Siapa bilang negara di Timur Tengah identik dengan perang dan terorisme? Satu-satunya negara di Timur Tengah dengan angka nol dalam Indeks Terorisme Global 2016 adalah Kesultanan Oman.[1] Itu artinya, di negara tersebut “tidak ada pengaruh terorisme”. Oman menjadi salah satu negara paling aman di dunia. Memang, ada perbedaan komposisi muslim di sana. Kalau kebanyakan negara mayoritas muslim jumlah suni dan Syiah saling berhadapan, di Oman mayoritas bermazhab Ibadhi.
Ibadhi diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Ibadh. Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, keluarga besar Umayyah menuntut balas dendam kepada Ali bin Abi Thalib. Arbitrase terjadi dan kelompok yang menolaknya disebut Khawarij. Menurut Khawarij, mediasi yang dilakukan kedua kelompok melanggar hukum Allah; hanya kelompok merekalah yang benar. Merasa tidak cocok dan ingin hidup harmoni dengan muslim lain, Abdullah membawa moderasi pada ajaran Khawarij.[2]
Jika menurut Khawarij dosa kecil bisa membuat orang jadi kafir, menurut Ibadhi orang itu tetap muslim yang harus bertaubat. Mereka yakin, hanya Allah yang bisa menghakimi mana yang benar di hari kiamat. Karenanya, setiap mazhab berhak menjalankan keyakinan sesuai dengan mazhabnya masing-masing. Keyakinan itulah yang mungkin melatari kondisi keamanan negara Oman.
Metode yang digunakan oleh Ibadhi di Oman sudah dikenal ampuh menyelesaikan perselisihan internal suku. Setiap provinsi (wilayat) memiliki mediator terlatih yang bertugas membantu menyelesaikan masalah keluarga hingga konflik regional. Kasus pengadilan harus didengar oleh mediator sebelum dilanjutkan penyelesaian perkaranya. Metode nasional itu juga diterapkan dalam diplomasi internasional Oman yang berhasil menyelesaikan konflik kawasan lainnya; mulai dari perang Iran-Irak tahun 1980-an hingga konflik pulau Tunb.
Dalam diplomasi, mediator haruslah orang yang tidak mengancam, tidak berat sebelah, dan dipercaya oleh kedua pihak. Bahkan terkadang, jika konflik berkaitan dengan hukum Islam, prinsip-prinsip yang diajukan oleh Oman dapat diterima oleh suni dan Syiah.
Ada beberapa alasan keberhasilan diplomasi Oman. Pertama, memelihara hubungan baik dengan lingkungan. Kedua, saling bekerja sama yang menguntungkan para pihak. Ketiga, melihat keuntungan jangka panjang dan bukan sementara atau ideologis semata. Keempat, diplomasi tanpa paksaan (non-koersif) yang menolak ancaman pemutusan hubungan ataupun perang. Kelima, membangun konsensus (ijmak) tanpa memihak.[3]
Toleransi antar-mazhab di Oman bisa terlihat dalam praktik ibadah di masjid. Salat antara yang sedekap dan tidak sedekap menjadi pemandangan yang lumrah. Masyarakat di sana meyakini bahwa mereka beragama Islam, bukan beragama mazhab. Tak ada pula orang yang berlagak memperbaiki cara ibadah orang lain karena menganggapnya sesat. Menurut masyarakat di sana, pendidikan toleransi sudah dimulai dari kecil.
Di sekolah dasar, tidak diajarkan untuk memprovokasi dengan pertanyaan soal kelompok, bangsa, agama. Buku pelajaran di sekolah-sekolah diajarkan mengenai ukhuwah islamiah; bahwa berburuk sangka terhadap kelompok lain dilarang. Para guru atau ustaz yang melanggar kode etik dan menyulut perselisihan dapat dikenakan hukuman hingga 10 tahun penjara. Para guru tidak mengajak murid untuk mengikuti keyakinannya.
Mungkin, Oman bisa menjadi negara tujuan studi banding agar Kementerian Agama dan legislator bisa belajar bagaimana penerapan toleransi antar-pengikut mazhab di Indonesia.
Referensi:
[1] ^ “2016 Global Terrorism Index”. The Institute for Economics and Peace. Diakses 6 April 2017.
[2] ^ Souaiaia, Ahmed (23 Desember 2011). “Introduction to Ibadism (Ibasiyya)”. Ibadism: Thoughts and Practices of Ibadiyya. Diakses 16 April 2017.
[3] ^ Leonard, Douglas (4 April 2017). “Oman’s Unique Approach to Mediation: A Solution for Sunni-Shia Conflicts?” Center for Security Studies. Diakses 6 April 2017.