Sore itu, nampak seperti biasanya. Moazzem Hossein dan puluhan warga Kecamatan Shibganj, Distrik Bogra, Bangladesh, bergegas menunaikan salat Magrib di sebuah masjid. Shahinur Islam, sang imam masjid, telah bersiap terlebih dahulu di saf terdepan. Waktu magrib tiba dan Moazzem yang sudah berusia 70 tahun menjalankan tugas kesehariannya sebagai muazin, menyeru warga yang belum hadir untuk bersama-sama melaksanakan salat.
Ternyata, sore itu tidak seperti biasanya. Pukul 17.45, sekelompok orang bersenjata menyerbu Masjid Al Hussain tempat Shahinur mengimami salat. Penyerang mengunci pintu utama masjid dari dalam, mencegah jemaah salat untuk keluar. Tanpa perlawanan, penyerang menembaki secara acak jemaah yang sedang melaksanakan salat. Peluru tajam menembus kepala bagian belakang Moazzem hingga mata kirinya dan peluru kedua bersarang di tangan kirinya. Sementara imam masjid terkena timah panas pada bagian pinggang.
Kehidupan damai yang sudah terjalin selama puluhan tahun antara pengikut Syiah dan suni di Kecamatan Shibganj terancam. Sebelum serangan bersenjata, minoritas muslim Syiah di sana tidak pernah merasa terancam tinggal di wilayah mayoritas suni. Sejarah keharmonisan antara dua mazhab di wilayah tersebut dimulai sejak tahun 1982. Saat itu, Abu Jafar Mandal, seorang pejuang kemerdekaan, menghadiri sebuah ceramah di ibu kota Bangladesh, Dhaka. Ceramah itu disampaikan oleh menteri luar negeri Iran yang juga merupakan alim Syiah.
Meskipun berasal dari keluarga ahlusunah, Jafar yang saat itu berusia 30 tahunan, mulai mempelajari Syiah setelah mendengarkan ceramah itu. Dari waktu ke waktu, semakin banyak orang bergabung menjadi pengikut mazhab ahlulbait. Saat ini terdapat sedikitnya 110 kepala keluarga (sekitar 600 orang) pengikut Syiah yang hidup di antara 6.000 suni dari 2.000 kepala keluarga.
Jafar, yang diyakini sebagai penganut Syiah pertama di Kecamatan Shibganj, mengaku tidak pernah menghadapi masalah apalagi ancaman karena keyakinannya. Keharmonisan antara pengikut Syiah dan suni di Shibganj dan wilayah lainnya telah terjalin lama. Muslim suni sesekali salat di masjid Syiah yang ditembaki itu. Warga sekitar dan keluarga korban tidak percaya jika penembakan itu terjadi karena latar belakang mazhab yang mereka yakini.
Di tempat kejadian perkara, polisi menemukan beberapa bukti termasuk delapan selongsong pelur dan gembok yang digunakan untuk mengunci pintu masuk. SITE Intelligence Group, yang melakukan monitor terhadap aktivitas teroris, memberitakan bahwa ISIS telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Serangan brutal terhadap jemaah yang sedang melaksanakan salat merupakan serangan kedua terhadap muslim Syiah di Bangladesh dalam kurun waktu satu bulan. Sebelumnya, pada 24 Oktober 2015, peringatan Asyura di ibu kota negara dibom, menewaskan dua orang dan melukai lebih dari 100 orang. Serangan mematikan tersebut juga menjadi saksi keharmonisan antara penganut Syiah dan suni di Bangladesh. Alasannya? Korban tewas dan mayoritas yang terluka adalah pengikut ahlusunah.
Hossaini Dalan, nama tempat penyelenggaraan Asyura yang dibom, dianggap sebagai pusat muslim Syiah Bangladesh. Serangan terjadi tiga puluh menit sebelum proses tradisional Tajia dimulai sebagai pertanda dimulainya peringatan Asyura. Peringatan wafatnya Imam Husain a.s. tersebut sudah diperingati oleh muslim Syiah Bangladesh sejak berabad lamanya, tanpa pernah ada gangguan.
“Kami mulai merasa khawatir. Kami meminta perdana menteri dan para penegak hukum untuk memperhatikan masalah ini dengan serius dan membantu kami untuk hidup dengan damai,” kata Abu Jafar. Menurutnya, pemerintah harus tegas terhadap aksi penyebaran kebencian atas nama agama. Pasalnya, pada 2014, dua acara keagamaan pernah diadakan di kecamatan Gopinathpur dan Aliarhat Bazar. Para penceramah di acara tersebut mengecam beberapa praktik keagamaan Syiah dan menyebarkan kebencian.
“Kami sudah seperti saudara. Bahkan suni salat di masjid kami, begitu pula sebaliknya,” katanya. Idris Ali, pria berusia 35 tahun, juga menjadi salah satu bukti keharmonisan tersebut. Idris merupakan seorang ahlusunah, tapi pamannya seorang muslim Syiah. Aftab Ali, paman Idris, juga menjadi korban penembakan di dalam masjid. Dia tertembak tepat di bagian punggung.
Di Indonesia, ceramah dan media yang menyebarkan kebencian terhadap pengikut Syiah juga semakin meluas. Nama Muhammad Hasyim alias Hamamah, warga Kecamatan Omben, Sampang, juga belum sirna dari ingatan. Sabetan celurit, parang dan lemparan batu dari para pengeroyok yang menghilangkan nyawanya menjadi harga yang harus dibayar karena pilihannya untuk mencintai ahlulbait. Harapan Abu Jafar di Bangladesh juga menjadi harapan kita semua, agar pemerintah memberikan kedamaian bagi warganya untuk menjalankan keyakinan.
Referensi:
[1] Mamun-ur-Rashid (28 November 2015). “Shias in Bogra of Bangladesh feel insecure”. The Daily Star. Diakses pada 28 November 2015.
[2] Mahmud Hossein Opu (27 November 2015). “Deadly attack on Shia mosque in Bangladesh”. Aljazeera. Diakses pada 28 November 2015