Meski terdapat banyak kelompok di dalam Syiah Islam, namun setidaknya dapat dibagi menjadi dua kelompok utama. Pertama, Syiah Imamiah (Jafari) yang terkonsentrasi di wilayah Iran dan Irak. Kedua, Syiah Zaidiah yang banyak berkumpul di negara Yaman dan hidup bersama para pengikut Syafii. Syiah secara umum, terlepas dari apapun sub-kelompoknya, memiliki keyakinan khusus pada masalah kepemimpinan (imâmah), yaitu seorang pemimpin atau imam yang merupakan keturunan Rasulullah saw. dari garis Fatimah.

Akan tetapi di antara kelompok tersebut juga memiliki perbedaan dalam banyak hal. Misalkan Syiah Zaidiah yang memandang bahwa imam yang lebih utama (afdal) berasal dari keturunan Fatimah, tanpa membedakan antara garis Husain maupun Hasan. Tetapi imam tersebut harus memenuhi beberapa kriteria khusus dan yang paling penting adalah menyatakan diri sebagai seorang imam. Jika pada suatu masa tidak terdapat imam, baik dari keturunan nabi atau bukan, namun ia adil—seperti Abu Bakar dan Umar—maka hal tersebut sudah cukup. Tapi jika pemimpin itu zalim, maka imam dari keturunan Fatimah harus bangkit dan menyatakan diri sebagai imam.

Muhammad Al-Baqir, saudara Zaid bin Ali, tidak sependapat dengan hal seperti itu. Mereka berdua adalah putra Zainal Abidin, Ali bin Husain. Putra Al-Baqir adalah Jafar Ash-Shadiq, sehingga Zaid adalah paman dari Jafar Shadiq. Namun Al-Baqir dan Zaid memiliki pandangan yang berbeda. Imam Baqir berkata kepada Zaid: “Jika yang kamu katakan benar, maka ayahmu, Zainal Abidin, bukanlah seorang imam. Sedangkan kita berdua adalah seorang imam.” Sebabnya Imam Ali Zainal Abidin tidak bangkit dan juga tidak menyatakan diri secara publik sebagai seorang imam. Beliau berada di rumah, tidak bangkit atau mengekspresikan pendapatnya dan bersedih karena musibah besar yang telah dialaminya. Hal ini berbeda dengan keberanian ayah dan keluarganya yang luar biasa di padang Karbala. Ini merupakan argumen yang kuat dari Al-Baqir.

Syiah Zaidiah yang memiliki kedekatan (pandangan) dengan muktazilah, khususnya dalam hal akidah, menetapkan beberapa persyaratan untuk bangkit. Syaratnya adalah jumlah orang yang bangkit harus sama dengan jumlah ahli Badar. Penganut Zaidiah adalah orang-orang yang revolusioner dan yang paling revolusioner di antara mereka tentunya adalah Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin yang bangkit melawan Hisyam bin Abdul Malik. Imam Zaid didukung oleh Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah mengatakan kebangkitan Zaid bin Ali melawan Hisyam menyerupai (perjuangan) Rasulullah dan sahabat pada perang Badar. Kebangkitan tersebut adalah perlawanan terhadap kezaliman yang merajalela. Abu Hanifah, sebagai imam besar ahlusunah, menganggap pemberontakan tersebut sah secara hukum sehingga beliau membantunya dengan harta dan senjata.

Dr. Adnan Ibrahim

Akan tetapi Syiah Imamiah (Jafari) berbeda dan bertolak belakang dengan Syiah Zaidiah. Mereka mengatakan tidak ada pemberontakan melawan penguasa zalim. Imamiah berpendapata bahwa penetapan imam dari kalangan ahlulbait rasul, dalam hal ini dua belas imam, sudahlah jelas dan eksplisit. Sementara menurut Zaidiah penetapan imam dari keturunan Fatimah adalah terbuka (implisit). Sehingga Zaidiah bisa menerima kepemimpinan orang yang layak (mafdhul) di atas orang yang lebih layak (afdhal). Karenanya mereka mengakui legitimasi kepemimpinan syaikhain, Abu Bakar dan Umar. Tapi bagaimana dengan Ali yang saat itu juga ada? Tentu saja Zaidiah menyatakan bahwa Ali lebih utama (afdal) dari mereka berdua, tapi kepemimpinan mafdhul di atas afdhal pun diperbolehkan. Akibatnya, Zaidiah memiliki kelonggaran dalam hal kepemimpinan dibandingkan dengan Imamiah.

Syiah Imamiah mengatakan bahwa penetapan (imam) adalah eksplisit, dimulai dari Ali, Hasan, Husain, dan sembilan orang dari keturunan Husain di mana yang terakhir adalah Al-Qaim bil Amr Al-Mahdi yang memasuki masa kegaiban pada abad ketiga hijriah hingga hari ini dan akan bangkit sesuai izin Allah. Syiah Imamiah berpendapat tidaklah diperbolehkan untuk bangkit melawan pemimpin (yang zalim) sampai kemunculan Imam Mahdi. Namun mereka tetap menolak kezaliman, mengutuk perlakuannya, berlepas diri dari pemimpin yang zalim, tidak bekerja sama dengannya, dan bersiap melancarkan perlawanan pasif—bukan dalam bentuk perlawanan aktif menggunakan pedang dan peperangan. Setelah kehadiran Imam Mahdi, barulah mereka membantu berperang di belakang imam.

Hal tersebut, menurut Syiah Imamiah, merupakan perkara wahyu dan keilahian. Nabi menerima wahyu dan para imam adalah orang maksum, tidak berbuat kesalahan. Berbeda dengan Zaidiah yang tidak mengharuskan imam yang maksum, tapi mereka tetap menghormati dan mensucikannya. Akibat keyakinan itu pengikut Imamiah akan bangkit bersama imam zamannya sesuai dengan kehendak Allah. Keyakinan itu didasari pada peristiwa perdamaian nabi dengan kaum Quraisy di Hudaibiah. Meskipun nabi memiliki kuasa untuk memerangi mereka, karena memiliki jumlah dan kekuatan yang besar, tapi beliau memilih berdamai dengan kaum musyrik. Sehingga Syiah Imamiah menganggap hal tersebut sebagai permasalahan wahyu ilahiah dan mereka harus menunggu perintah dari langit untuk membela imam.

Akan tetapi, Khomeini tidak menyukai kezaliman ini sehingga ia memperkenalkan teori wilâyatul faqîh. Dia mengatakan seorang fakih, yang memenuhi beberapa persyaratan, dimungkinkan untuk mempimpin dalam beberapa hal selama imam zaman tidak hadir. Dia bisa memimpin salat Jumat—yang menurut Syiah Imamiah tidak wajib (ain) selama ketidakhadiran imam zaman—dan berjihad melawan pemimpin zalim yang hanya bisa dilakukan jika imam hadir.

Sehingga Khomeini mengatakan: “Jikalau hal tersebut menyebabkan kita menjauhkan diri dari keterlibatan politik dan pemerintahan, maka akankah kita juga meninggalkan salat dan seluruh kewajiban Islam yang lain sampai munculnya imam?!” Khomeini mengatakan hal tersebut tidaklah tepat, sehingga dia memperkenalkan teori wilâyatul faqîh. Seorang fakih yang telah memenuhi kriteria tertentu mampu untuk menjalankan kewajiban seorang imam termasuk jihad melawan pemimpin yang zalim. Revolusi Iran tahun 1979 itu didasari oleh teori wilâyatul faqîh.

Dr. Adnan Ibrahim, lahir 1966 di Palestina, adalah seorang dokter sekaligus cendekiawan ahlusunah. Lahir di sebuah kamp pengungsian Gaza, ia pindah ke Yugoslavia dan belajar medis di Sarajevo. Pada tahun 1990-an, ia kemudian pindah ke Austria dan menjadi imam masjid di wilayah Leopoldstadt.

Satu respons untuk “Cendekiawan Suni Bicara Syiah dan Revolusi Iran

  1. Salam, my name is Qasim, from last 26+ years Allah and Muhammad s.a.w keep coming into my dreams,, over 460+ times Allah comes in my dreams and 250+ times Mohammad s.a.w comes in my dreams, Muhammad S.A.W is the last Messenger of Allah and i am the Ummati of Prophet Muhammad S.A.W, many dreams related to Muslim Ummah, World and the Judgment Day, I have shared few dreams on my fb page,,

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.