Lalu bagaimana jika kita memiliki utang? Kita bebas memilih apakah membayar utang terlebih dahulu baru bayar khumus dengan konsekuensi berkurang atau menunda pembayaran utang dengan konsekuensi kewajiban khumus lebih banyak.[5]
Penyaluran khumus
Khumus tidak disalurkan untuk jihad fi sabilillah dalam pengertian perang. Berdasarkan ayat suci, khumus merupakan hak Allah, rasul, dzîl qurbâ, yatim, miskin, dan ibnu sabil. Penyaluran di jalan Allah maknanya adalah jalan yang bukan jalan pribadi tetapi untuk kepentingan umum. Sementara dzîl qurbâ adalah keluarga atau kerabat Rasulullah saw. dan pendapat yang kuat, anak-anak yatim, miskin, ibnu sabil yang dimaksud juga berasal dari kalangan kerabat nabi saw. Ath-Thabari dalam tafsirnya menuliskan, “Keluarga Muhammad saw. tidak halal menerima sedekah, maka seperlima khumus itu diberikan kepada mereka.” Ia juga menyantumkan di mana Mujahid berkata, “Sungguh Allah mengetahui bahwa di kalangan Bani Hasyim terdapat fukara, maka mereka diberi khumus sebagai ganti sedekah.”[6]
Lalu mengapa kewajiban khumus terpendam dan hak-hak keluarga dan keturunan Rasulullah saw. terlupakan?
Ayah saya pernah bercerita. Sejak awal terjadinya revolusi Islam di Iran, sudah ada kekhawatiran akan masuknya Syiah ke Indonesia. Kekhawatiran itu diungkapkan kepada seorang pejabat intelejen. Tapi pejabat itu meresponnya dengan santai, “Jangan takut… Syiah tidak akan laku di Indonesia. Zakat yang cuma 2,5 persen saja susah, apalagi 20 persen?!” Jadi, mengapa derma wajib Yahudi (tzedakah) dan Kristiani (tithe) sebesar 10 persen[7] dari pendapatan, tapi umat muslim hanya 2,5 persen dari seluruh hartanya setiap tahun?
Referensi:
[1] ^ Al-Battar, Saif (28 Agustus 2012). “Ini Dia Ajaran Sesat Tajul Muluk yang Disebarkan di Masyarakat Sampang”. Arrahmah.com.
[2] ^ Rizvi, Muhammad. “Khums: The Islamic Tax”. Al-Islam.org. “Thus the first khums was not given from the ‘spoils of war’, but from a buried treasure.”
[3] ^ Sobhani, Ja’far. Al-I’tishâm bil Kitâb wa as-Sunnah.
[4] ^ Turkan, Miqdad. “Khumus: Hukum dan Peranannya”. Al-Jawad.
[5] ^ Hasil tanya-jawab dengan lembaga Dana Mustadhafin. Untuk konsultasi dan tanya-jawab tentang khumus, kunjungi situs tersebut.
[6] ^ Lihat tafsir Ath-Thabari di situs Quran.Al-Islam.com.
[7] ^ “How do Judaism, Christianity, and Islam differ?”
Asww, klo menurut saya, zakat bukian hanya 2,5 % per tahun menurut ahlu sunnah. Itu hanya zakat perdagangan, sedangkan zakat mal banyak macamnya. Belum lagi zakat fitrah, shadaqah, waqaf, hibah, qurban, dsb. Jadi bukan karena ukuran 2,5 % nya, tapi minim pemahaman ilmu syariar dan keengganan untuk mengeluarkannya yang menjadi masalah. Asalkan umat islam rajin berzakat serta bentuk2 derma lainnya, dengan ukuran standar Ahlu Sunnah waljamaah pun sudah cukup untuk mengatasi problem sosial di masyrakat kita. WaLlahua’lam. Salam Kenal. Wassalam.
mas..ini masalah pembagian harta menurut agama syiah, jgn kaitkan dg zakat,shadaqah dlm agama islam yg sdh jelas nash nya.
Belum tahu, ya, kalau khumus itu distribusi harta dalam Islam, baik ahlusunah atau Syiah. Bedanya hanya pada objek.
blm tau kah khumus syiah beda dg khusmus islam ?
Judul blog Islam diatas mazhab tp isinya ke syiah2 an. Syiah itu gerakan politik ancaman bg NKRI, mirip HTI dsb, sy stuju syiah dilarang di IND mirip di MALAY , SUNI hrs brgerak cepat ,
semua akan lebih baik kalau kita berusaha
Lalu bgmn tanggapan tntg ritual br darah2 di hari asyura, apa memang itu dianjurkan dlm syiah?
Meski komentarnya tidak berhubungan sama tulisan, sementara baca Melukai Diri di Hari Asyura.
Salam
Bang Eja, bagaimanakah cara penyaluran khumus tsb? Apakah dibayarkan melalui BAZIS? Mohon penjelasannya.
Terimakasih
Salam. BAZIS atau BAZNAS tidak menerima penyaluran khumus. Saya hanya tahu Yayasan Dana Mustadhafin.