Toko buku depan Masjidilharam memajang buku berbahasa Inggris yang menyerang Syiah dan sufisme. Padahal, jutaan pengikut Syiah dan sufi mendatangi Mekah untuk beribadah. Apakah pemerintah Arab Saudi memang mempromosikan sektarianisme? Alumnus Universitas Islam Madinah menanggapi pertanyaan tersebut. “Teologi yang diajarkan di Arab Saudi memang selalu anti segala sesuatu; bukan hanya Syiah dan sufi. Keyakinan ahlusunah juga ada yang mereka serang.”
Alumnus itu bernama Abu Ammaar Yasir Qadhi. Majalah New York Times pernah menjulukinya “salah satu ulama konservatif paling berpengaruh di Amerika Serikat”. Dulu, Yasir Qadhi juga bagian dari kelompok yang anti-segala sesuatu, bahkan mengkafirkan orang lain. Tapi sebagaimana pengakuannya di stasiun televisi Press TV, ia berkata, “Saya telah mengubah sikap kasar saya terhadap kelompok muslim lain.”
Yasir Qadhi memang telah berpaling dari kelompok salafi ala Arab Saudi yang lazim disebut Wahabisme. Tapi dia tidak menentangnya. Baginya, Syiah dan Wahabisme memiliki kesamaan. Sama-sama sering dituduh sebagai biang kesengsaraan umat Islam. Padahal baginya, apa yang terjadi pada umat Islam sangat multidimensi; lebih dari sekedar bentuk pemahaman terhadap Islam.
Dalam tulisannya berjudul On Salafi Islam, Yasir Qadhi menyebut beberapa jenis salafi. Ada salafi ala Saudi yang cenderung menganut mazhab Hanbali namun patuh terhadap raja. Adapula salafi aliran Al-Albani yang sangat anti-mazhab dan menafsirkan teks agama secara harfiah. Ada juga salafi takfiri—gemar mengkafirkan—namun tidak melancarkan jihad. Semakin ke kanan, ada salafi jihad radikal yang mengombinasikan teologi dan politik seperti al-Qaida dan ISIS. Banyak ragam jenis salafi tersebut membuat orang harus lebih akurat dan analitis dalam menilai. Apakah masalah ada pada sikap, kekerasan, atau memang teologi. Tentu saja, hal yang sama juga harus diaplikasikan ketika berbicara tentang Syiah.
Membicarakan tema sensitif dan penuh perdebatan harus tetap memperhatikan waktu, tempat, bahasa, dan lawan bicara. Bagi Yasir Qadhi, tidak sehat jika dakwah hanya dipenuhi dengan retorika anti sementara banyak muslim sedang belajar agama Islam. “Kita perlu membangun orang-orang tersebut dengan iman sebelum melawan keimanan orang lain,” katanya.
Dai keturunan Pakistan ini menegaskan bahwa kita harus melawan kebencian yang dapat menciptakan pertumpahan darah. “Jangan impor kekerasan dan pertumpahan darah yang terjadi di Timur Tengah,” katanya. “Selama bertahun-tahun, suni dan Syiah telah bersama-sama melawan Islam fobia.”
Ketika berbicara tentang suni dan Syiah, Yasir Qadhi lebih memilih menggunakan kata “toleransi” daripada “persatuan”. Tapi apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan kekerasan dan pertumpahan darah? “Suni dan Syiah harus bekerja sama memerangi Islam fobia, seperti pelarangan hijab. Mari kita sepakat untuk bekerja sama di wilayah tersebut dan sepakat untuk tidak bekerja sama dalam hal lain.”