Bagaimana John, mualaf asal Afrika, bisa berjuang bersama cucu nabi di Karbala, Irak? Kisah bermula dari awal dakwah Rasulullah saw. di Mekah yang menghadapi perlawanan sengit kelompok musyrik. Satu per satu pengikut Rasulullah dibunuh. Melihat risalah dan ajaran Islam mendapatkan perlawanan di tanah kelahiran, Rasulullah mengutus Jafar bin Abi Thalib hijrah ke Ethiopia. “Di sana engkau akan bertemu raja Nasrani yang baik. Sampaikanlah firman Allah.”
Meski diganggu oleh Amru bin Ash, musyrik Mekah masa itu, Jafar menjelaskan mengenai ajaran Islam di hadapan raja. Putra Abu Thalib itu membacakan surah dalam Alquran mengenai kisah Mariam, ibunda Yesus (Nabi Isa). Kagum, raja Negus menerima Jafar dan kafilahnya di Ethiopia.
Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Hal itu karena di antara mereka terdapat pendeta dan rahib, juga karena mereka tidak menyombongkan diri. (Almaidah: 82)
Dakwah terus-menerus yang dilakukan Jafar di wilayah tersebut menjadikan raja Ethiopia memeluk Islam. Namun, mendengar kisah perjuangan saudaranya, Ali, bersama Rasulullah membuat Jafar ingin segera kembali ke Arab. Usai Perang Khaibar, Jafar datang ke Madinah bersama beberapa penduduk Ethiopia yang telah memeluk Islam; salah satunya adalah John bin Huwai.
Sampai di Madinah, John tahu bahwa kota itu akan menyambut para mualaf dengan baik. John sendiri melihat Bilal, seorang sahabat berkulit hitam, mengumandangkan azan. Rasulullah sadar bahwa rasisme masih melekat di hati sebagian muslim. Mereka enggan jika ada orang kulit hitam masuk ke kelompoknya. Itu sebabnya Rasulullah menugaskan Bilal untuk menyeru muslim menjalankan salat. Sama seperti hasad, rasisme adalah penyakit hati.
Melihat ketulusan yang ada di hati pendatang asal Afrika itu, Ali bin Abi Thalib meminta John untuk membantu keperluan rumah tangganya. “Tidak ada hari-hari terbaik dalam hidupku selain melihat keadilan Ali bin Abi Thalib,” kenang John. Setelahnya, John diminta untuk membantu Hasan bin Ali. Setelah Hasan, John diminta Ali untuk membantu Abu Dzar Al-Ghifari. “Hiduplah bersama Abu Dzar. Engkau akan belajar makna Islam darinya,” pesan Ali kepada John.
Dengan cepat John menjadi sahabat dekat Abu Dzar. John selalu bersama Abu Dzar dan penderitaan yang diterimanya. Protes dan kritik pedas yang setiap hari disampaikan Abu Dzar kepada Utsman bin Affan membuatnya dibuang ke Syam, bersama dengan John. Gubernur Syam saat itu, Muawiyah, juga tidak luput dari protes Abu Dzar setiap hari. Muawiyah gusar dan memutuskan untuk mengusir Abu Dzar seorang diri ke gurun Rabadzah.
Selama hampir 20 tahun setelah wafatnya Abu Dzar, John hanya bertemu dengan keluarga nabi. Ketika mendengar cucu nabi akan menuju arah Karbala, John yang semakin tua menemui Husain. “Aku ingin ikut bersamamu.”
Husain berkata, “Engkau sudah cukup mengabdi pada ahlulbait, keluarga Muhammad.” John sedih mendengar nada penolakan itu, lalu berkata, “Apakah adil jika aku telah menerima bantuan karena kebaikanmu tapi meninggalkan di kala kesulitanmu?” Akhirnya, John pun bergabung bersama 72 keluarga dan sahabat Imam Husain a.s. menuju Karbala.
Pada malam Asyura, John sibuk mengasah pedangnya sambil melantunkan ayat Quran. Keesokan harinya, setelah salat Zuhur, John meminta izin kepada Imam Husain. “Maulaku, cukup sudah aku melihat penderitaan keluarga Fatimah. Izinkan aku maju ke pertempuran.”
“John, sekali lagi, engkau sudah tua. Jihad tidak diwajibkan untukmu,” ungkap Imam Husain. Ucapan John mengejutkan cucu nabi, “Maula, mengapa engkau tidak mengizinkan aku? Apakah karena aku budak hitam dan engkau tidak ingin darahku bercampur dengan darah keluarga suci?”
“Sahabatku, John! Jangan katakan itu. Engkau tahu tidak ada perbedaan tentang hal itu. Majulah, semoga Allah bersamamu.”
1 Muharam 1438 H.