Gaung revolusi Islam Iran yang meletus pada tahun 1979, terdengar hingga ke Indonesia. Banyak orang terinspirasi dengan perjuangan para ulama dalam meruntuhkan kekaisaran Persia terakhir. Segelintir orang di Indonesia bahkan menamai anak mereka dengan tokoh-tokoh arsitek di balik revolusi Iran tersebut. Ada Khomeini, Syariati, Muthahhari, Kamenei—alih-alih Khamenei—dan juga Rafsanjani. Nama yang terakhir, Akbar Hashemi Rafsanjani, wafat pada 8 Januari 2017.

Dikenal sebagai pebisnis yang menjadi panutan kelompok reformis, Rafsanjani teguh dalam memperjuangkan isu persatuan suni-Syiah. Beberapa hari sebelum wafatnya, dirinya masih mengatakan bahwa persatuan merupakan harta yang bernilai.[1]

Saya berharap, suni dan Syiah, lebih banyak membicarakan mengenai persamaan dalam Islam, sebagai agama kasih, damai, dan penuh rahmat; bukan kebencian.

Akbar Hashemi Rafsanjai

Ayatullah Rafsanjani percaya bahwa Iran dan Arab Saudi merupakan negara penting yang harus menjembatani perpecahan suni-Syiah. Dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa Arab, Alvefagh, bercerita tentang kedekatannya dengan Arab Saudi. “Di antara kelompok baru yang memimpin Saudi, saya hanya mengenal Salman. Saya melihatnya di sebuah pesta di Riyadh. Dia mengundang saya dan kami berbicara,” katanya.

Serangan Arab Saudi ke Yaman menurutnya merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Menurut Rafsanjani, jika Saudi takut dengan Syiah, mereka seharusnya lebih khawatir dengan Iran, Lebanon, Irak, Suriah, dan negara muslim lainnya. Karena Houthi, meskipun Syiah, bukanlah Syiah Dua Belas Imam.

“Saat ini kita berada dalam masa-masa kritis. Pengikut Syiah diserang di berbagai negara kawasan. Mereka menjadikan pengikut Syiah sebagai rival; padahal Syiah tidak memiliki ancaman bagi mereka.” Rafsanjani menjelaskan bahwa menurut pola pikir dan politik Syiah, para pengikut Syiah tidak ingin terlibat dalam konfrontasi dengan sesama muslim. Sehingga, salah besar kalau beberapa negara kawasan tidak menjadikan Iran sebagai negara sahabat.

Saudi King Abdullah walks with former Iranian president Rafsanjani and Grand Mufti Sheikh Abdul-Aziz Al al-Sheikh at Al-Saffa Palace in Mecca

Usaha merajut hubungan Tehran dan Riyadh

Kunjungan ke Saudi pada tahun 2008 menjadi salah satu langkah brilian yang diambil Rafsanjani dalam mendamaikan perseteruan ratusan tahun. Setelah makan malam dengan Raja Abdullah, mereka sepakat dengan pada sebuah solusi: ulama dari suni dan Syiah harus menyelenggarakan diskusi bersama mencari solusi atas perbedaan.

Sayangnya, setelah kembali ke Iran, Rafsanjani sadar bahwa ada orang-orang yang tidak ingin semuanya terjadi. Semuanya gagal karena masalah-masalah yang dihadapi di dalam kerajaan Saudi dan permasalahan dalam negeri Iran.[2]

“Saya yakin melalui kerja sama dengan Arab Saudi, kita bisa menjembatani perbedaan antara suni dan Syiah di seluruh dunia Islam. Misalkan dalam kasus Suriah, sebagai negara independen tidak boleh ada yang menentukan nasib warga Suriah baik Iran atau pun Arab Saudi. Jangan biarkan isu mengenai suni-Syiah muncul di negara itu. Biarkan pemerintah dan masyarakat Suriah menyelesaikan masalah mereka.”

Referensi:

[1] ^ “Rafsanjani urges Sunnis, Shias to focus on commonalities”. Tehran Times. Diakses 15 Januari 2017.

[2] ^ “Where does Rafsanjani stand on the Shiite-Sunni issue, regional matters and Iran-Saudi ties?” Iran Front Page. Diakses 19 November 2015.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.