Lebih dari tiga puluh tahun sudah Yossi Alpher meninggalkan badan intelijen Israel, Mossad. Tapi sebuah memori masa lampau selalu membangunkan mantan agen ini pada pukul empat pagi. Bagaimana kalau Mossad menyetujui sebuah permintaan pada tahun 1979 untuk membunuh Ayatullah Ruhollah Khomeini, ketika sedang berada di pengasingan dekat Paris? “Sulit menjawabnya,” kata Alpher dalam sebuah wawancara. “Tapi itulah contoh dari pentingnya pemimpin karismatik dan konsekuensi ketika mereka tiada.”

Mantan pejabat tinggi Mossad tersebut menceritakan tentang rencana tersebut dalam buku terbarunya Periphery: Israel’s Search for Middle East Allies. Alpher sempat dipanggil oleh kepala Mossad, Yitzhak Hofi. Dikatakan bahwa perwakilan Mossad di Tehran, Eliezar Shafrir, telah menerima permintaan untuk membunuh Khomeini. Permintaan tersebut datang dari mantan perdana menteri sementara yang ditugaskan untuk meredam demonstran, Shapour Bakhtiar.

Pejabat lain yang datang memberikan respon negatif dengan alasan: jika Khomeini kembali ke Iran, dia akan berhadapan dengan tentara dan polisi rahasia syah, SAVAK. Alpher menarik nafas dalam-dalam dan mengatakan, “Kita tidak cukup tahu tentang kiprah Khomeini dan peluang apa yang dimilikinya untuk membenarkan risiko yang kita ambil.”

Ternyata, meremehkan Khomeini merupakan sebuah kesalahan. Bukan hanya bagi Mossad, tapi juga bagi Amerika Serikat, Inggris, dan SAVAK. Saat ini, setelah semuanya diketahui, pesan apa yang ingin Alpher sampaikan? “Andai pembicaraan itu terjadi beberapa bulan setelahnya, saya katakan bahwa (membunuhnya) merupakan risiko yang patut diambil,” katanya. Setelah berkuasa, kelompok revolusioner Iran dengan cepat mewujudkan niat mereka. “Kita lihat bagaimana mereka berurusan dengan kelompok oposisi. Mereka tidak basa-basi untuk mengekspor revolusi… Bakhtiar nampaknya telah memahami semuanya, tapi kami tidak mengetahui Bakhtiar dan para ulama. Kami tidak mengerti.”

Usaha Israel untuk menguasai Timur Tengah telah dilakukan dengan membentuk trisula, sebuah aliansi dengan intelijen Turki dan Iran sejak akhir 1950-an. Hubungan dengan Iran berakhir pada revolusi 1979 dan dengan Turki ketika Recep Erdogan mulai menjaga jarak dari Israel sekitar tahun 2009.

“Tapi lingkar permusuhan hari ini sudah lebih terbentuk: pertama dan terpenting adalah aktor-aktor non-negara: Hizbullah, Hamas; dan potensi dari Daesh (Islamic State) dan Jabhat al-Nusra (militan Suriah yang berafiliasi dengan al-Qaeda),” kata Alpher. Namun jika menyangkut aktor negara, Alpher mengatakan Turki sulit untuk dikategorikan sebagai bagian dari lingkar permusuhan: meskipun hubungan diplomatik terlihat tegang, namun relasi perdagangan dengan Israel sangat tinggi.

Jadi, siapa ancaman terbesar Israel? Poros Iran, Hizbullah, dan rezim Bashar al-Assad di Suriah? Atau kelompok militan suni, termasuk Islamic State dan Jabhat al-Nusra?

“Mereka berdua sama buruknya,” kata Alpher. “Tapi jika dikaitkan dengan urgensi untuk menghadapi yang mana, tugas yang lebih mendesak adalah menghadapi Hizbullah dan Iran—karena Assad hampir berperan pasif. Mereka terus mengatakan bahwa kamilah musuh utama, sementara Daesh tidak berbicara tentang kami. Tentu sebagai kelompok fanatik mereka juga ingin menyingkirkan kami, tapi mereka masih punya daftar panjang sebelum kami.”

Former Saudi ambassador Prince Turki bin Faisal al-Saud confers with Israeli strategic affairs analyst Yossi Alpher at the National Iranian American Council conference in Washington, Oct. 15, 2013.
Yossi Alpher dan Pangeran Turki bin Faisal al-Saud di Washington pada 2013.

Hubungan Rahasia dengan Arab Saudi

Alpher juga memberikan sudut pandangnya mengenai hubungan rahasia Israel dengan negara-negara Teluk, termasuk Arab Saudi.

“Bibi (Netanyahu) telah mengatakan sendiri tentang hubungan Israel dengan negara-negara Arab di Teluk di Perserikatan Bangsa-Bangsa satu setengah tahun lalu,” kata Alpher. “Netanyahu mengatakannya secara terbuka. Tapi seberapa dalam hubungannya, itu pertanyaan lain. Tapi jelas ada sesuatu. Mereka memang ambivalen karena negara-negara Arab juga membantu organisasi seperti ISIS dan Jabhat al-Nusra.”

Alpher juga mengungkapkan hubungan perdagangan antara Turki dengan negara-negara Arab Teluk dilakukan melalui Israel, karena kondisi Irak dan Suriah saat ini tidak aman. “Truk-truk Turki berangkat dari Haifa (pelabuhan Turki) menuju Beit She’an lalu Yordania, untuk membawa barang-barang ekspor Turki menuju semenanjung Arab.”

Alpher pesimis tentang Iran. Bukunya memuat sebuah bab yang disebutnya sebagai “periphery nostalgia”, sebuah keyakinan di Israel jika hubungan yang lebih baik dapat kembali jika pemerintahan di Tehran berganti atau dihilangkan.

Selengkapnya: Smyth, Gareth (5 Juni 2015). “Israel considered request to kill Khomeini, says former Mossad agent”. The Guardian.

Last modified: June 7, 2015

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.