Pada bulan Mei tahun 2015, sebuah ledakan bom menghancurkan masjid di timur Arab Saudi. Sebanyak 21 orang tewas saat mereka hendak salat Jumat. Satu bulan kemudian, giliran masjid di Kuwait yang diledakkan. Waktunya hampir bersamaan: saat jemaah sedang salat Jumat. Korbannya mencapai 27 orang. Masjid pertama bernama Masjid Imam Hussein, sedangkan masjid kedua bernama Masjid Imam Jafar. Keduanya dikelola oleh muslim Syiah.

Dua peristiwa itu membuat seorang wanita bernama Heena menagih janji temannya, Nausheen. Nausheen pernah ingin tahu tentang masjid Syiah. Heena mengajak temannya untuk datang ke sebuah masjid Syiah di kota Chicago, Amerika Serikat: Masjid Baitul Ilm. Nausheen dan suaminya, Mohiuddin Ahmed, merupakan muslim ahlusunah. Pengetahuan mereka tentang Syiah minim. Mereka tahu soal perbedaan azan, cara salat, waktu berbuka berpuasa, dan semacamnya. Tapi itu perbedaan yang sebenarnya juga ada di dalam empat mazhab ahlusunah.

Meski dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung persatuan, ajakan mengunjungi masjid Syiah adalah ujian bagi Mohiuddin. Ujian sekaligus pembuktian atas janjinya mengunjungi Masjid Baitul Ilm. Ujian sekaligus kesempatan untuk belajar dan mengetahui lebih banyak.

Akhirnya Mohiuddin sekeluarga berangkat menuju masjid itu. Tapi mereka berpikir: “Bagaimana reaksi jemaah masjid nanti?” Apalagi Mohiuddin dan keluarga mengunjungi masjid itu saat bulan Ramadan. Mereka tahu muslim Syiah berbuka puasa agak sedikit lebih lama

Masjid Baitul Ilm

Di depan masjid, Nausheen kagum dengan keindahan struktur bangunan . Pintu masuk dihiasi dekorasi keramik berwarna biru. Mohiuddin dan keluarganya bisa merasakan sambutan hangat. Khotbah sedang berlangsung ketika mereka masuk. Khatib saat itu bernama Syekh Vinay Khetia, muslim Syiah yang dulunya menganut Hindu. Dengan fasih dia menyampaikan tema tobat nasuha sambil membaca surah Al-Taḥrīm ayat 8.

Jika sebagian muslim suni mengucapkan Allāhu Akbar sebagai pengganti tepuk tangan, di masjid itu ucapan selawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya sudah biasa. Lafaz Allāhumma ṣalli ‘alā Muḥammad, wa ‘alā āli Muḥammad terus dibaca. Seperti sebuah refleksi keinginan muslim Syiah untuk lebih dekat dengan keluarga nabi.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Waktu salat tiba. Mohiuddin terkejut dengan beberapa lafaz azan yang belum pernah di dengar sebelumnya. Tapi baginya tidak lebih mengejutkan ketika pertama kali berada di Arab Saudi dan mendengar pengulangan lafaz yang berbeda dalam ikamah. Cara dan metode salat diwariskan nabi kepada kita melalui para ulama, namun substansi fundamentalnya tetap samaa.

Heena lalu menawarkan beberapa butir kurma kepada Nausheen agar bisa berbuka puasa lebih awal.

Sebelum salat, salah seorang ipar Heena menjelaskan beberapa perbedaan dalam salat, termasuk doa kunut saat salat. Ketika dimulai, mereka berdiri bahu sama bahu, bersatu dalam barisan salat. Alfatihah dibaca dan diikuti dengan surah pendek yang sama seperti biasa. Ada perbedaan yang dirasakan oleh Mohiuddin: para jemaah meluruskan tangannya saat salat, tidak bersedekap. Sementara bacaan tasbih yang biasanya dibaca pelan oleh suni, kini dibaca dengan keras oleh imam salat.

Masjid Baitul Ilm

Putri Mohiuddin kemudian bertanya tentang tanah yang diletakkan di tempat sujud. Jemaah masjid mengatakan bahwa saat sujud, seseorang harus menyentuh dahi dengan sesuatu yang terbuat dari alam, sesuai sunah nabi. Pengurus dan jemaah masjid semaksimal mungkin memastikan agar Mohiuddin dan keluarganya tidak merasa terbebani untuk mengikuti tradisi Syiah. Mohiuddin merasa mereka sangat menyambutnya dengan baik. Putri Mohiuddin merasa lebih disambut di masjid itu dibandingkan dengan masjid lain yang pernah didatanginya selama Ramadan.

Mohiuddin dan keluarganya memutuskan untuk meninggalkan masjid sebelum Isya. Diantar oleh Heena, suami, dan keluarganya, Mohiuddin merasa beruntung mendapatkan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama. Malam setelah merasakan pengalaman baru tersebut, Mohiuddin membaca kembali sejarah yang menyebabkan umat terpecah. Kemudian, dia merenung, “Jika generasi terbaik umat ini dapat hancur akibat nafsu kesukuan, apalagi dengan kita?”

Referensi:

Ahmed, Mohiuddin (21 Juli 2015). “Building Sunni-Shia Unity, One Mosque Visit at a Time”. Patheos. Diakses 27 November 2015.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.