“Hai, teman. Apa kabarmu hari ini? Bagaimana, semua kegiatan hari ini? Lancar, kan?” Kita sering kali bertemu, berbicara, menghabiskan waktu bahkan biaya bersama dan untuk teman-teman, laki-laki atau perempuan, apapun latar belakang pendidikan bahkan apapun agama yang dianutnya. Tapi di sisi lain, kita tahu bahwa dunia tempat kita berinteraksi dengan teman-teman bukan dunia yang kekal.
Jangankan dunia itu sendiri, pertemanan yang kita bangun selama di dunia ini pun bukan sesuatu yang kekal. Ada kalanya sebuah pertemanan yang dibangun selama bertahun-tahun dapat begitu saja runtuh dalam waktu singkat, entah karena perkataan atau perbuatan yang kita pandang remeh sebelumnya. Lebih dari itu, pertemanan yang selama di dunia terlihat akrab pun ternyata tidak menjamin bahwa nanti, setelah tiba di hari yang tiada lagi kebohongan, akan membawa manfaat.
Berawal, saya tidak ingin kehilangan teman yang selama ini dijalin di dunia. Tapi dengan keyakinan bahwa dunia hanyalah sebuah jembatan dan bukan tujuan akhir, sementara kematian ada di depan mata… saya jadi bertanya-tanya, manfaat apa yang bisa kita hasilkan dari pertemanan selama di dunia yang sementara ini untuk akhirat yang kekal nanti?
Ketika ada seseorang yang hendak melakukan perjalanan, Rasulullah saw. memberikan nasihatnya: “Pilihlah teman, baru kemudian tempuhlah perjalanan.” Sedemikian pentingnya teman seperjalanan sampai beliau menganggap buruk orang-orang yang melakukan perjalanan sendirian. Lalu, jika perjalanan yang dilakukan di dunia ini mengharuskan seorang teman, bukankah dunia itu sendiri adalah sebuah perjalanan, yang Ali bin Abi Thalib a.s. gambarkan sebagai perjalanan panjang yang sulit?
Jika kita salah saat memilih teman seperjalanan lalu kemudian menyesal, kita bisa saja menjadikan hal itu sebagai pelajaran untuk tidak lagi salah dalam memilih teman perjalanan. Tapi jika kita salah memilih teman dalam melakukan perjalanan dunia ini lalu kemudian tiba saatnya di akhirat, bukankah tidak ada jalan untuk kembali selain penyesalan?
Celakalah aku. Andai aku dulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrab. Sungguh dia telah menyesatkan aku dari adz-dzikr padahal ia telah datang kepadaku. (Al-Furqan: 28-29)
Di dalam surah Perhiasan juga dinyatakan bahwa sebagian teman-teman akrab (al-akhillâ’) kita di hari akhirat nanti akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa. Ayat tersebut tidak menggunakan kata rafik atau sohib yang juga memiliki arti sahabat atau kawan. Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengartikan al-akhillâ’ (jamak dari kata al-khalil) tersebut sebagai “teman akrab yang persahabatannya telah masuk ke relung hati masing-masing”.[1]
Dari penjelasan tersebut kita menjadi tahu bahwa teman sebaik apapun di dunia ini bisa saja membawa pada keburukan di akhirat nanti, kecuali bermodalkan takwa, yang saling mengingatkan kita pada Allah Swt. Sebagaimana yang diperumpamakan oleh Rasulullah saw. bahwa teman yang baik dan teman yang buruk itu ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.[2]
Karena bukan seorang teman yang baik, maka yang menjadi pertanyaan di era akhir zaman ini adalah apa yang sekiranya bisa kita usahakan dalam membangun hubungan pertemanan yang tidak hanya bermanfaat di dunia tapi juga di akhirat? Please give us a real-world example.
Referensi:
[1] ^ E.H. Kartanegara. Republika.
[2] ^ Mianoki, Adika (9 April 2012). “Pengaruh Teman Bergaul”. Muslim.or.id