Suatu hari di Madinah, ada seorang muslim yang terlibat cekcok dengan seorang Yahudi. Untuk menyelesaikan konflik, Yahudi itu mengusulkan untuk menemui Muhammad ﷺ. Namun, muslim itu justru menolak. Dia tahu kalau Rasulullah ﷺ selalu memutus perkara secara adil. Dia takut keputusan rasul bakal berseberangan dengan kepentingan pribadinya. Muslim itu malah mengusulkan nama Ka’ab bin Al-Asyraf sebagai hakim.
Ka’ab adalah seorang rahib dan pembesar Yahudi. Muslim itu yakin jika rahib dapat disogok dan pasti memenangkan sengketanya dengan si Yahudi. Sebuah ayat Al-Qur’an dari surah An-Nisā’ turun. Mencela orang-orang yang mengaku muslim tapi menjadikan tagut sebagai pelindung.[1]
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada tagut, padahal mereka telah diperintah mengingkari tagut. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Ayat di atas ingin berpesan bahwa keimanan tanpa membenci tagut dan menjauhi kebatilan bukanlah iman yang sejati. Siapapun yang mengaku beriman tapi perbuatannya justru berpaling dari Tuhan adalah musuh Tuhan dan berada di barisan tagut. Menerima pemerintahan tagut berarti sama dengan menyiapkan sarana bagi kegiatan setan di tengah masyarakat.
Dari cerita itu, Al-Qur’an menolak perilaku seorang muslim dan secara tidak langsung membenarkan keputusan Yahudi tersebut. Jika ada muslim yang tidak adil, pihak yang pertama mengecam adalah Islam dan Al-Qur’an. Sebaliknya, jika seorang Yahudi menjalankan hukum sesuai keadilan, maka yang pertama kali membelanya adalah Islam dan Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak sedang bercerita perlawanan antara muslim dengan non-muslim, tetapi antara penindas (mustakbir) dan mereka yang tertindas (mustadhafin).
Sayangnya, sekelompok Wahabi takfiri mengira segala sesuatu selalu berhubungan muslim versus non-muslim atau sunnī versus Syiah. Mereka mengira, betapapun adilnya seorang penganut Syiah tetap layak dibunuh. Betapapun zalimnya seorang Wahabi harus dibela. Sebagian penganut Syiah juga berperilaku sama seperti Wahabi takfiri itu.

Sebelum revolusi Islam Iran, sebagian orang mengingatkan kalau Mohammad Reza Pahlavi itu juga seorang Syiah, betapapun zalim perilakunya. “Jangan jatuhkan syah! Kalau dia pergi, non-Syiah akan memimpin!”
Mereka yang berteriak seperti itu dulunya bernama Anjoman-e Hojjatieh dan pada hari ini lebih sering disebut sebagai Syiah Inggris. Mereka juga memprotes Ayatullah Khamenei yang selalu mendukung Palestina sambil berkata, “Bukankah mereka ahlusunah? Apa hubungannya dengan kita?” Mereka berdalih pembebasan Baqi di Madinah lebih utama dari pada pembebasan Quds, karena di Baqi berkaitan dengan Syiah dan sunnī, sementara di Palestina berkaitan dengan sunnī dan Yahudi, dan “Semua itu tidak ada hubungannya dengan kita”.[2]
Kelompok ini juga mengira kalau dalam Perang Suriah, hanya makam Zainab binti Ali yang harus dilindungi, karena kaitannya dengan Syiah dan sunnī. Tapi jika seluruh negara Suriah jatuh ke tangan Zionis, bukanlah perkara penting, sebab tidak berhubungan dengan Syiah.
Padahal Islam mengatakan bahwa orang-orang tertindas dan dilemahkan (mustadh’af) harus dibela, entah dari kelompok ahlusunah, Syiah, Kristiani, atau lainnya. Orang yang dilemahkan (mustadh’af) berbeda dengan orang lemah (dha’īf). Ketidakmampuan orang lemah berasal dari dirinya, sedangkan para mustadh’af telah dilemahkan oleh para mustakbar (penindas) yang harus dilawan.
Kolonialisme bermula
Sebagian orang mengira kalau dunia adalah tempat untuk berperang. Jika memiliki kekuatan dan orang lain dilemahkan, ia akan semakin lama bertahan. Inilah teori Darwin dan Nietzsche. Islam menurut mereka adalah penindas (mustakbir). Dari teori tersebut orang Barat meyakini kolonialisme karena mereka ingin menjadi kuat dengan cara melemahkan yang lain.
Alkisah, seorang tentara Inggris sedang berada di Irak. Tiba-tiba dia mendengar suara azan. Tentara itu ketakutan karena mengira telah terjadi revolusi. Tentara tersebut bertanya, “Apa yang mereka katakan?” Orang-orang menjawab, “Azan.” Tentara Inggris itu bertanya lagi, “Mereka tidak melawan kami?” Orang-orang mengatakan, “Tidak.” Lalu, dengan tenang, tentara itu mengatakan, “Oh, baiklah. Lanjutkanlah…”[3]
Inilah strategi baru mereka. Rakyat dilemahkan, tapi bukan dengan cara fisik. Pikiran umat muslim dilemahkan dengan hanya sibuk memikirkan ritual ibadah seperti salat atau isu pertikaian sunnī-Syiah. Akhirnya perlawanan terhadap penindasan terlupakan. Sayang sekali jika hal-hal seperti ini juga menimpa kita.
Sebagian pengikut Syiah (yang disebut sebagai Syiah Inggris) hanya berpikir soal penghinaan terhadap ahlusunah, qame zani (ritual berdarah hari Asyura), dan sebagainya. Begitu pula sebagian pengikut ahlusunah, yang terpengaruh takfiri, juga melakukan hal sama: merusak makam, meneriakkan kafir kepada orang lain yang melakukan ziarah, tawasul, dan sebagainya. Kita bisa katakan bahwa akal mereka telah dilemahkan oleh Barat.

Pada masa Imam Ali a.s. hal serupa juga pernah terjadi. Muawiyah ingin sekali mencapai kekuasaan dan cara yang dilakukan adalah dengan melemahkan Imam Ali a.s. Akibatnya muncul kelompok yang disebut Khawarij. Lawan sebenarnya Imam Ali pada masa itu hanyalah Muawiyah, karena ia mewakili mustakbir. Khawarij hanyalah kelompok yang akalnya telah dilemahkan. Mereka itu tertipu. Imam Ali tidak memerangi Khawarij kecuali mereka mengangkat pedang. Imam Ali justru mengatakan kepada mereka untuk melawan Muawiyah karena mereka sebenarnya telah “diciptakan” oleh Muawiyah.[4]
Saat ini, Ayatullah Khamenei juga selalu mengatakan bahwa musuh asli kita adalah Amerika Serikat, bukan ISIS. Karena ISIS telah tertipu dan akal mereka telah dilemahkan.[5]
Revolusi Iran
Ketika terjadi revolusi di Iran, Imam Khomeini mengatakan bahwa tujuan gerakan revolusi adalah melawan penindas (istikbar). Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berperang di jalan Allah dan jalan pembelaan terhadap orang-orang lemah (mustadh’afīn). Artinya, jika ada seorang Kristiani dizalimi, kita harus bangkit bukan karena status kekristianiannya, tetapi karena kondisi dia yang dilemahkan.
Perkataan Imam Khomeini tersebut sesungguhnya sejalan dengan Alquran. Jika dikatakan berperang melawan Amerika dan Israel, bukan karena kekristianian atau keyahudiannya, akan tetapi karena arogansinya (mustakbar). Begitupula jika kita melawan ISIS, Kerajaan Saudi, atau Kerajaan Bahrain, bukan karena kesuniannya, tetapi karena bantuannya terhadap penindasan. Jika kita membela rakyat Palestina atau rakyat Bahrain, juga bukan karena kesunian atau kesyiahan mereka, tapi karena ketertindasan mereka.
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya. Berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau!” (Q.S. Al-Nisā’: 75)
Referensi:
[1] ^ Lihat Majma’ Al-Bayân fi Tafsîr Al-Qurân, juz III, hal. 102, cetakan ketiga, 1372, Tehran: Naser Khosrow.
[2] ^ Ceramah Ayatullah Khamenei dalam pertemuan dengan rohaniwan Syiah dan ahlusunah Kurdistan, 23/2/1388.
[3] ^ Imam Khomeini, Sahifeh-ye Nur, juz VII, hal. 393
[4] ^ Saleh, Sobhi. Nahj Al-Balâghah. Khotbah 61
[5] ^ Ceramah Ayatullah Khamenei pada peringatan wafat Imam Khomeini, 16/3/1393
Sumber: Shademan, Arman. “Vaghti Edei-ye mi Goftand Shah ham Shieh ast”. Fetan. 21/12/1393