Ahmad Murtadha Rosli tidak seperti pelajar Singapura kebanyakan. Dia datang ke kelas dari jam 8 pagi hingga 5 sore, dari hari Sabtu sampai Kamis. Di asrama, dia berbagi kamar dengan sembilan pelajar lainnya. Guru-gurunya semua laki-laki yang memakai jubah dan serban; mengajarkan buku-buku klasik yang tebal. Itu semua karena Ahmad belajar di sebuah hauzah terkenal Syiah Islam di kota Qom, Iran.

Syiah merupakan mazhab terbesar kedua dalam Islam setelah ahlusunah. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal agama, tapi berbeda soal penerus sah Nabi Muhammad saw. Lebih dari 85% muslim di dunia yang berjumlah 1,5 miliar adalah suni. Di Singapura, muslim Syiah berjumlah kurang dari 1% dari seluruh umat muslim yang mayoritas ahlusunah.

Hauzah di Qom adalah rumah bagi 70.000 pelajar, guru, dan akademisi. Ia adalah seminari atau madrasah Syiah terbesar di dunia. Lulusan hauzah harus menyelesaikan studi hukum Islam dan teologi. Banyak yang lanjut menjadi guru agama, tapi ada juga yang berakhir di politik. Seminari di Qom ini telah menarik pelajar dari seluruh dunia; mulai dari India hingga Austria. Tapi hanya sedikit yang berasal dari Singapura.

“Saya dimasukan kelompok negara ‘Thailand’ ketika pertama kali datang karena ‘Singapura’ tidak ada di sistem,” kata Ahmad. “Ada pelajar lain dari Singapura, tapi sayangnya mereka tidak selesai. Mungkin karena kehidupan di sini sangat berbeda.” Tapi Ahmad merasa bertanggung jawab untuk menggantikan peran ayahnya sebagai pemimpin muslim Syiah.

Sakit punggung dan rasa kesepian

Benih-benih panggilan sudah tertanam ketika Ahmad berusia 10 tahun dan melihat hauzah pertama kali saat berlibur di Qom. “Saya selalu bilang ke ayah ingin pergi ke sana,” katanya. Sebelumnya, Ahmad belajar di pendidikan sekuler dari SD Yusof Ishak hingga Politeknik Ngee Ann dan lulus sebagai sarjana Teknik Sipil dan Lingkungan. Keputusan untuk pindah ke bidang agama tidaklah mudah.

“Anda tidak mendapat banyak uang dengan menjadi guru agama,” kata Ahmad khawatir. “Tapi saya sudah memikirkan semuanya—inilah pengorbanan untuk masyarakat.” Tahun 2014 usai menyelesaikan kewajiban bela negara sebagai pemadam kebakaran, Ahmad berkemas dan pergi menuju Iran.

Sampai saat ini, ruang belajar Ahmad tidak dilengkapi AC, komputer, atau proyektor.  Saat melangkah masuk asrama, dia kaget melihat tempat tidur tanpa kasur. “Saya tidur beralaskan kayu. Punggung saya sangat sakit.”

Di kelas, Ahmad punya jadwal rutin harian: belajar Bahasa Persia, studi Quran, dan sejarah Islam. Diskusi dilakukan berpasangan. Pelajar saling menjelaskan topik yang dipelajari. Hauzah percaya hal itu akan membangun cara berpikir kritis dan membantu pelajar mengklarifikasi kesalahpahaman.

Ahmad juga harus beradaptasi dengan kondisi di Qom, kota bergurun berjarak 125 kilometer barat daya ibu kota. “Singapura sangat hijau, di sini sangat coklat,” katanya. “Tinggalin saja sandal di luar selama tiga hari, pasti tertutup debu.”

Bagaimana rencana Ahmad Rosli di Singapura ke depannya? Ikuti kelanjutan kisahnya di Halaman 2.

Satu respons untuk “Pelajar Singapura di Iran: Kehidupan di Seminari Syiah

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.