Selama bulan Ramadan, Farida Saleh sibuk menyiapkan buka puasa untuk keluarga dan teman-temannya. Tinggal di Florida, Amerika Serikat, Farida dan Mustafa Saleh merupakan imigran muslim suni asal Mesir. Tapi beberapa tamu mereka—yang merupakan sahabat lama—adalah muslim Syiah. Di banyak tempat, suni dan Syiah berada dalam lingkaran permusahan. Tapi justru di Amerika Serikat, mereka hidup relatif harmonis.
“Saya merasa sedih,” kata Mustafa. “Mereka adalah orang-orang bodoh yang otaknya dicuci. Saya tidak ingin meledakkan diri saya sambil berkata ‘saya melakukan ini demi Allah’. Kita di sini untuk menebarkan perdamaian dan cinta.” Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, beberapa orang yang percaya sahabat menjadi penerusnya dikenal sebagai suni. Sementara yang percaya keluarga nabi adalah pelanjut risalah disebut sebagai Syiah.
Imam Abdul Hami Samra, direktur Islamic Center of Greater Miami, mengatakan perselisihan soal pelanjut nabi sudah berlalu. Tapi pilar agama kedua mazhab tersebut adalah sama. “Mereka percaya pada kitab yang sama, yaitu Alquran.” Banyak peneliti menyamakan kedua mazhab tersebut seperti Katolik dan Protestan. Akbar Ahmed, Ketua Studi Islam di American University mengatakan, “Syiah cenderung lebih hierarkis; ada otoritas spiritual. Itu sebabnya kita melihat tokoh seperti para ayatullah.”
“Kami hanya mengikuti nabi dan keluarganya. Siapa yang mengenal Anda lebih baik selain keluarga? Seperti itulah risalah nabi diajarkan kepada keluarganya,” ungkap Bushra Razvi dari American Islamic Center of Florida.
Iran merupakan pengaruh Syiah yang dominan, sementara Saudi pengaruh suni yang dominan. Meski ada masa ketika kedua mazhab hidup dalam toleransi, namun dalam beberapa tahun terakhir, permusuhan kembali meningkat. Bahkan di bulan Ramadan, ratusan muslim kebanyakan Syiah, tewas karena serangan sektarian di beberapa negara. Sejauh ini, konflik tidak menular ke Amerika Serikat karena keduanya merupakan minoritas.
“Lagi pula, kami berada di Amerika Serikat yang dikenal sebagai masyarakat pluralis,” kata Akbar Ahmed. Terlebih, bagi muslim Amerika generasi kedua atau ketiga, konflik klasik sektarian merupakan hal yang tidak lagi penting.
Nazneen Zaidi, muslim Syiah kelahiran Florida, menceritakan ketika orang tuanya datang pertama kali pada tahun 70-an, tidak ada masjid Syiah. “Sahabat mereka yang pertama adalah muslim suni.” Sebagai Syiah, Nazneen tentu bangga dengan keyakinannya. “Tapi ketika orang bertanya tentang agama saya, saya menilai diri sendiri sebagai muslim. Saya tidak mengatakan (mazhab) Syiah, tapi muslim. Saya selalu menjelaskan identitas saya seperti itu,” katanya.
Bushra Razvi tidak menyangkal adanya sedikit gesekan. Beberapa kali pengikut Syiah tidak diterima di masjid suni. Namun masjid yang dipimpinnya justru mengadakan salat berjemaah antara Syiah dan suni serta menyelenggarakan buka puasa bersama. “Syiah dan suni dari berbagai kalangan berkumpul. Seperti keluarga besar.”
Kelompok ekstremis dari kedua mazhab akan memanfaatkan orang-orang bodoh untuk menyebarkan kebencian. Banyak muslim Amerika Serikat mengatakan, hubungan suni-Syiah di negaranya bisa menjadi contoh bagi belahan dunia lain. Tapi Akbar Ahmed khawatir dengan retorika anti-muslim yang terus menyebar di negara tersebut.
Referensi:
“Sunni-Shia Harmony”. Religion & Ethics Newsweekly. Diakses pada 21 November 2016.