Tuscany Bernier tidak pernah bertemu dengan muslim seumur hidupnya ketika memutuskan untuk memeluk agama Islam pada usia 19 tahun. Semua berawal dari Twitter, ketika wanita asal Malaysia berkicau tentang betapa bahagianya dia menjadi muslim. “Tidakkah dia tahu kalau wanita muslim itu tertindas?” ujar Tuscany. Sadar tidak tahu apapun tentang Islam, Tuscany segera keluar rumah dan berkendara selama satu jam. Tujuannya? Membeli Alquran pertamanya.
Wanita asal Indiana, Amerika Serikat, ini langsung membuka surah keempat berjudul Wanita (Annisaa). Tuscany mengira dirinya akan membaca firman Allah untuk membenci wanita. Ternyata tidak. Tuscany langsung jatuh cinta pada Quran. Dia kagum dengan penggunaan kata dan pembahasan yang rinci. Seolah Allah Swt. telah memikirkan semua orang dan segalanya. Sebulan setelah membeli Quran itu, Tuscany memeluk Islam!
Tuscany memperdalam studi Islam di Mishkah University, Minnesota. Di antara mentornya adalah Nouman Ali Khan, Yaser Birjas, dan Omar Suleiman.[1] Selama mempelajari sejarah Islam, Tuscany sering membayangkan andai Nabi Muhammad saw. tahu kekacauan yang akan terjadi. Karena tak lama setelah nabi wafat, muncul kelompok-kelompok yang menuntut antara sepupu atau sahabat nabi yang berhak menjadi khalifah (pemimpin). Kedua kelompok ini mewakili dua sisi sejarah berbeda yang hari ini disebut Syiah dan suni.
Ketika bertemu dengan calon suaminya, Tuscany tidak tahu apa itu suni atau Syiah—yang dia tahu keduanya bermusuhan di Timur Tengah. Tuscany hanya tahu bahwa dia dan pasangannya adalah mualaf asal Amerika Serikat yang sedang mencari jodoh yang baik secara perilaku dan agama.
Mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe pada awal tahun 2013. Tuscany banyak bertanya tentang hal-hal yang memang perlu ditanyakan. “Apakah kamu ingin punya anak? Apa kamu percaya kalau pria dan wanita boleh bekerja di luar rumah? Apa tujuan dan harapanmu?” Ternyata pria itu tidak kaku, sangat menghormati, dan juga taat. Semua jawabannya sesuai dan mereka memutuskan untuk bertunangan.
Mengenal lebih jauh, mereka bertemu dengan keluarga dan sahabat masing-masing. Namun, ketika bertemu dengan sahabat dekatnya, Tuscany bercerita jika calon suaminya telah berpindah dan menganut mazhab Syiah.
“Syiah?! Jangan diteruskan. Ini semua politik dan harus dijauhi!” seru sahabat Tuscany. Suka atau tidak, kabar tersebar cepat. Beberapa minggu kemudian, usai salat di masjid, seseorang menegur Tuscany. “Assalamualaikum. Katanya, kamu mau nikah sama orang Syiah? Kamu harus jauhi pria itu kalau dia benar-benar Syiah. Mereka orang sesat.”
Semakin mengenal tunangannya, Tuscany semakin yakin bahwa dia orang yang tepat. Calon suaminya mengajaknya untuk menggali lebih dalam tentang Syiah melalui buku dan ceramah. Tuscany juga harus memutuskan untuk menghindari pertemuan di masjid karena serbuan pertanyaan soal keyakinan dan penilaian tentang pernikahannya. Hampir semua orang yang mencoba mengurungkan niatnya tidak tahu dan tidak pernah bertemu dengan calon suaminya. Bahkan serangan dilakukan terhadap karakter dan perilaku calon suaminya.
“Ukhti, semua orang Syiah itu pembohong. Saya tidak tahu orang yang mau kamu nikahi itu, tapi saya yakin dia berbohong.”
“Ukhti, mereka tidak percaya rukun iman. Mereka punya Qurannya sendiri!”
“Kaum Syiah sangat membenci Nabi Muhammad. Mereka ingin Ali yang menjadi nabi. Kamu tidak bakal mau menikahi seorang rafidhah!”
Bagi non-muslim, ucapan seperti di atas mungkin tidak terlihat penting. Tapi sebenarnya, itu tuduhan yang sangat menghina. Awalnya, suami dari Tuscany Bernier ingin agar istrinya juga mengikuti ajaran Syiah. Tapi Tuscany menolak. Akidahnya tidak sesuai bagi dirinya. Tapi Tuscany tetap menghormati suaminya. Mereka berdua beriman pada Allah, membayar zakat, dan membaca Quran yang sama. Mereka juga sama-sama salat—meski dengan cara yang sedikit berbeda.
Karena keduanya adalah mualaf, orang tua mereka lebih berusaha untuk memahami mengapa anak-anaknya memutuskan untuk menjadi muslim—daripada memikirkan isu suni-Syiah. Tiga tahun berlalu dan pernikahan mereka tumbuh semakin kuat. Mereka terus berusaha untuk mendidik masyarakat dan menjembatani perbedaan. Pernikahan mereka berdua adalah bukti jika persatuan suni-Syiah adalah niscaya.[2]
Sumber:
[1] ^ Bernier, Tuscany (10 Mei 2016). “2017 Bayyinah Dream Program”. GoFundMe.
[2] ^ Bernier, Tuscany (13 Januari 2017). “My Sunni-Shia marriage is not invalidated by your unwanted opinions”. The Tempest. Diakses 14 Januari 2017.