Tanggal 5 Januari 2005, seorang wartawati asal Perancis bernama Florence Aubenas ditawan di Irak. Pemerintah Perancis mencoba berbagai upaya untuk menyelamatkan warganya dan hampir putus asa. Sampai akhirnya, rombongan diplomat dan pejabat Perancis menyampaikan surat kepada seseorang bernama Abdallah bin Bayyah. Ulama itu lalu mengirim pesan kepada para penculik dan bergabung dengan banyak lembaga untuk menyerukan pembebasannya. Tanggal 11 Juni 2005, wartawati itu dibebaskan.
Menteri Luar Negeri Perancis mengirimkan surat kepada Bin Bayyah. “Sebagai otoritas tertinggi yang mewakili dunia Islam, upaya dan seruan Anda mengakhiri penculikan ini setelah lima bulan. Anda telah mewakili nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan Islam. Negara Perancis tidak akan pernah melupakannya.”[1]
Lahir di Timur Mauritania, Syekh Abdallah bin Bayyah memang memiliki garis keturunan para ulama. Sejak usia 12 tahun, dirinya telah mempelajari hukum-hukum Islam dari ayahnya, Syekh Mahfoudh Ben Bayah, yang merupakan ulama paling dihormati di Barat Afrika pada masanya. Setelah keliling dunia mencari ilmu, dirinya kemudian terpilih menjadi menteri dan hakim di Mauritania yang baru merdeka dari Perancis pada tahun 1960.
Kini, di usianya yang lebih dari 80 tahun, Syekh Bin Bayyah banyak mengisi waktunya untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi. Profesor studi Islam ini merupakan pakar dalam mazhab ahlusunah tradisional, khususnya Maliki. Di dunia internasional, beliau merupakan anggota Liga Muslim Dunia, Persatuan Ulama Muslim Internasional, dan presiden Forum for Peace in Muslim Societies. Tak heran, pesan-pesan kedamaian selalu menjadi perhatian beliau.
Mungkin, kemampuan beliau untuk mendengarkan orang lain dengan rendah hati mampu menarik perhatian orang lain untuk juga mendengarkannya; baik dari suni, sufi, Wahabi, hingga Syiah. Konflik antara dua kubu utama muslim, suni dan Syiah, jelas merupakan situasi yang menyulitkan dunia Islam. Syekh Bin Bayyah pun tidak melihat semua akan berakhir dengan cepat. Tapi menurutnya sangat penting bagi kita untuk menghindari semua itu.
“Kita harus terus membangun kesepahaman tentang hal yang lebih luas; jangan fokus pada hal yang memecah belah. Ini juga berlaku bagi pengikut ahlusunah dan Syiah. Kita juga harus bekerja sama dengan Syiah dengan dasar yang sama. Kita bekerja sama pada hal yang disepakati dan menghindari hal yang tidak kita sepakati,” kata syekh dalam sebuah wawancara.
Mungkinkah ada titik temu bagi suni dan Syiah? “Titik temu tidak mudah dicapai karena memang sudah ada perbedaan dalam (memahami) sumber. Perbedaan tentang sumber tersebut membuat kesepahaman di antara mazhab sulit tercapai. Terlepas dari hal itu, perbedaan tersebut hendaklah tidak dibenturkan. Payung bagi kita semua sama: tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Tidak ada cara untuk mendekat pada Allah melalui cercaan atau kecaman.”[2]
Mengenai konflik yang terjadi di beberapa kawasan, menurutnya, jangan dibangun dan dihubungkan pada kelompok tertentu. Opini yang dibangun justru harus pada prinsip-prinsip yang lebih luas, yaitu kemanusiaan dan keadilan. “Kita melawan ketidakadilan, baik terhadap suni maupun Syiah,” tegasnya. Bagi Syekh Abdallah bin Bayyah, ideologi ekstremisme dan yang saling mengkafirkan (takfiri) tidak memiliki tempat dalam Islam.
Referensi:
[1] ^ Al-Jadda, Souheila, dan Amina Chaudary (4 Maret 2014). “Why America Needs To Know This Man”. The Islamic Monthly. Diakses pada 2 Februari 2017.
[2] ^ “Reference Unification Minimizes Fatwa Conflict”. Situs resmi Syekh Abdallah bin Bayyah.