Seorang wanita—sebut saja Fatimah—mengadu kepada seorang ustaz, “Setiap kali masuk bulan Ramadan, aku merasa sedih. Aku bertambah sedih karena aku merasa sedih. Bukankah kata Pak Ustaz, Rasulullah dan sahabatnya menyambut Ramadan dengan gembira?” Mata berkaca-kaca dan hidung memerah, ustaz menjadi yakin kalau wanita itu menangis beneran. Ustaz itu sudah sering menemukan dalam majelis-majelis pengajian, ustaz yang menangis bohongan dan pendengar yang menangis beneran.
“Apa yang menyebabkan Ibu menangis?” tanya ustaz itu.
“Aku seperti orang pulang kampung, aku ingin membahagiakan keluarga. Aku ingin memberikan hadiah berharga buat mereka. Tetapi aku miskin. Aku tidak punya apa-apa. Di punggungku hanya ada kotoran. Ramadan mengantarkanku pada Tuhan, kampung halamanku. Aku ingin membuat Tuhan rida kepadaku. Tapi aku tidak membawa apa-apa. Di atas punggungku teronggok dosa dan dosa!” Isakannya makin keras. Kali ini, ustaz itu juga ikut menangis dan kali ini menangis beneran.
“Tidak perlu bersedih, Bu,” kata ustaz itu setengah hati. Setengah hatinya lagi membisu dalam kesedihan. “Jika kita menemui Ramadan tanpa bekal, marilah kita jadikan bulan ini untuk mengumpulkan hadiah-hadiah yang berharga untuk Tuhan. Jika kita datang dengan onggokan dosa, marilah kita campakkan dosa-dosa itu dengan tobat.” Seperti biasa, dengan cepat ustaz itu bermetamorfosis dari seorang konselor menjadi seorang khatib. Tampaknya lebih mudah berkhotbah daripada berempati, gumam ustaz itu.
“Itu juga yang menambah dukaku, Ustaz. Setiap Ramadan ketika semua orang berusaha untuk tarawih setiap malam, aku sering meninggalkannya. Ketika tetangga-tetangga bercerita bahwa mereka sudah menyelesaikan sekian juz Alquran, aku tidak bisa berkata-kata. Satu juz pun tidak sempat aku baca. Pada lailatulkadar, kawan-kawan aku bisa bermalam-malam itikaf di masjid, bahkan ada yang umrah ke tanah suci, aku tidak sanggup meningalkan pekerjaan.”
“Apa pekerjaan ibu di bulan Ramadan?” tanya ustaz.
“Aku ini orang kaya, tumbuh besar dalam keluarga kaya. Di rumah ada banyak pembantu. Di kantor, aku punya banyak pegawai. Ke mana pun pergi, aku dilayani orang. Pada bulan puasa ini, aku ingin melayani orang. Aku ingin berkhidmat pada orang-orang kecil. Aku menyiapkan makanan untuk orang-orang miskin. Aku berbelanja, memasak, membungkus, dan mengantarkan makanan itu ke rumah-rumah mereka. Bakda isya, setelah usai membagikan makanan, aku pulang dalam keadaan lelah. Aku segera tidur pulas. Pada lailatulkadar aku tidak saja membagikan makanan untuk buka, tetapi juga untuk sahur. Aku begadang juga, ustaz, tapi tidak di masjid. Melainkan di tempat-tempat kumuh.”
“Jadi, pada waktu id ketika kaum umat muslim lain bergembira karena mampu mengumpulkan hadiah yang berharga untuk Tuhan—khatam Quran, lengkap salat tarawih, banyak itikaf dan zikir—aku sedih lagi. Mereka berhasil ‘menangkap’ anugerah Tuhan di bulan Ramadan; tapi aku tidak!”
Puasa dengan Pengkhidmatan
Ibu Fatimah merasa sedih karena ibadah Ramadannya berbeda dengan kebanyakan orang. Ia sedih karena tidak sanggup dan tidak sempat bertarawih, bertadarus, beritikaf, dan berzikir bersama. Ia menganggap bahwa hadiah yang paling berharga untuk Tuhan adalah ibadah, dalam makna ritual.
Alkisah Nabi Musa a.s. bermunajat kepada Tuhan. Sang Maha Suci bertanya. “Hai Musa, banyak sekali ibadahmu, yang mana untuk-Ku?” Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadahnya, sebab semua ibadahnya untuk Tuhan, “Salatku, hajiku, kurbanku dan zikirku.”
Tuhan berkata, “Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?” Musa bingung dan berkata, “Tunjukkan pada hambamu yang lemah ini, mana ibadahku untuk-Mu?” Tuhan berkata, “Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku!”
Memang kalau kita dapat menjalankan ibadah-ibadah itu dengan sebaik-baiknya, semuanya untuk kita juga. Seperti disebutkan dalam hadis, dengan puasa dan salat tarawih yang ikhlas, kita memeroleh ampunan Allah. Ampunan itu jelas untuk kita. Membaca satu ayat Alquran saja di bulan Ramadan, kita mendapatkan pahala sama dengan mengkhatamkan Alquran di bulan lain. Anugerah Tuhan karena mengkhatamkan Alquran diberikan kepada kita. Ibadah lailatulkadar sama nilainya dengan ibadah seribu bulan. Pahalanya lagi-lagi untuk kepentingan kita.
Ibu Fatimah merasa sedih karena Ramadan mengantarkannya untuk pulang kepada Tuhan. Ia ingin memberikan hadiah untuk membuat Tuhan rida kepadanya. Ia merasa bahwa hadiah berupa salat, tadarus, dan sebagainya, itu adalah persembahan untuk Tuhan. Sekiranya ia banyak melakukan ibadah-ibadah itu, nun di arasy yang agung, Tuhan akan berkata, “Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?”
Memang kita memerlukan semua anugerah itu: kasih sayang Tuhan, ampunan-Nya, dan pembebasan dari api neraka. Kita membutuhkan karunia-Nya untuk kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat.
Tetapi Ibu Fatimah memerlukan lebih dari itu. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Dia. Ia ingin memberi-Nya hadiah yang berharga. Sesungguhnya Fatimah sudah berada on the right track. Berkhidmatlah pada hamba-hamba-Nya. Sekiranya ia bersedih karena beranggapan tidak sempat salat tarawih yang lengkap sehingga kehilangan ampunan Tuhan, simaklah hadis qudsi berikut ini: (Lihat Hasan Shirazi, Kalimat Allah, hal. 232)
“Hai Musa, tahukah kamu betapa besarnya kasih sayang-Ku padamu?”
“Engkau lebih sayang kepada-Ku ketimbang ibuku.”
“Hai Musa, sesungguhnya ibumu menyayangi kamu karena anugerah kasih-Ku juga. Akulah yang melembutkan hatinya sehingga ia sayang padamu. Akulah yang membaikkan hatinya supaya ia meninggalkan kebaikan-kebaikan tidurnya untuk merawatmu. Sekiranya Aku tidak melakukannya, maka akan samalah ibumu dengan perempuan lain di dunia.”
“Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang mempunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi Aku hiraukan dosanya; semua Aku ampuni.”
“Mengapa tidak Kau hiraukan Ya Rab?”
“Karena ada satu hal mulia yang Aku cinta dalam dirinya: ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. JIka ada hamba-Ku seperti dia, Aku ampuni dia dan aku tidak hiraukan dosa-dosanya.”
Puasa tanpa Pengkhidmatan
Ibu Fatimah tidak selayaknya bersedih hati. Ia sudah menjalankan puasa dengan hadiah berharga untuk Tuhan: pengkhidmatan. Mereka yang berpuasa tanpa persembahan untuk Dia yang justru harus berduka. Celakalah orang yang berpuasa dengan kezaliman – lawan dari pengkhidmatan. Mereka tidak mendapat apapun untuk dirinya sekali pun. “Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga,” sabda Nabi Muhammad saw.
Menurut cerita Ibu Fatimah, pada hari-hari Ramadan, ia bersedih hati karena kawan-kawannya dapat melayani Tuhan. Sementara ia hanya melayani manusia. “Dari mana Ibu tahu bahwa kawan-kawannya melayani Tuhan dengan baik?” tanya sang ustaz. Dari laporan mereka, mereka bercerita tentang ketahanan puasanya sehingga tetap berpuasa dalam keadaan sakit sekalipun atau dalam perjalanan seberat apapun. Mereka melaporkan berapa juz Alquran yang sudah mereka baca. Mereka menuturkan betapa nikmatnya beritikaf dengan mubalig kondang semalam suntuk. Mereka berkisah tentang pengalaman berumrah di bulan Ramadan di tanah suci.
Ustaz kemudian mengatakan, “Bersaing dalam melaporkan ibadah bisa mengalihkan pelayanan kita kepada Tuhan menjadi pelayanan kepada diri sendiri. Puasa yang seharusnya melatih untuk meninggalkan ego, kita malah memperkuatnya.”
Ustaz itu bernama Jalaluddin Rakhmat. Melalui sedikit gubahan, cerita di atas dapat ditemukan dalam pengantar bukunya yang berjudul Madrasah Ruhaniah: Berguru pada Ilahi di Bulan Suci (Jakarta: Mizan Pustaka, 2007). Buku tersebut ditulis oleh Pak Jalal untuk orang-orang seperti Ibu Fatimah agar ia merasa bahagia dengan pengkhidmatan kepada sesama manusia di bulan Ramadan. Pada saat yang sama, buku itu ditujukan juga untuk kawan-kawan Ibu Fatimah yang terlalu banyak menaruh perhatian kepada ibadah-ibadah ritual.
subhanalloh… bagus kisahnya, maknanya yang dalam membuat yang membaca semakin terasa. Semoga penulis dan pembacanya diberi anugerah pengkhidmatan.
ramadhan yang penuh berkah.